Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bagaimana memecat tarekat

Kongres ke-6 ahli tarekat nu sebagai bagian dari muktamar nu ke-27, mengusulkan agar tarekat tijaniyah ditinjau kembali. sementara ini masih ada pro & kontra tentang kemu'tabarahan tarekat tijaniyah.(ag)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, kongres ke-6 para ahli tarekat Nahdatul Ulama yang menjadi bagian Muktamar ke-27 NU - tidak jadi memutuskan hukum sekitar kasus-kasus aliran tarekat. Dua ratusan kiai, pimpinan berbagai golongan yang tergabung dalam Jam'iyah Ahlitb Thariqatil Mu'tabaratin Nahdliyah, alias himpunan ahli tarekat sah NU, yang bersidang tiga hari di minggu pertama bulan ini di pesantren Nurul Qadim ("Cahaya Lama") di Kalikajar Paiton, Probolinggo, hanya mengeluarkan rekomendasi. Semula, Kiai As'ad dari Pondok Kramat, Pasuruan (bukan yang Syamsul Arifin) mengusulkan agar Kongres menentukan sikap terhadap Tarekat Tijaniyah. Aliran yang diketahui dibawa dari Mekkah oleh Kiai Anas dari Cirebon ini, dan yang di Jawa Timur berkembang di Malang, Probolinggo, Pasuruan, Surabaya, Blitar, Jember, Kraksaan, Madura, oleh Kiai dianggap tidak mu'tabarah. Pasalnya, golongan itu mendakwahkan, "Siapa masuk Tijaniyah dijamin masuk surga bersama keluarganya, tanpa hisab," kata Kiai As'ad. Mereka juga melarang poligami. Juga melarang anggotanya makmum (salat di belakang) orang non-Tijani. Memang agak hangat, kedengarannya. Di pesantren Sukorejo Asembagus, diceritakan ada santri yang ikut tarekat ini. Dan setelah itu tak pernah lagi sowan kepada Kiai As'ad (Syamsul Arifin). "Karena menurut ajaran mereka, kalau sudah menjadi Tijani tidak boleh berguru kepada kiai lain," tutur seorang santri yang ta mau disebut namanya. Kiai As'ad sendiri, katanya, marah mendengar "klain surga" tarekat itu. Tetapi Kiai As'ad memang dikenal tidak begitu dekat dengan tarekat - seperti juga gurunya, K.H. Hasyim Asy'ari dari Tebuireng, rais am NU yang pertama, yang pernah menulis satu risalah yang menyerang pengagungan wali-wali. Di pesantren Tebuireng, yang kini dipimpin K.H Jusuf Hasjim, sampa kini tak ada pelajaran tarekat. Malahan, seperti dituturkan seorang penulis di Pikiran Rakyat, Mohammad Ridlo 'Eisy, Kiai As'ad pernah menulis sebuah risalah 94 halaman dengan judul Wudluhud Dalalah (Kejelasan Argumen) yang menentang Tijaniyah, yang dianggapnya cenderung menyepelekan fungsi Quran dan Hadis. NU memang "berkutub-kutub". Di kongres tarekat di Kalikajar itu, usul untuk memutuskan hukum terhadap Tijaniyah mendapat tantangan. "Memang saya tolak," kata Kiai Yasin dari pondok Godongan, Cirebon, yang hadir dalam sidang. Pasalnya, "Saya takut malah menimbulkan huru-hara." Sebab, kata ulama 66 tahun itu, "Para kiai NU banyak yang menyebarkan tarekat itu." K.H. Abdullah Ma'shum, dari Syuriyah NU Surabaya, bersikap simpatik. Ia menyatakan pernah meneliti cara-cara yang dipraktekkan tokoh Tijaniyah di sana, Almarhum Kiai Muhammad bin Yusuf. Hasilnya: "Tidak menyimpang dari syariat." Kiai Muhammad, misalnya, ternyata malah makmum di belakangnya. K.H. Adlan Ali, dari pondok Cukir, Jombang, yang dalam kongres itu terpilih sebagai rais am perhimpunan, pun menyatakan Tijaniyah mu'tabarah. Dan "Tidak ada tarekat mu'tabarah yang menjamin masuk surga," katanya. "Masuk surga itu bukan karena tarekat, tapi karena rahmat." Tapi memang ada kasuskasus protes kepada Tijaniyah, sepanjang sejarah. Di Cirebon, misalnya, kira-kira tahun 1930 Dernah ada yang disebut Peristiwa Buntet-Benda. Pesantren Buntet adalah pusat Tijaniyah, sedang pesantren Benda penentangnya. Kedua pesantren itu hanya berjarak beberapa kilometer. Menurut Kiai Fuad Hasyim, juga orang Syattariyah, dari kasus itu malahan seorang Belanda, Dr. G.J.T. Pyper, membuat disertasi untuk titel doktornya di Leiden. Pyper adalah pembantu penasihat untuk Peradilan Rakyat Residen Cirebon - waktu itu van der Plass. Apa isi disertasi itu? "Saya belum pernah baca," katanya. Pada waktu yang sama pula di pesantren Tebuireng, Jombang, seorang guru dari Mesir, Syekh Ahmad Ghonaim, menggugat Tijaniyah dari segi "jaminan surga"-nya. Dari semua kasus itulah, tentunya, muktamar NU ke-6, di Cirebon, memutuskan hukum mengenai aliran ini. Seperti bisa dituturkan berbagai pihak, muktamar di bulan Agustus 1931 itu, sidang Syuriyahnya dipimpin sendiri oleh K.H. Hasyim Asy'ari, dan diikuti tokoh-tokoh seperti K.H.A. Wahab Chasbullah, pendiri NU, atau K.H. Ma'shum dari Lasem, ayah K.H. Ali Ma'shum bekas rais am NU. Hasil sidang: Tarekat Tijaniyah, dengan segala prakteknya, mu'tabarah alias sah. Dan karena sah, ia pun dimasukkan ke dalam jam'yah tarekat mu'tabarah itu, yang dibentuk pada 1957 dan disempurnakan dalam muktamar NU ke-26 di Semarang, 1979. Di sini berkumpul tidak kurang dari 44 kelompok yang "bersih". Dari mereka itu, yang dihitung terbesar adalah Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syattariyah. Jumlah pengikut masing-masing di seluruh tanah air memang tidak terekam. Hanya, sebagai contoh, tarekat Naqsyabandiyah (aliran Bahauddin Naqsyabandi, meninggal 1384 M. di Bukhara, Turkestan, Uni Soviet) di Sumatera Barat saja (layaknya tidak tergabung dalam NU) berpengikut 132.408 - menurut pihak Departemen Agama Provinsi, 1980. Peringkat kedua diduduki oleh tarekat-tarekat Syadziliyah, Tijaniyah, dan Samaniyah. Tetapi, apakah ukuran sah dan tidak sah, bagi tarekat NU? Baik zikir dan wiridnya, maupun segala praktek hidup yang diajarkannya, tidak bertentangan dengan syariat Islam," jawab Kiai Adlan. Tetapi, syarat pertama adalah, sanadnya bersambung kepada Nabi. "Sebab, ada tarekat yang wirid dan zikirnya berdasar mimpi." Kiai Adlan tidak menyinggung Tijaniyal sendiri, yang justru di akui oleh para pemeluk nya punya sanad berda sar mimpi (Lihat: Box). Tetapi bahkan masalah "bersambung kepada Nabi" sendiri bisa diper soalkan. Keyakina kaum tarekat, bahwa semua praktek mereka itu diajarkan Nabi, sebenarnya hanya dalam pengertian bahwa zikir, wirid tasbih, tahmid, istighfar yang mereka lakukan ini banyak yang memang datang dari Nabi. Seperti dikatakan Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L., ketua Komisi Fatwa MUI, "dalam tarekat itu diciptakan tasyri"' - yakni membikin syariat. Misalnya, Nabi memang mengajarkan wirid lalu dibikin tasyri': membaca wirid imi-itu, dengan cara beginl-begitu, pada pukul 12 malam, adalah wajib. "Itu namanya bid'ah idlafiyah" - bid'ah yang membonceng - meskipun, "Bukan bid'ah yang sesat," katanya. Meskipun Ibrahim, yang bukan pengikut tarekat itu, menyatakan bahwa dalam ibadat sebaiknya kita "sebaiknya kita mengikut (ittiba'), dan bukan memulai (ibtida')". Tapi itu berlaku bagi semua tarekat. Dan tarekat-tarekat itu rupanya juga menyanng dirinya sendiri - meskipun kongres di Kalikajar itu, dalam masalah Tijaniyah, akhirnya hanya menghasilkan rekomendasi. Rekomendasi itu ditujukan kepada Departemen Agama dan PB Syuriyah NU. Kepada yang pertama, Kongres meminta penertiban tarekat-tarekat "bataliyah" - dengan mengikutsertakan pucuk pimpinan jam'iyah tarekat itu. Sedangkan kepada Syuriyah, mereka minta PB NU meninjau kembali keputusan muktamar NU ke-6 di Cirebon, 1931, yang sudah disebut. Sebab, memang di situlah kuncinya. "Kongres hanya minta peninjauan kembali," kata Kiai Adlan. "Tentu saja, peninjauan itu kerja besar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus