Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Liku-liku lintas laut

Sidang konperensi hukum laut akan dimulai lagi. ketua delegasi as, elliot richardson, berkunjung ke jakarta guna menyelusuri sikap indonesia. moskow dan indonesia telah mencapai persesuaian sikap.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAWA laut mulai menghangat lagi. Ada kontroversi tentang wilayah perikanan antara Uni Soviet dan Jepang tatkala yang pertama mengklaim zone perikanan 200 mil belum lama ini. AS terhitung 1 Maret sudah pula mengklaim kawasan yang sama. Dan menjelang musim panas ini sidang ke 6 Konperensi Hukum Laut PBB akan mulai lagi. Sekitar 150 negara masih harus merampungkan kerja mereka, mencari kata sepakat untuk masalah yang amat kompleks, bahkan nyaris musykil ini. Setelah 5 kali sidang sejak 1973, Konperensi baru dapat meninggalkan vised Single Negotlailg Text - rancangan pasal-pasal yang diharapkan akan menjadi konvensi. Dan dua pekan lalu, tak kurang dari Elliot Richardson, Ketua Delegasi AS ke Konperensi Hukum Laut yang datang ke Jakarta. Rupanya ia ingin menelusuri lebih jauh sikap Indonesia dalam masalah hukum laut, di samping tentu saja memberikan gambaran tentang posisi negara maritim itu sendiri. Dua hari Richardson yang beberapa kali jadi menteri itu, berembug dengan Mochtar Kusumaatmadja, sejawat Indonesianya beserta staf. Sebelumnya Mochtar dan rombongan memenuhi undangan Moskow untuk pertemuan konsultatir juga. Tapi tak banyak yang muncrat dari pertemuan Richardson-Mochtr. Pernyataan pers bersama yang mereka keluarkan setelah pertemuan penjajakan itu hanya menyinggung hal-hal di permukaan saja. Richardson sendiri ketika memberi keterangan pers di Halim mengakui kedua belah pihak belum mendapat persetujuan akhir. Mereka baru menyelusuri posisi masing-masing, tapi yang dinilainya telah merupakan langkah-langkah terang menuju akomodasi selanjutnya. Baik AS maupun Indonesia masih sama menaruh harapan bahwa sidang Konperensi Hukum Laut bulan Mei ini akan dapat lebih mendekatkan posisi masing-masing. Untung ada Dr. Hasjim Djalal -- pejabat Deplu yang juga Sekretaris Delegasi Indonesia ke Konperensi Hukum Laut - sedikit membuka tabir. "Amerika Serikat bersedia menerima konsepsi nusantara, asal saja dapat dicarikan peraturan yang akseptabel mengenai soal lalulintas laut dan udara", kata Direktur Perjanjian Internasional Deplu tersebut pada TEMPO pekan lalu. Sikap AS ini sudah dapat diduga sebelumnya. Kecenderungan negara-negara untuk menerima lebar laut teritorial 12 mil, sebagai pengganti 3 mil, telah membawa implikasi geografis yang amat luas. Lebih dari 100 selat telah menjadi bagian wilayah negara-negara tepi. Lorong laut bebas yang terdapat antara kedua pinggir selat - di luar 6 mil, dalam hal masing-masing negara tepi mengklaim 3 mil laut teritorial telah pupus. Selat-selat tersebut umumnya tak lebih lebar dari 24 mil. Dengan begitu, keseluruhan selat mutlak berada di bawah kedaulatan masing-masing negara tepi sebagai laut teritorial mereka. Yang dekat adalah Selat Malaka. Bagaimana dengan kapal-kapal asing, terutama negara-negara maritim lain yang bertahun-tahun sudah biasa lewat di situ? Terhadap mereka diterapkan rezim lintas damai (innocett passage) - lawan dari lalulintas bebas (free passage) yang dilaksanakan di laut lepas. Kapal-kapal perang asing harus memberitahu lebih dahulu. Sedangkan kapal selam harus muncul di permukaan air. Pelintasan kapal asing dianggap damai sepanjang tidak mengganggu perdamaian, ketertiban dan keamanan negara pantai. Pokoknya kapal-kapal itu harus turut pada aturan yang dikeluarkan negara pantai. Ini tentu hal yang tak boleh jadi, setidak-tidaknya bagi AS dan negua negara maritim lain. Itulah sebabnya, biarpun AS akhir-akhir ini menurutkan arus 12 mil, tapi dia tetap menginginkan terciptanya satu rezim lintas khusus bagi kapal-kapal dan pesawat terbang melalui dan di atas selat yang digunakan bagi navigasi internasional. Diturunkan Grotius Richardson yang berpangkat duta besar itu mengatakan di Jakarta, ia dan sejawat Indonesianya mengakui membicarakan prinsip-prinsip lintas melalui dan di atas selat semacam tersebut tadi. Di samping itu juga mengenai prinsip-prinsip yang melandasi konsepsi negara kepulauan. Yang terakhir ini akan menyangkut pengaturan pelayaran di perairan kepulauan (archipelagic water). Sebenarnya sikap Indonesia sebagian sudah tertampung dalam RSNT sendiri (pasal 118 s/d 127) -- bahkan bagi negara kepulauan semacam Indonesia dimuatnya ketentuan tentang rezim negara kepulauan (archipelagic state) sudah merupakan kemajuan yang amat besar. Antara lain diatur tentang hak lintas di alur laut kepulauan (right of archipelagic sea lanes passage). Pada pokoknya sebuah negara kepulauan dapat menetapkan alur laut dan rute penerbangan yang aman, berkelanjutan dan tepat bagi kapal dan pesawat terbang asing melalui dan di atas perairan kepulauan dan laut teritorialnya. Tentu saja perumusan yang masih diikuti oleh 11 ayat ini masih dapat mengalami perobahan dalam sidang-sidang Konperensi Hukum Laut yang akan datang. Agaknya di sinilah fichardson hendak mencoba memainkan peranannya. Bukankah Indonesia satu negara kepulauan utama (negara-negara kepulauan lain Pilipina, Fiji, Mauritius dan Bahama)? Seperti dikatakan Hasjim Djalal hak lintas di alur laut kepulauan ini merupakan kombinasi antara pengaturan lintas damai (innocent passae) dan kebebasan berlayar (free passage). Dalam urusan lintas melintas di laut, dua rezim ini tampak mendasari dua pola pemikiran. Negara-negara berkembang ingin kedaulatannya melebar sejauh mungkin ke kawasan laut, sedangkan negara-negara maritim ingin mempertahankan ajaran kebebasan di laut (freedom of the seas) sebagaimana pertama kali diturunkan Grotius, ahli hukum Belanda yang kemudian digelari bapak hukum internasional itu. Tinggal lagi bagaimana menentukan alur laut itu. Apakah dengan bentuk lorong (corridor) atau sistim poros saja. Hasjim menjelaskan, AS cenderung pada yang pertama dan Indonesia pada yang kedua. Kemudian perkara kapal terbang yang boleh melintasi udara negara kepulauan. Pesawat terbang apa saja? Ini soal-soal yang belum terembug dengan baik. Tentang Buffalo Menurut Hasjim, seperti juga Mochtar, pembicaraan dengan Moskow lebih menunjukkan hasil konkrit. "Richardson terlambat" kata Mochtar di rumahnya pada Zen Purba dari TEMPO. "Kita sudah lebih dulu mengantongi persesuaian-persesuaian dengan pihak Moskow". Tapi bukan itu yang penting. "Uni Soviet lebih berkepentingan di Atlantik", sambung Mochtar. Lalu apa negara komunis ini sudah seluruhnya menerima konsepsi negara kepulauan? "Hanya tinggal soal memilih kata-kata yang tepat", tukas Hasjim dari kantornya yang baru diperbaharui di Penjambon. "Seperti misalnya bagaimana kita memberi definisi tentang buffallo". Jepang? "Mereka hanya berkepentingan di Selat Malaka", jawab Hasjim. Tentu. Hingga kini sekitar 90% konsumsi minyak Jepang tergantung pada impor dari Timur Tengah. Jalan yang dilintasi tankernya tak lain dari Selat Malaka. Itulah seluruhnya Jepang sangat banyak membantu terlaksananya survey keamanan pelayaran di Selat Malaka yang dilakukan Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ketiga negara tepi selat ini bahkan baru saja menandatangani persetujuan mengenai pengaturan pelayaran di selat tersehut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus