Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Riwayat vonis-vonis antinarkotik

Hakim Soeharto menjatuhkan hukuman mati terhadap Kusni, pengedar heroin komplotannya digulung ketika menjual heroin di putri duyung cottage ancol. (hk)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMBAGA peradilan semakin tidak kenal kompromi dengan kejahatan narkotik. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang diketuai Soeharto, Kamis pekan lalu menghukum mati Husni alias Yono bin Rebu karena terbukti memperdagangkan 700 gram heroin. Dua rekan Husni, Yan Ahdul Munar dan Singkek Effendi, masing-masing divonis seumur hidup dan 15 tahun penjara. Menteri Kehakiman Ismail Saleh langsung memuji putusan hakim itu. "Hukum memang bertujuan menyembuhkan dan mengobati. Tapi kalau keadaan sudah parah, tindakan amputasi dapat dilakukan untuk mencegah agar penyakit itu tidak menjalar ke bagian lain," kata Ismail Saleh kepada wartawan. Pujian senada juga berhamburan dari mulut anggota-anggota DPR. Husni, 35, Munar, 41, dan Singkek, 38, memang telak terbukti. Mereka digulung petugas Polda Metro Jaya, April lalu, ketika menjual 700 gram heroin di Putri Duyung Cottage Ancol, Jakarta Utara, kepada seorang pembeli yang ternyata polisi. Konon, dagangan itu didapat Husni dari Penang, Malaysia, dan sempat dibawanya ke Medan, sebelum dijualnya kepada petugas yang menyamar itu, di Jakarta. Berdasarkan fakta-fakta itu. Hakim Soeharto berkeyakinan kuat bahwa ketiga orang itu terbukti bersalah. Salah satu pertimbangan Soeharto menghukum berat mereka adalah daya rusak heroin yang diperdagangkan itu. Menurut hakim yang juga menjadi ketua Pengadilan NegeriJakarta Utara itu, heroin klorida yang diperdagangkan terhukum mempunyai daya rusak tiga kali lipat dibandingkan morfin. Bahkan di kalangan kedokteran pun heroin tidak dipakai. "Barang itu diproduksi khusus untuk disalahgunakan," ujar Soeharto. Si terhukum mati, Husni, kelihatan kaget mendengar vonis itu. Berkali-kali ia menyeka keringat dan menghela napas panjang di persidangan yang menentukan nasibnya itu. "Hanya Tuhan yang tahu. Saya tetap tidak merasa bersalah," ujar Husni kepada wartawan sebelum dibawa kembali ke tempat tahanan. Ia bersama kedua temannya, Munar dan Singkek, menyatakan banding atas putusan itu. Apa pun putusan banding nanti, yang jelas, vonis-vonis hakim dalam perkara narkotik dua tahun ini semakin menakutkan. Sebelum Husni, Pengadilan Negeri Langsa, Aceh Timur, menghukum mati dua orang warga negara Taiwan, Chang Sow Ven dan Lee Wah Ceng, Maret 1983. Kedua awak kapal MV An Hsing itu tertangkap basah membawa 91/2 kg heroin di kapalnya. "Biar pihak luar tahu sikap kita yang keras terhadap kejahatan semacam itu," ujar ketua Majelis Hakim, Abdul Rahim Nasution, yang merupakan hakim pertama di Indonesia yang memvomis mati penjahat narkotik. Setelah Rahim vonis-vonis berat segera bermunculan. Awal Januari lalu, seorang perwira pertama ABRI, Letnan Aidi Syarifuddin, divoni 18 tahun penjara dan dipecat dari dinas ABRI oleh Mahkamah Militer di Medan. Aidi, bekas danramil Lawe Sigala-gala itu, terbukti membawa 25 kg ganja darl Aceh ke Medan. Sebulan kemudian, giliran Bismar Siregar - ketika itu ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara - menunjukkan giginya. Sepasang suami-istri, Cut Mariana dan Bachtiar Tahir, yang terbukti memperdagangkan 161 kg ganja, diperberat hukumannya dari masing-masing 10 bulan penjara menjadi 15 dan 10 tahun penjara - suatu kelipatan hukuman yang belum pernah terjadi di pengadilan banding mana pun. Hanya saja, karena masa penahanan kedua orang itu sudah habis - sementara Mahkamah Agung belum menurunkan vonisnya - kedua suami-istri itu, belakangan, ditahan luar. Sebelum vonis-vonis berat di atas, peradilan narkotik di Indonesia seperti "mainmain". Kadang-kadang terdengar hukuman berat, tapi lebih sering hakim memvonis ringan, bahkan sangat ringan. Yang pasti, tidak seorang hakim pun "berani" menjatuhkan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Adalah Bismar, hakim pertama yang berani menghukum berat perkara narkotik pada 1975. Bismar, ketika itu ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur, memvonis warga negara Singapura, Nyonya Tya Ah Moi, 51, dengan hukuman 20 tahun penjara, karena terbukti menyelundupkan 13 kg candu dan 1 kg heroin ke Indonesia. Ketika vonis itu dijatuhkan Bismar, undang-undang antinarkotik UU No 9/1976 - yang mengancam penjahat narkotik dengan hukuman mati dan seumur hidup belum lahir. Selain Bismar, ketika itu hakim-hakim sangat pemurah untuk penjahat yang membahayakan generasi muda itu. Hakim Soetrisno di Pengadilan Negeri Surabaya, misalnya, 1975, hanya menghukum dua awak kapal MB Unitas, Abubakar Sabri dan Frans Hendrik Goliath, masing-masing 1 tahun 3 bulan dan 2 tahun 10 bulan penjara. Padahal, kedua orang itu terbukti membawa 16 kg candu murni di atas kapalnya dari Singapura ke Surabaya. Putusan-putusan hakim yang sangat ringan itu cukup banyak mengundang kritik dari aparat penegak hukum sendiri. "Malah ada penjual 1 kg obat bius yang dihukum denda Rp 150," kata seorang perwira Lembaga Kriminologi Mabak, Elizar Sibarani (TEMPO, 27 November 1971). Vonis tertinggi dari pengadilan, ketika itu, tercatat dijatuhkan Hakim Saraswati di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim wanita itu, 1971, menghukum warga negara Australia. David Anthony Thrailler, 2 tahun penjara karena membawa 18 kg ganja ke Indonesia. Setelah undang-undang antinarkotik lahir, 1976, vonis-vonis hakim tidak segera menyesuaikan diri. Seorang warga negara Singapura, Lim Theng Pheow, yang dicoba dituntut oleh Jaksa Anton Suyata dengan hukuman mati, divonis hakim penjara seumur hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Celakanya, di Pengadilan Tinggi, 1980, Theng Pheow, yang terbukti memperdagangkan 1.920 gram heroin itu, diperingan hukumannya menjadi 10 tahun penjara. Februari lalu, keputusan itu diralat oleh Mahkamah Agung menjadi 20 tahun penjara. Tapi, ketika itu, bukan hakim-hakim saja yang "pemurah" terhadap penjahat narkotik. Seorang teman Theng Pheow, yang sama-sama ditangkap dengannya oleh seorang anggota Interpol, Serre Siripakon, lolos ke luar negeri ketika dititipkan kepada Polri. Sebelum itu, dua orang asing, Donald Andrew Ahern dan David Allan Rife, yang dihukum 17 tahun dan 7 tahun penjara, berhasil lolos dari LP Denpasar dan LP Amlapura Bali. Akibatnya, kepala LP Denpasar, I Putu Benum, diadili. Adakah vonis-vonis sesudah vonis Soeharto itu akan konsisten? Sejarah akan membuktikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus