Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT perusahaan kayu di Sumatera Selatan, PT Balok Mas, PT Padeco, PT Way Hitaln, dan PT Sukses Sumatera Timber, dihukum Pengadilan Negeri Palembang untuk membayar ganti rugi Rp 390 juta kepada perusahaan angkutan laut PT Binuang. Keempat perusahaan kayu itu, akhir bulan lalu, dinyatakan terbukti menyulap jumlah muatan kayunya - seolah-olah lebih kecil dari muatan sebenarnya sehingga merugikan Binuang. Majelis hakim yang diketuai H.P. Panggabean, Maret lalu, melakukan tindakan yang belum pernah dilakukan haklm perdata mana pun di Indonesia: Ia memerintahkan MV Riau, yang saat itu sudah siap berlayar ke Jepang dengan muatan kayu lapis dan kayu gergajian, untuk membongkar kembali muatannya. Sebab, pihak pengangkut, Binuang, curiga isi kapal melebihi jumlah yang disebutkan dalam dokumen-dokumen yang diserahkan keempat perusahaan kayu itu. "Kecurigaan itu 'kan harus dibuktikan. Sebab itu, perlu pengukuran ulang," ujar Panggabean kemudian. Menurut direktur PT Binuang, Sutan H. Saibi, kecurigaannya itu bermula ketika ia mendapat telepon dari nakoda kapal bahwa seluruh palka kapal telah terisi, bahkan melimpah. Padahal, ia hanya merasa menerima muatan dari keempat perusahaan kayu, berupa 4.800 kubik kayu. Jumlah itu, katanya, tidak sampai separuh kapasitas ruangan kapal MV Riau - yang dicarternya dari PT Mare Shakti Indonesia - 10.700 kubik. Para eksportir tentu saja keberatan. Sebab, seperti dikatakan salah seorang pengacara mereka, Anton Abdurahman, semua dokumen ekspor kayu yang mereka miliki menyebutkan bahwa jumlah kayu yang diekspor hanya 4.800 kubik. Seandainya Binuang curiga, pihak tergugat menawarkan pengukuran dilakukan oleh pihak importir di luar negeri. Pengukuran ulang, kata Anton, akan mengakibatkan pengiriman kayu terlambat dan kayu-kayu menjadi rusak. Tapi semua alasan itu ditolak. Hakim tetap memerintahkan kayu-kayu itu diukur kembali. Berdasarkan kesepakatan kedua pihak, Dinas Kehutanan ditunjuk untuk melakukan pengukuran ulang. Tim pengukur, yang bekerja dari April sampai Mei lalu, hanya menemukan selisih 47 meter kubik atau 0,98%. Yang aneh, menurut Anton, ketika tim pengukur tengah bekerja, tiba-tiba Binuang meminta hakim mengganti tim pengukur. "Tim pengukur Dinas Kehutanan malas dan tidak bisa dipercaya," kata Anton menirukan protes Binuang. Anton, bekas hakim Jakarta, tidak habis mengerti ketika permintaan itu dikabulkan hakim. Ia memprotes. Sutan Saibi memang mengaku tidak mempercayai Dinas Kehutanan setempat. Sebab salah satu dokumen resmi yang menyebutkan jumlah kayu 4.800 kubik dikeluarkan instansi itu. Apalagi, Dinas Kehutanan mengukur jumlah kayu yang bersih, tanpa bungkus. Saibi menginginkan pengukuran kayu itu berdasarkan bruto - termasuk bungkusnya. Tim Sucofindo, yang kemudian diserahi tugas mengukur ulang dengan cara seperti dikehendaki Saibi, ternyata menemukan selisih kelebihan muatan sebanyak 2.480 kubik. Setelah itu, 12 Juli, baru Hakim Panggabean mempersilakan AV Riau berlayar ke luar negeri. Menurut Anton, Hakim Panggabean kemudian main kayu dengan berpihak kepada Binuang: Dalam persidangan berikutnya, Hakim mengarahkan Binuang agar melengkapi bukti-bukti untuk menguatkan gugatannya. Selain itu, kata Anton, sebulan sebelum putusan diucapkan, Hakim Panggabean, yang juga ketua Pengadilan Negeri Palembang, meminta bantuan Pengadilan Negeri Sekayu dan Lubuk Linggau untuk menyita empat pabrik kayu milik kliennya, senilai Rp 30 milyar. Di pabrik yang terkena sita jaminan itu - tidak seperti biasanya dipasang papan pengumuman pengadilan tentang sitaan itu. Seperti diduga Anton, pengadilan mengalahkan kliennya. Keempat perusahaan kayu itu harus membayar ganti rugi kepada Binuang. Direktur PT Padeco, H.A. Syabrun Caropeboka, atas nama Masyarakat Perhutanan Indonesia Sumatera Selatan, mengirim pengaduan kepada berbagai instansi. Selain itu, mereka menyatakan banding. Menurut Syabrun, putusan hakim sangat merugikan keempat perusahaan kayu, dan meresahkan karyawan-karyawan mereka. Selain itu, kata Syabrun, putusan Hakim membongkar kembali kayu yang sudah termuat di kapal menyebabkan nama eksportir Indonesia rusak di mata luar negeri. Akibat pengaduan Syabrun, hakim agung Pengawas Daerah Sumatera Selatan, R. Soenarto, memerintahkan pengadilan mencabut kembali papan tanda sita jaminan yang tertempel di keempat pabrik itu. Dalam surat hakim agung itu, akhir November, disebutkan pula bahwa cara yang dilakukan Hakim Panggabean tidak berdasarkan hukum. Hakim H.P. Panggabean memang mengakui bahwa pemasangan pengumuman di keempat pabrik kayu itu tidak mempunyai dasar hukum. "Tapi banyak hal yang belum ada dasar hukumnya, dalam praktek diperlukan," ujar Panggabean. Hakim itu menganggap perlu sebuah tanda untuk membedakan pihak-pihak yang lagi beperkara dan yang tidak. Panggabean membenarkan bahwa ia lebih mempercayai hasil tim ukur Sucofindo. Sambil mengambil sebungkus rokok, ia mengibaratkan, "Penggugat menghitung berdasarkan besarnya bungkus rokok ini, sementara tergugat hanya menghitung isinya. Mungkin saJa sebungkus rokok isinya hanya beberapa batang, toh disebut sebungkus rokok juga," ujar Panggabean, yang mengharapkan keputusannya bisa menjadi yurisprudensi bagi sengketa semacam itu di Indonesia. Apalagi, kata Panggabean, menjelang putusannya keluar, ada edaran Dirjen Pengusahaan Hutan, 17 Juli 1984, yang menyatakan bahwa untuk ukuran kayu dipakai dasar ukuran bruto. Lantas siapa yang main kayu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo