HAWA laut mulai menghangat lagi. Ada kontroversi tentang wilayah
perikanan antara Uni Soviet dan Jepang tatkala yang pertama
mengklaim zone perikanan 200 mil belum lama ini. AS terhitung 1
Maret sudah pula mengklaim kawasan yang sama. Dan menjelang
musim panas ini sidang ke 6 Konperensi Hukum Laut PBB akan mulai
lagi. Sekitar 150 negara masih harus merampungkan kerja mereka,
mencari kata sepakat untuk masalah yang amat kompleks, bahkan
nyaris musykil ini. Setelah 5 kali sidang sejak 1973, Konperensi
baru dapat meninggalkan vised Single Negotlailg Text -
rancangan pasal-pasal yang diharapkan akan menjadi konvensi.
Dan dua pekan lalu, tak kurang dari Elliot Richardson, Ketua
Delegasi AS ke Konperensi Hukum Laut yang datang ke Jakarta.
Rupanya ia ingin menelusuri lebih jauh sikap Indonesia dalam
masalah hukum laut, di samping tentu saja memberikan gambaran
tentang posisi negara maritim itu sendiri. Dua hari Richardson
yang beberapa kali jadi menteri itu, berembug dengan Mochtar
Kusumaatmadja, sejawat Indonesianya beserta staf. Sebelumnya
Mochtar dan rombongan memenuhi undangan Moskow untuk pertemuan
konsultatir juga.
Tapi tak banyak yang muncrat dari pertemuan Richardson-Mochtr.
Pernyataan pers bersama yang mereka keluarkan setelah pertemuan
penjajakan itu hanya menyinggung hal-hal di permukaan saja.
Richardson sendiri ketika memberi keterangan pers di Halim
mengakui kedua belah pihak belum mendapat persetujuan akhir.
Mereka baru menyelusuri posisi masing-masing, tapi yang
dinilainya telah merupakan langkah-langkah terang menuju
akomodasi selanjutnya. Baik AS maupun Indonesia masih sama
menaruh harapan bahwa sidang Konperensi Hukum Laut bulan Mei ini
akan dapat lebih mendekatkan posisi masing-masing.
Untung ada Dr. Hasjim Djalal -- pejabat Deplu yang juga
Sekretaris Delegasi Indonesia ke Konperensi Hukum Laut - sedikit
membuka tabir. "Amerika Serikat bersedia menerima konsepsi
nusantara, asal saja dapat dicarikan peraturan yang akseptabel
mengenai soal lalulintas laut dan udara", kata Direktur
Perjanjian Internasional Deplu tersebut pada TEMPO pekan lalu.
Sikap AS ini sudah dapat diduga sebelumnya.
Kecenderungan negara-negara untuk menerima lebar laut
teritorial 12 mil, sebagai pengganti 3 mil, telah membawa
implikasi geografis yang amat luas. Lebih dari 100 selat telah
menjadi bagian wilayah negara-negara tepi. Lorong laut bebas
yang terdapat antara kedua pinggir selat - di luar 6 mil, dalam
hal masing-masing negara tepi mengklaim 3 mil laut teritorial
telah pupus. Selat-selat tersebut umumnya tak lebih lebar dari
24 mil. Dengan begitu, keseluruhan selat mutlak berada di bawah
kedaulatan masing-masing negara tepi sebagai laut teritorial
mereka. Yang dekat adalah Selat Malaka.
Bagaimana dengan kapal-kapal asing, terutama negara-negara
maritim lain yang bertahun-tahun sudah biasa lewat di situ?
Terhadap mereka diterapkan rezim lintas damai (innocett
passage) - lawan dari lalulintas bebas (free passage) yang
dilaksanakan di laut lepas. Kapal-kapal perang asing harus
memberitahu lebih dahulu. Sedangkan kapal selam harus muncul di
permukaan air. Pelintasan kapal asing dianggap damai sepanjang
tidak mengganggu perdamaian, ketertiban dan keamanan negara
pantai. Pokoknya kapal-kapal itu harus turut pada aturan yang
dikeluarkan negara pantai.
Ini tentu hal yang tak boleh jadi, setidak-tidaknya bagi AS dan
negua negara maritim lain. Itulah sebabnya, biarpun AS
akhir-akhir ini menurutkan arus 12 mil, tapi dia tetap
menginginkan terciptanya satu rezim lintas khusus bagi
kapal-kapal dan pesawat terbang melalui dan di atas selat yang
digunakan bagi navigasi internasional.
Diturunkan Grotius
Richardson yang berpangkat duta besar itu mengatakan di Jakarta,
ia dan sejawat Indonesianya mengakui membicarakan
prinsip-prinsip lintas melalui dan di atas selat semacam
tersebut tadi. Di samping itu juga mengenai prinsip-prinsip yang
melandasi konsepsi negara kepulauan. Yang terakhir ini akan
menyangkut pengaturan pelayaran di perairan kepulauan
(archipelagic water). Sebenarnya sikap Indonesia sebagian sudah
tertampung dalam RSNT sendiri (pasal 118 s/d 127) -- bahkan bagi
negara kepulauan semacam Indonesia dimuatnya ketentuan tentang
rezim negara kepulauan (archipelagic state) sudah merupakan
kemajuan yang amat besar. Antara lain diatur tentang hak lintas
di alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lanes
passage). Pada pokoknya sebuah negara kepulauan dapat menetapkan
alur laut dan rute penerbangan yang aman, berkelanjutan dan
tepat bagi kapal dan pesawat terbang asing melalui dan di atas
perairan kepulauan dan laut teritorialnya.
Tentu saja perumusan yang masih diikuti oleh 11 ayat ini masih
dapat mengalami perobahan dalam sidang-sidang Konperensi
Hukum Laut yang akan datang. Agaknya di sinilah fichardson
hendak mencoba memainkan peranannya. Bukankah Indonesia satu
negara kepulauan utama (negara-negara kepulauan lain Pilipina,
Fiji, Mauritius dan Bahama)?
Seperti dikatakan Hasjim Djalal hak lintas di alur laut
kepulauan ini merupakan kombinasi antara pengaturan lintas damai
(innocent passae) dan kebebasan berlayar (free passage). Dalam
urusan lintas melintas di laut, dua rezim ini tampak mendasari
dua pola pemikiran. Negara-negara berkembang ingin kedaulatannya
melebar sejauh mungkin ke kawasan laut, sedangkan negara-negara
maritim ingin mempertahankan ajaran kebebasan di laut (freedom
of the seas) sebagaimana pertama kali diturunkan Grotius, ahli
hukum Belanda yang kemudian digelari bapak hukum internasional
itu.
Tinggal lagi bagaimana menentukan alur laut itu. Apakah dengan
bentuk lorong (corridor) atau sistim poros saja. Hasjim
menjelaskan, AS cenderung pada yang pertama dan Indonesia pada
yang kedua. Kemudian perkara kapal terbang yang boleh melintasi
udara negara kepulauan. Pesawat terbang apa saja? Ini soal-soal
yang belum terembug dengan baik.
Tentang Buffalo
Menurut Hasjim, seperti juga Mochtar, pembicaraan dengan Moskow
lebih menunjukkan hasil konkrit. "Richardson terlambat" kata
Mochtar di rumahnya pada Zen Purba dari TEMPO. "Kita sudah
lebih dulu mengantongi persesuaian-persesuaian dengan pihak
Moskow". Tapi bukan itu yang penting. "Uni Soviet lebih
berkepentingan di Atlantik", sambung Mochtar.
Lalu apa negara komunis ini sudah seluruhnya menerima konsepsi
negara kepulauan? "Hanya tinggal soal memilih kata-kata yang
tepat", tukas Hasjim dari kantornya yang baru diperbaharui di
Penjambon. "Seperti misalnya bagaimana kita memberi definisi
tentang buffallo".
Jepang? "Mereka hanya berkepentingan di Selat Malaka", jawab
Hasjim. Tentu. Hingga kini sekitar 90% konsumsi minyak Jepang
tergantung pada impor dari Timur Tengah. Jalan yang dilintasi
tankernya tak lain dari Selat Malaka. Itulah seluruhnya Jepang
sangat banyak membantu terlaksananya survey keamanan pelayaran
di Selat Malaka yang dilakukan Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Ketiga negara tepi selat ini bahkan baru saja
menandatangani persetujuan mengenai pengaturan pelayaran di
selat tersehut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini