Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI akhirnya buka-bukaan, Chandra Halim alias Akiong tak mau berbicara dengan sembarang orang. Terpidana mati kasus narkotik itu berkukuh menolak diwawancarai aparat. Akiong hanya mau berbicara dengan anggota Tim Pencari Fakta Testimoni Freddy Budiman yang mewakili masyarakat. "Alasannya, dia ingin bicara bebas," kata anggota Tim Pencari Fakta dari Setara Institute, Hendardi, Kamis pekan lalu.
Hendardi menceritakan pertemuan dengan Akiong di kantor Badan Narkotika Nasional, Cawang, Jakarta Timur, medio Agustus lalu. Hari itu BNN "meminjam" Akiong dari Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Cipinang, Jakarta Timur. Tim BNN hendak menyelidiki kebenaran kesaksian terpidana mati Freddy Budiman tentang keterlibatan aparat dalam jaringan bisnis narkotik. Akiong menjadi sekutu Freddy ketika mengimpor 1,4 juta butir ekstasi pada 2012.
Mumpung Akiong sedang dipinjam BNN, menurut Hendardi, Tim Pencari Fakta semula ingin membonceng untuk mencari informasi. Ternyata, ketika masih di kantor BNN, Akiong tak bersedia blakblakan.
Karena belum bisa mengorek banyak informasi, Tim Pencari Fakta lalu membawa Akiong ke Markas Besar Kepolisian RI di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Di sini Akiong kembali memasang syarat. Ia hanya mau berbincang-bincang dengan anggota Tim yang bukan polisi.
Tiga anggota Tim Pencari Fakta kemudian mengobrol dengan Akiong di ruang Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Polri. Di samping Hendardi, mereka adalah anggota Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, dan ahli komunikasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali. Kali ini Akiong menepati janji. "Dia lebih terbuka bercerita," ujar Hendardi.
Kamis dua pekan lalu, Tim Pencari Fakta merilis temuan mereka. Tim mendapat info tentang aliran dana dari beberapa bandar, termasuk Freddy dan Akiong, kepada sejumlah polisi dari perwira pertama sampai perwira tinggi. Nilainya beragam, dari Rp 25 juta sampai Rp 1 miliar. Kepada Tim Pencari Fakta, Akiong, misalnya, mengaku pernah memberikan uang kepada seorang ajun komisaris besar polisi berinisial KPS sebesar Rp 688 juta. "Kami sudah menyerahkan namanya ke Kapolri," kata Hendardi.
AWAL Agustus lalu, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian membentuk Tim Pencari Fakta Testimoni Freddy Budiman. Tim yang terdiri atas 15 polisi dan 3 orang sipil ini diberi waktu 30 hari untuk bekerja.
Pembentukan tim ini dipicu oleh "heboh" tulisan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar. Tulisan berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit" itu beredar melalui media sosial beberapa jam sebelum Freddy dieksekusi mati, akhir Juli lalu.
Dalam catatan itu, Haris mengutip pengakuan Freddy Budiman yang dia temui di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, medio 2014. Tulisan itu antara lain memuat "pengakuan" Freddy yang mengatakan pernah menyuap perwira polisi sebesar Rp 90 miliar.
Badan Narkotika Nasional dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia juga membentuk tim serupa. Soalnya, seperti ditulis Haris, Freddy pun mengaku pernah menyetorkan uang Rp 450 miliar ke pejabat BNN. Gembong narkotik asal Pontianak ini juga mengaku pernah mengangkut narkotik dari Medan ke Jakarta dengan mobil milik jenderal tentara bintang dua. Berbeda dengan tim bentukan Polri, tim BNN dan TNI belum mengumumkan temuan mereka.
Tim pencari fakta bentukan Polri memasukkan Akiong ke daftar prioritas karena dia sudah tiga kali berkongsi dengan Freddy. Dalam rekaman pembicaraan selama 122 menit dengan Hendardi dkk, Akiong antara lain mengaku pernah memberikan uang Rp 688 juta kepada Ajun Komisaris Besar KPS sekitar lima tahun lalu. "Aku cuma kasih sekali ke dia," ujar Akiong.
Akiong bercerita, persinggungan dia dengan KPS bermula pada medio 2011. Waktu itu tim yang dipimpin KPS menangkap Akiong di Apartemen Laguna, Pluit Penjaringan, Jakarta Utara. Di sana polisi menemukan ratusan ribu pil ekstasi dan sabu-sabu.
Akiong menyatakan ia tertangkap karena diumpankan oleh rekannya sesama bandar narkotik yang biasa dipanggil "AW Stadium". "Saya tidak tahu nama aslinya," kata Akiong. "Dia sering mangkal di Stadium, makanya dipanggil seperti itu." Stadium merujuk pada tempat hiburan malam di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat.
Tokoh ini bukan rekaan Akiong. Jejak AW Stadium terlacak dalam kasus peredaran narkotik yang menyeret Hermon Tomasoa, joki cakram (DJ) di Diskotek Stadium, pada April 2014. Berkas putusan Hermon menyebutkan sabu-sabu berasal dari seorang pengedar besar berinisial AW, yang waktu itu berstatus buron.
Menurut Akiong, KPS meminta uang dengan iming-iming keringanan hukuman. Dalam kasus ini, Akiong divonis penjara seumur hidup. Ia kemudian menempati Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, sampai akhirnya berkomplot dengan Freddy Budiman untuk menyelundupkan 1,4 juta ekstasi. Dalam kasus terakhir, Akiong dan Freddy sama-sama divonis hukuman mati.
Pada kesempatan lain, menurut Akiong, KPS pernah menawari dia menjadi "cepu". Ini istilah polisi untuk orang yang mau jadi informan. "Katanya, saya tinggal duduk dan kasih informasi. Nanti dapat duit," ujarnya. Namun Akiong menolak tawaran tersebut.
Perwira menengah berinisial KPS yang dimaksud Akiong pernah berdinas di Direktorat Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ia juga bertugas di Direktorat Narkoba Polri. Kini KPS bertugas di Biro Pembinaan dan Operasional Badan Reserse Kriminal Polri.
Sejauh ini, KPS belum bisa dimintai tanggapan. Ia tak mengangkat telepon ketika dihubungi. Pesan lewat aplikasi WhatsApp ke nomornya pun hanya dibaca. Jumat pekan lalu, Tempo mencari KPS di kantornya di gedung Bareskrim Polri, tapi ia tidak masuk. Menurut beberapa koleganya, belakangan ini KPS sering bertugas di lapangan.
Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno—yang juga ketua Tim Pencari Fakta Testimoni Freddy Budiman—mengatakan sudah menindaklanjuti informasi dugaan keterlibatan KPS. "Dia sudah kami periksa," kata Dwi. "Dalam waktu dekat akan segera digelar sidang kode etik."
Kepada Tim Pencari Fakta, Akiong juga bercerita tentang ulah sejumlah polisi menjual barang bukti kasus narkotik. "Itu praktek lazim," ucapnya. Bila menjual barang bukti dari polisi, bandar biasanya hanya memperoleh bagian sekitar 30 persen. Sedangkan bagian terbesar kembali ke saku aparat. "Ngasihnya enggak tunai. Lewat transfer dengan rekening identitas fiktif," ujar Akiong.
Cerita Akiong klop dengan kasus narkotik yang terungkap pada April 2011. Kasus itu melibatkan Freddy Budiman dan anggota Polda Metro Jaya, Ajun Inspektur Dua Sugito. Dalam kasus ini, Freddy menjadi informan Sugito untuk menangkap Harun, bandar narkotik asal Malaysia.
Sugito meminta tolong Freddy membeli barang bukti berupa 200 gram sabu-sabu. Kepada Freddy, Sugito menjelaskan bahwa uang hasil penjualan barang bukti itu untuk membiayai perburuan bandar narkotik besar lainnya. Freddy membayar barang sitaan itu Rp 140 juta.
Dalam nota pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Sugito mengatakan penjualan barang bukti narkotik kepada Freddy itu atas izin atasannya. Dalam kasus ini, Sugito dihukum sembilan tahun penjara. Adapun Freddy dihukum penjara seumur hidup.
Anggota Tim Pencari Fakta, Effendi Gazali, mengatakan waktu sebulan tak cukup untuk menggali dan memverifikasi testimoni Freddy Budiman dan terpidana lain, seperti Akiong. Apalagi Tim Pencari Fakta banyak menerima informasi penting pada hari-hari terakhir. "Pada dua pekan awal kayak mengejar bayang-bayang," tuturnya. "Pas dekat tenggat, baru dapat bahan bagus."
Menurut Effendi, banyak temuan awal Tim Pencari Fakta yang bisa dikembangkan untuk membongkar kasus yang lebih besar. Misalnya dugaan skenario melindungi seseorang dengan mengorbankan orang lain dalam kasus penyelundupan 1,4 juta ekstasi (lihat: "Tukar Kepala Dua Rudi").
Ketika masa kerjanya berakhir pada 17 September lalu, Tim Pencari Fakta membuat sejumlah rekomendasi, antara lain agar Polri membentuk satuan tugas untuk menindaklanjuti temuan mereka. Namun Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyatakan tidak perlu membentuk satuan tugas.
Menurut Tito, temuan Tim Pencari Fakta cukup ditindaklanjuti Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. "Akan kami dalami temuan mereka," kata Tito. Bila ada anggota polisi yang bersalah, Tito berjanji menjatuhkan sanksi. "Sanksi sesuai dengan pelanggaran. Bisa etik, bisa pidana," ujar Tito.
Syailendra Persada, Dewi Suci
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo