Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan senyum tersungging di bibir, Victor Santoso Tandiasa menoleh ke arah teman-temannya yang duduk di sampingnya. Sejenak, mereka saling menatap. Lalu pandangan mereka mengarah kembali ke meja majelis hakim untuk menyimak pembacaan putusan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva ketika membacakan putusan pada Senin pekan lalu.
Meski senang bukan kepalang, Victor dan kawan-kawan tak bisa langsung bangkit dari bangku pemohon untuk merayakan kemenangan. Soalnya, mereka masih harus mendengarkan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim konstitusi. "Kami mengapresiasi putusan itu. Ini kemenangan ketiga kami di Mahkamah Konstitusi," ujar Victor kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Victor dan kawan-kawan sudah berkali-kali mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, dua permohonan mereka dikabulkan Mahkamah, yakni uji materi tentang seleksi hakim agung oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan aturan main penggunaan lambang negara.
Siang itu, dengan mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Victor dan kawan-kawan, Mahkamah Konstitusi seperti melucuti sendiri kewenangan mereka dalam mengadili sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebelumnya, sengketa pilkada diadili Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi. Namun, sejak 2008, wewenang itu dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Sejak memiliki hak mengadili sengketa tersebut, Mahkamah sudah memutus 689 perkara sengketa hasil pemilihan langsung kepala daerah itu.
Rencana Victor dan kawan-kawan memperkarakan wewenang Mahkamah Konstitusi tercetus pada pertengahan 2010. Kala itu, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi yang dipimpin Victor meneken kesepakatan dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Esa Unggul Jakarta. "Uji materi menjadi agenda pertama kami," ujar Victor.
Victor dan kawan-kawan menilai wewenang mengadili sengketa pilkada membuat tugas utama Mahkamah Konstitusi terabaikan. Persidangan perkara uji materi undang-undang atas Undang-Undang Dasar 1945 menjadi berlarut-larut. Uji materi yang biasanya diputus dalam hitungan pekan bisa molor hingga berbulan-bulan, bahkan sampai melampaui masa satu tahun. Itu terjadi karena, dalam memutus satu sengketa pilkada, Mahkamah Konstitusi dikejar tenggat 14 hari sejak perkara itu didaftarkan. Pada "musim pilkada", dalam sebulan Mahkamah Konstitusi sampai harus menggelar 160 sidang sengketa. "Itu membahayakan MK sebagai lembaga yang diharapkan menjadi penyelamat konstitusi," ucap Victor.
Bersama rekan-rekannya, Victor mematangkan rencana menggugat wewenang Mahkamah Konstitusi dalam serangkaian diskusi. Mereka pun mengkonsultasikan gagasan itu ke sejumlah ahli hukum tata negara. Menurut Victor, konsultasi dengan ahli hukum penting untuk memperkuat konstruksi gugatan sekaligus menjajaki siapa saja yang bersedia menjadi saksi ahli. Maklum, berdasarkan pengalaman Victor dalam judicial review sebelumnya, mencari saksi ahli tak selalu mudah. Di samping jadwal para ahli yang padat, tak sedikit ahli yang mematok tarif tertentu ketika diminta bersaksi. Padahal, jangankan buat honor ahli, "Untuk fotokopi berkas dan transportasi saja kami harus patungan," kata Victor, yang kini berstatus mahasiswa pascasarjana hukum di Universitas Gadjah Mada.
Tak semua ahli hukum mendukung gagasan Victor dan kawan-kawan. Sejumlah ahli menyatakan proses pengadilan di Mahkamah Konstitusi lebih baik ketimbang di peradilan umum. Di samping prosesnya lebih terbuka, sidang di Mahkamah Konstitusi, yang terpusat di Jakarta, juga relatif lebih bebas dari tekanan massa pendukung para pihak yang beperkara.
Toh, pendapat para dosen senior itu tak cukup meyakinkan mahasiswa mereka. Soalnya, menurut kajian Victor dan kawan-kawan, dasar hukum pengadilan sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi tak memiliki pijakan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Apalagi, belakangan, para mahasiswa itu kerap mendengar bahwa pengadilan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi pun tak sepi dari isu suap. "Bukan solusi, hanya mengalihkan ajang korupsi," ujar Victor.
Pada 1 November 2013, Victor dan kawan-kawan mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Bergabung sebagai pemohon: Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Esa Unggul, serta Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta.
Mereka mempersoalkan Pasal 236-C Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf e Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Kedua pasal itu menjadi dasar pengalihan wewenang mengadili sengketa pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Victor meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebulan setelah Victor dan kawan-kawan mendaftarkan gugatan, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Bekas politikus Partai Golkar itu ditangkap karena menerima suap berkaitan dengan sengketa pilkada di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan pilkada Lebak, Banten. Gara-gara penangkapan Akil pula banyak pihak yang mempertanyakan wewenang Mahkamah Konstitusi dalam mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. "Atmosfernya jadi lebih mendukung," kata Victor.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 2 Desember tahun lalu, misalnya, ketua panel hakim konstitusi Patrialis Akbar blakblakan mengaku sangat tertarik pada uji materi itu. Namun, kala itu, dia dan beberapa hakim lain keberatan terhadap tudingan Victor dan kawan-kawan yang menyatakan praktek korupsi telah merasuki Mahkamah Konstitusi. "Tak logis bila Anda meminta diadili oleh lembaga yang menurut Anda korup," ujar Patrialis seraya meminta perbaikan berkas uji materi.
Ketika persidangan memasuki tahap kesaksian ahli, Victor dan kawan-kawan sempat menghadapi kendala. Mereka tak punya dana untuk mendatangkan saksi ahli yang bakal mendukung gugatan mereka. Beruntung, mereka bertemu dengan tiga saksi ahli yang memberi jalan keluar. Mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan ahli hukum tata negara dari UGM, Enny Nurbaningsih, bersedia memberi kesaksian secara tertulis. "Mereka bilang bobot kesaksian tertulis sama dengan kesaksian langsung," ucap Victor. Dekan Fakultas Filsafat UGM M. Mukhtasar Syamsuddin bahkan bersedia datang ke Jakarta dengan biaya sendiri.
Setelah empat kali bersidang, pada sidang pleno Senin pekan lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Victor dan kawan-kawan. Menurut Mahkamah, permohonan uji materi itu memiliki dasar hukum. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan wewenang lembaga itu bersifat limitatif. Artinya, kewenangan Mahkamah terbatas pada apa yang secara tegas tercantum pada UUD 1945. Penambahan wewenang terhadap Mahkamah Konstitusi hanya bisa dilakukan dengan mengamendemen UUD 1945-oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 24-C UUD 1945 memang menyebutkan Mahkamah Konstitusi antara lain berwenang memutus perselisihan pemilihan umum. Tapi pemilihan umum yang dimaksud juga bersifat limitatif. Menurut Pasal 22-E UUD 1945, pemilihan umum lima tahunan hanya untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, presiden dan wakil presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan tidak serempak, menurut sebagian besar hakim konstitusi, tak termasuk rezim pemilu "lima kotak suara" itu. Maka kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan pemilu yang dimaksud dalam UUD 1945 pun tak mencakup sengketa pemilihan kepala daerah.
Dengan argumentasi itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 236-C Undang-Undang Pemerintah Daerah dan Pasal 29 ayat 1 huruf e Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Untuk menjamin kepastian hukum, Mahkamah menambahkan poin khusus dalam putusannya. Semua putusan sengketa pilkada yang dibuat Mahkamah Konstitusi selama ini tetap sah secara hukum. Selanjutnya, untuk mengantisipasi kekosongan hukum, selama belum ada undang-undang dan lembaga pemutus baru, sengketa pilkada masih diadili Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak bulat. Tiga dari sembilan hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda. Mereka adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadil Sumadi. Ketiganya menolak permohonan uji materi itu.
Menurut ketiga hakim, penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi tetap konstitusional. Apalagi Mahkamah Konstitusi pun punya andil atas penambahan wewenang itu. Pada 2005, Mahkamah Konstitusi memberi keleluasaan kepada DPR untuk memasukkan pilkada dalam rezim pemilu seperti dimaksudkan Pasal 22-E UUD 1945. Ketika menyusun Undang-Undang Pemilu pada 2007, DPR pun memasukkan pilkada. Setahun kemudian, ketika merevisi Undang-Undang Pemerintah Daerah, DPR pun mengalihkan wewenang memutus perkara pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Hakim konstitusi Anwar Usman mengingatkan, dalam 689 putusan sengketa pilkada, Mahkamah Konstitusi juga selalu menyebutkan berwenang mengadili perkara itu. "Setelah beratus-ratus kali memutus, sungguh naif bila kini Mahkamah menyatakan ketentuan itu tak mengikat," ujar Anwar.
"Bola" kini dilempar Mahkamah kepada pembuat undang-undang. Mahkamah menyerahkan sepenuhnya kepada DPR untuk menentukan lembaga mana yang bakal menangani sengketa pilkada. "Terserah mau diberikan ke mana. Kami tak akan mencampuri," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva.
Menurut pemohon judicial review, begitu Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal yang mereka gugat inkonstitusional, semua perkara sengketa pilkada semestinya langsung dikembalikan ke Mahkamah Agung. "Karena pasal yang menjadi dasar wewenang Mahkamah Konstitusi sudah dibatalkan," ujar Victor.
Hanya, Mahkamah Agung tampaknya kurang bersemangat menyambut "bola" yang pernah lepas dari genggamannya itu. "Kami menyayangkan putusan itu," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, Rabu pekan lalu. Bila DPR mengembalikan sengketa pilkada ke Mahkamah Agung, menurut Ridwan, lembaganya jelas akan sangat kerepotan. Sengketa pilkada, menurut dia, akan menambah tumpukan beban perkara di Mahkamah Agung. Bila itu diserahkan kepada pengadilan di daerah, risikonya pun terlalu tinggi. "Tekanan dari pendukung pihak-pihak yang bersengketa di daerah sangat kuat," ujar Ridwan.
Jajang Jamaludin, Reza Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo