Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

LPSK Nilai Terpidana Kasus Eky dan Vina Korban Peradilan Sesat

LPSK melindungi tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky karena menilai ada pengadilan sesat delapan tahun lalu. 

6 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rekonstruksi kasus Vina dan Eky yang dilaksanakan pada 26 Oktober 2016. Dok. Pribadi Titin Prialianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • LPSK melindungi tujuh terpidana kasus pembunuhan Eky dan Vina Cirebon.

  • Mereka menilai para terpidana itu merupakan korban dari peradilan sesat.

  • LPSK pun diminta melindungi para polisi yang mau membongkar kejanggalan pengusutan kematian delapan tahun lalu itu.

LEMBAGA Perlindungan Saksi dan Korban memutuskan melindungi tujuh dari delapan terpidana perkara pembunuhan Eky dan Vina Cirebon. Ketujuh terpidana itu mengajukan permohonan pelindungan karena sedang menjalani sidang peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Cirebon, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka adalah Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Hadi Saputra, Eko Ramadhani, Sudirman, dan Rivaldi Aditya Wardana. Sebelumnya, mereka divonis penjara seumur hidup. Sedangkan satu terpidana lain adalah Saka Tatal, yang kini telah bebas karena hanya mendapat hukuman 8 tahun penjara. Saka lebih dulu mengajukan permohonan PK dan kini berkasnya tengah diproses Mahkamah Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua LPSK Sri Suparyati menyatakan pihaknya memutuskan melindungi tujuh terpidana itu melalui sidang mahkamah pimpinan LPSK pada Senin, 2 September 2024. “Para terlindung saat ini berstatus hukum sebagai saksi dalam kasus pemberian keterangan palsu dan sebagai pemohon upaya hukum PK yang merupakan rangkaian dalam perkara kasus kematian V dan E,” kata Sri kepada Tempo, Kamis, 5 September 2024.

Kasus pemberian kesaksian palsu yang disebut Sri saat ini tengah diproses oleh Badan Reserse Kriminal Polri. Kuasa hukum para terdakwa sebelumnya mengadukan dua saksi kunci kematian Vina dan Eky delapan tahun lalu, yakni Aep dan Dede. Dalam kesaksiannya, delapan tahun lalu, keduanya mengaku melihat para terpidana melempar batu serta mengejar Eky dan Vina yang melintas di Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Cirebon.

Belakangan, Dede mencabut keterangannya itu dan menyatakan tidak melihat apa-apa. Dia mengaku keterangannya delapan tahun lalu itu hanya mengikuti arahan Inspektur Satu Rudiana, ayah Eky. 

Sidang perdana PK keenam terpidana tersebut baru dimulai pada Rabu, 4 September 2024. Dalam persidangan, tim kuasa hukum membacakan tiga memori PK untuk para terpidana. Rivaldi mengajukan memori PK atas putusan kasasi MA. Terpidana lain, Eko, mengajukan permohonan PK terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Empat terpidana lain—Eka, Hadi, Suprianto, dan Jaya—mengajukan permohonan PK atas putusan Pengadilan Negeri Cirebon. Sementara itu, satu memori PK atas nama Sudirman belum dibacakan karena dia baru mengajukan belakangan.

Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) yang menjadi kuasa hukum keenam terpidana menyatakan menyiapkan sejumlah alat bukti baru dan 50 saksi untuk PK ini. “Puluhan saksi yang kami siapkan terdiri atas 30 saksi fakta dan 20 saksi ahli,” kata Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan di Pengadilan Negeri Cirebon, Rabu, 4 September 2024.

Sri mengatakan salah satu pertimbangan lembaganya turun tangan mendampingi para terpidana tersebut adalah adanya indikasi peradilan sesat dalam perkara yang telah diputuskan Pengadilan Negeri Cirebon pada 26 Mei 2017 itu. “LPSK yakin proses hukum yang lalu memiliki catatan dan indikasi adanya peradilan sesat."

Namun Sri tidak menjelaskan alasan pihaknya yakin adanya peradilan sesat terhadap para terpidana tersebut. Dia menyatakan LPSK berpandangan bahwa keterangan para terpidana yang membantah membunuh Eky dan Vina patut diuji kembali setelah melihat perkembangan kasus ini belakangan. “Dalam hal tujuh terpidana diberi perlindungan, posisi mereka sebagai pemohon PK, yang di dalamnya LPSK mengakomodasi upaya tersebut."

Indikasi adanya peradilan sesat kasus ini mencuat dalam beberapa bulan terakhir, setelah cerita pembunuhan Eky dan Vina diangkat menjadi film layar lebar. Pengacara para terdakwa membuka lebar berbagai kejanggalan penanganan kasus ini sejak awal. Cerita soal dugaan kesalahan prosedur penangkapan para terpidana, kesaksian yang lemah hingga persidangan yang tak memperlihatkan bukti-bukti kuat bahwa sejoli itu dibunuh pun terkuak lebar. 

Terakhir, mencuat fakta komunikasi antara Vina dengan kedua temannya, Mega Lestari serta Widia Sari, hanya beberapa menit sebelum dirinya ditemukan terkapar di jembatan layang Talun, Kota Cirebon. Data komunikasi berupa layanan pesan singkat atau SMS itu membuat publik meragukan jika Vina sempat diperkosa beramai-ramai serta tubuh keduanya dipindahkan ke beberapa tempat. Pasalnya, rentang waktu antara SMS terakhir yang dikirimkan oleh Vina dengan kabar dia mengalami kecelakaan hanya beberapa menit saja. 

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sri Suparyati. Dok. LPSK

Sri menjelaskan, dalam perlindungannya, tujuh terpidana perkara pembunuhan Vina Cirebon akan mendapat layanan pemenuhan hak prosedural, pelindungan fisik berupa pengawalan dan pengamanan melekat saat pemberian keterangan dalam sidang PK, serta rehabilitasi psikologis. “LPSK memberikan layanan program pemenuhan hak prosedural kepada semua pemohon berupa pendampingan saat pemeriksaan sebagai saksi dalam setiap proses peradilan pidana dan pemohon upaya hukum PK,” ucapnya.

Khusus untuk Sudirman, kata Sri, LPSK memberi pelindungan tambahan, yakni pelindungan fisik berupa pengawasan monitoring dan rehabilitasi psikologis berdasarkan hasil asesmen LPSK bekerja sama dengan lembaga pemasyarakatan. “LPSK juga mengharapkan SD dapat dikembalikan ke Lapas Cirebon. Sebab, sejak awal, setelah pemeriksaan di Kepolisian Daerah Jawa Barat, SD masih ditempatkan di Lapas Banceuy, Kota Bandung. Sedangkan terpidana lain di Lapas Cirebon."

Bis yang membawa terpidana kasus kematian Vina dan Eky, Sudirman, tiba di Lapas Cirebon, Jawa Barat, 5 September 2024. ANTARA/Fathnur Rohman

Perlindungan tambahan kepada Sudirman itu tak terlepas dari apa yang dialaminya belakangan. Dia tiba-tiba memutus kuasa pengacara lamanya dan menerima pendampingan dari pengacara yang diberikan Polda Jawa Barat. Pihak keluarga mengaku sempat kesulitan bertemu dengan Sudirman karena dia ditahan di Lapas Banceuy. Mereka pun kecewa kepada kuasa hukum baru Sudirman karena dianggap lambat dalam mengajukan permohonan PK. 

Otto Hasibuan menyatakan pihaknya kini telah mendapatkan kuasa dari keluarga Sudirman. Tapi kuasa itu baru dikantongi setelah mereka mengajukan PK terhadap enam terpidana lain. Mereka pun pernah meminta kepada majelis hakim agar PK Sudirman disertakan dalam sidang kemarin. Tapi permohonan itu ditolak. “Ya, akhirnya sangat melelahkan, ya. Karena kasusnya juga sama, tapi kami harus tetap bersidang, khusus Sudirman. Tanggal 25 September sidang PK Sudirman,’’ tutur Otto.

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel melihat turun gunungnya LPSK memperkuat dugaan bahwa para terpidana perkara pembunuhan Eky dan Vina merupakan korban kriminalisasi. Apalagi kriminalisasi itu dilakukan oleh otoritas penegak hukum. “Boleh jadi karena LPSK menginsafi bahwa mereka (terpidana) adalah korban penyiksaan sekaligus kriminalisasi,” ujarnya.

Maka, lanjut Reza, LPSK hadir sebagai representasi negara yang punya kemampuan menjamin keselamatan para terpidana tersebut. “Jadi, situasi pidana kasus Cirebon sekarang berfokus pada para terpidana yang dinilai LPSK sebagai korban."

Menurut dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, dalam konsepsi tindak pidana, terdapat alasan seseorang melakukannya. Dari sengaja, tidak sengaja, hingga lalai. Dalam setiap konsepsi itu tak jarang tersangka atau terdakwa bisa diposisikan sebagai korban. “Jadi, dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky ini, terpidananya menjadi korban."

Selain itu, Fickar menjelaskan, sidang PK memiliki proses yang panjang dan tidak mudah. Tidak semua terpidana tindak pidana bisa mengajukan permohonan PK untuk menguji kembali perbuatannya. “PK itu upaya hukum luar biasa. Enggak semua orang bisa mengajukan PK. Kalau ini bisa mengajukan PK, artinya ada kekeliruan hakim atau ada bukti baru,” ucapnya.

Beberapa dokumen barang bukti tersangka kasus pembunuhan Vina dan Eky Cirebon saat konferensi pers di Polda Jawa Barat di Bandung, 26 Mei 2024. TEMPO/Prima mulia

Reza pun menyarankan kepolisian segera mengumumkan hasil kerja tim khusus yang dibentuk Polri untuk menelusuri kejanggalan kasus ini. Menurut dia, tim tersebut sudah mengantongi kesimpulan tentang tidak adanya pidana di balik kematian Eky dan Vina. 

Selain itu, menurut Reza, tim khusus telah mengantongi bukti adanya dugaan pelanggaran etik oleh sekian banyak personel Polres Cirebon dan Polda Jawa Barat saat mengusut kasus ini. “Mulia sekali jika Polri melakukan itu. Jadi, Polri tidak hanya memproses hukum orang yang bersalah, tapi juga menginisiasi langkah hukum guna membebaskan orang yang tidak bersalah."

Sikap kepolisian itu, lanjut Reza, secara tidak langsung juga akan memberikan justifikasi ekstra bagi perlindungan yang dikenakan LPSK kepada para terpidana. Selanjutnya, Reza juga menyarankan personel Polres Cirebon dan Polda Jawa Barat yang menyelidiki kasus tersebut membuat testimoni serta laporan tentang penyiksaan dan keterlibatan mereka dalam kriminalisasi terhadap para terpidana pembunuh Vina dan Eky pada 2016-2017. “Testimoni atau pengakuan mereka itu, lebih jauh, akan membuka jalan untuk menakar seberapa jauh indikasi peran Iptu Rudiana ataupun jika ada pejabat-pejabat Polres Cirebon dan Polda Jawa Barat selaku superior yang telah memberikan perintah yang salah,” kata Reza.

Reza menyatakan LPSK juga perlu mempertimbangkan melindungi para anggota Polres Cirebon ataupun Polda Jawa Barat yang mau buka mulut soal kejanggalan penanganan kematian Vina dan Eky. Dia menyatakan LPSK bisa saja memberikan perlindungan seperti saat mereka melindungi Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, tersangka kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang buka mulut untuk mengungkap peran atasannya, Brigjen Ferdy Sambo. 

Menurut Reza, para anggota Polres Cirebon atau Polda Jawa Barat bisa mendapat superior order defence atau pelindungan hukum terhadap seseorang yang melakukan kejahatan karena perintah atasannya. “Kepada personel Polres dan/atau Polda yang mau buka suara itu, LPSK patut mempertimbangkan untuk memberi pelindungan juga. Bahkan bisa pula dengan tambahan berupa status sebagai justice collaborator."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Intan Setiawaty dan Antara turut berkontribusi dalam artikel ini. 

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus