LURAH Desa Jaka Sampurna, Bekasi Selatan, Mohammad Toha Effendi, 49 tahun, memecahkan rekor. Ia satu-satunya lurah di Indonesia yang dituduh korupsi Rp 6,5 milyar. Jaksa I Made Tisna, yang Sabtu pekan lalu menyeret ke sidang, menuduh Lurah Toha telah memanipulasikan tanah negara di wilayahnya seluas 13 hektar, dengan menjualnya berkali-kali kepada penggarap atau orang lain. Setahun setelah diangkat menjadi lurah, April 1981, menurut Jaksa Tisna, Toha sudah mempreteli tanah negara tersebut. Pertama, seluas 8,5 ha, tanah itu dijualnya kepada teman lamanya, H. Muchtar, seharga Rp 32 juta. Kemudian seluas 1,8 ha dijualnya Rp 18,5 juta kepada Moch. Ali. Kepada dua orang lainnya, Toha - berpendidikan sampai SD - menjual tanah itu seluas 4 ha, dengan harga sekitar Rp 40 juta. Padahal, pada tuduhan, semua tanah negara yang diperdagangkan Toha itu sedang digarap 15 orang penduduk lain lagi. Agar tidak ribut, Toha memberi uang sekitar Rp 2 juta kepada sembilan penggarap. Tapi sebaliknya ia juga mengutip Rp 2,8 juta dari dua penggarap, untuk mengurus sertifikat tanah mereka. Ternyata, sampai diadili, sertifikat itu tak pernah diurusnya. Tidak hanya itu, menjelang akhir 1983 Toha mengajukan daftar nama 36 orang, yang disebutnya penggarap, guna memperoleh hak kepemilikan atas tanah 13 ha itu, lewat redistribusi land reform. "Sebagian besar nama penggarap itu fiktif belaka," kata Jaksa Tisna d sidang. Untuk mengurus sertifikat fiktif itu, Toha memberi kuasa kepada H. Banjar, seorang calo sertifikat tanah di wilayah Jabotabek. Gubernur Jawa Barat, pada awal 1984, memberikan hak atas 13 ha tanah itu kepada ke-36 nama penggarap "siluman" tersebut. Berdasarkan itu, lewat permainan mulus dengan orang Agraria, H. Banjar kemudian memperoleh 14 buah sertifikat atas tanah tersebut. Untuk itu, H. Banjar membayar ganti rugi sekitar Rp 809 ribu ke kas negara. Lurah Toha diberi bagian Rp 18 juta. Selain itu, ia mengeluarkan biaya sekitar Rp 130 juta di Kantor Agraria Bekasi, dan Rp 100 juta untuk kas Pemda Bekasi. Kabag Pemerintahan Pemda Bekasi, Sitohang, mengakui bahwa pihaknya menerima uang itu. "Itu sumbangan pihak ketlga untuk pembangunan daerah," kata Sitohang. Sertifikat-sertifikat itu kemudian dijual Banjar kepada orang lain seharga Rp 650 juta. Setelah berpindah-pindah tangan, tanah itu kini berada pada developer PT Duta Indocor Agung, yang akan membangun perumahan KPR BTN Jaka Sampurna Mas Permai di situ. Tapi di atas tanah itu kini berdiri papan nama PT Duta Nitsuko Utama. Padahal, sebenarnya sebagian tanah negara seluas 13 ha itu, menurut Perumnas,miliknya. "Seluas 9 dari 13 ha tanah kasus itu termasuk tanah yang dibeli dan dibebaskan Perumnas, sisanya rawa-rawa," kata Didi Suwandhi, Kepala Perumnas Cabang III. Pada 1977, cerita Didi, Perumnas membeli tanah sekitar 262 ha di wilayah itu, yang terdiri atas 164 ha tanah rakyat dan 98 ha tanah negara. Untuk tanah negara Perumnas membayar ke Pemda Bekasi Rp 1 milyar lebih. Setelah itu, Perumnas mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut. Tapi baru September lalu Perumnas memperoleh hak pengelolaan, dengan luas yang menyusut menjadi sekitar 248 ha. Tiga belas hektar, yang hilang itu, jatuh ke tangan H. Banjar berkat bisnisnya dengan Lurah Toha tadi. Ketika Perumnas menunggu sertifikat hak pengelolaan itu, 1980-1987, berbagai kejadian muncul di lokasi. "Banyak penggarap berebut di atas tanah 13 ha itu, karena menganggap tanah itu tidak bertuan," kata seorang pejabat Pemda di situ. Toha dan Banjar memanfaatkan pula situasi itu, sehingga mendapat sertifikat atas tanah tersebut. Persoalan kemudian malah muncul di antara Toha dan Banjar di satu pihak, dan penggarap di pihak lain Sebagian penggarap ternyata Juga memiliki girik tanah, yang dibelinya dari Lurah Toha juga. Sebab itu, mereka mengadu ke Kejaksaan Negeri Bekasi. Sejak akhir September kedua orang itu ditangkap dan ditahan di Rutan Bekasi. Toha, ayah delapan anak dari dua orang istri, Sabtu pekan lalu tampak agak tegang di pengadilan. "Sembilan belas tahun saya memimpin desa, baru kali ini ke sidang," kata lelaki berbadan tegap ini, yang desanya pernah meraih gelar juara umum dalam Lomba Pembangunan tingkat Kota Madya Bekasi, 1985. Sembari membuka kancing kemeja batiknya karena kepanasan, Toha berucap, "Eeh, buat saya, sih, nggak apa-apa diadili. Namanya orang hidup, bisa saja kena perkara. Tapi tuduhan Jaksa Rp 6,5 milyar itu tinggi banget." Menurut pengacaranya, Mas'uddin Zakaria, Jaksa menuduh kliennya korupsi Rp 65 milyar, karena menaksir harga tanah dengan pasaran sekarang, sekitar Rp 50 ribu per m2. Padahal, jumlah uang yang literima Toha hanya Rp 58 juta. "Itu pun tidak diberikan sekaligus oleh Banjar," kata Mas'uddin. Uang itu, kata Mas'uddin, hanya sekitar Rp 6 juta dipakai Toha untuk membangun rumahnya. "Sisanya ia gunakan untuk komisi ke atas dan ke bawah dan untuk pembangunan desa," kata sumber TEMPO yang dekat dengan Toha. Selain itu, Mas'uddin menganggap tak hanya Toha yang harus bertanggung Jawab. Sebab, Banjar, Lesmana, bekas Camat Bekasi Selatan, serta Suratman, Kepala Seksi Land Reform Agraria Bekasi, juga terlibat ketiganya akan diajukan secara terpisah. "Dibandingkan mereka, peranan Pak Lurah kecil," kata pengacara itu. Happy Sulistyadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini