Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MBOK Warsoijoyo, 60, menangis meraung-raung memasuki tembok penjara Sragen, Jawa Tengah, awal bulan imi. Sementara itu, puluhan sanak keluarga dan tetangganya di Desa Murong, Sragen, hanya termangu di halaman penjara. "Aduh Gusti, jadi saya ini dibui. Lha, wong saya ini bukan pencuri dan belum pernah membunuh oran," ratap nenek bertubuh lencir, tersipu lemas di lantai sel. Sejak hari itu, nenek keriput dan berkulit hitam ini mula menjalani hukuman dua bulan, karena di anggap memipu. Sehari sebelumnya, petani yang rambutnya mulai beruban ini di beritahu petugas Kelurahan Kebonromo, permohona grasinya ditolak 5 Agustus 1983. Artinya, keputusan pengadilan pada Oktober 1978 punya kekuatan hukun pasti, dan eksekusinya baru dilaksanakan 6 Desember lalu. Kasus Mbok Warso, ibu dua anak dan nenek enam cucu, ini bisa dijadikan contoh bahwa pencabutan surat kuasa dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan. Ceritanya, pada 1977, Mbok Warso memberi surat kuasa pada seorang makelar, Suwito, untuk menjual tanah beserta bangunan miliknya. Surat kuasa itu mencantumkan harga jual Rp 2 juta, disertai perjanjian lisan: Si makelar akan menerima komisi 4%. Makelar Suwito sebetulnya, waktu itu, mempunyai calon pembeli, bernama Peng Dju, penduduk Sragen. Tapi Peng Dju baru bisa membayar - yang menurut kesepakatan seharga Rp 2,5 juta - kalau rumah calon pembeli ini laku dijual. Empat bulan lamanya, Suwito tidak berhasil menjual tanah seluas 55 m2 beserta bangunannya itu. Padahal, sebelumnya, Suwito sanggup menjualnya dalam tempo sebulan. Rupanya, Mbok Warso tidak sabar menunggu. Empat bulan kemudian, Agustus 1977, nenek ini mencabut surat kuasa dari Suwito. Untuk selanjutnya, menurut Mbok Warso, surat kuasa yang sama diberikan kepada Sunardi, juga makelar. Menurut Suwito, ia mau mengembalikan surat kuasa itu dengan syarat, jika ternyata tanah itu dijual pada orang Sragen - bukan pada orang Solo seperti alasan Mbok Warso waktu mengambil surat kuasa itu maka ia tetap minta komisi. Mbok Warso, kata Suwito, setuju dengan syarat itu. Ternyata, memang, pembelinya bukan orang Solo, tapi calon pembeli yang lama Peng Dju. Tanah dan bangunan itu dibeli Peng Dju dengan harga Rp 2,2 juta Nah, di sinilah letak persoalannya. Sesuai dengan syarat, Suwito mmta komisi, tapi ditolak Mbok Warso. Suwito memperkarakan Mbok Warso. Dan kejaksaan menggarapnya menjadi perkara pidana: penipuan. Perkara itu disidankan di Penadilan Negeri Sragen, Oktober 1978. Hakim Mudiati memang berhasil membuktikan bahwa Mbok Warso melanggar pasal 378 KUHP: menggunakan rangkaian perkataan bohong, membujuk Suwito agar menyerahkan surat kuasanya. Dengan cara itu, menurut Hakim, Mbok Warso, "Telah menguntungkan dirinya sendiri dan menghilangkan keuntungan yang diharapkan orang lain." Atas dasar itu Mbok Warso dihukum dua bulan penjara, atau sebulan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Nasib Mbok Warso tak berubah, baik dalam banding maupun kasasi, meski ahli-ahli hukum memberi reaksi keras terhadap keputusan itu. Choriyah, pembela dari LBH Solo, berpendapat bahwa perkara Mbok Warso "bukan pidana, tapi 100% perdata". Pendapat ini didukung Soemarno P. Wirjanto, ketua LBH Solo, yang menyatakan, "Kasus Mbok Warso ini menghina citra peradilan Indonesia." Menurut Soemarno, surat kuasa dapat dicabut, sekalipun tanpa alasan, "karenanya tidak mungkin ada unsur penipuan". Advokat senior Yogya, Abdul Malik, lebih tegas. "Surat kuasa adalah milik pemberi kuasa. Karena itu, surat kuasa sewaktu-waktu dapat dicabut, selama surat itu belum berlaku," kata Malik. "Gila, kalau pencabutan surat kuasa bisa digolongkan penipuan. Kalau betul begitu, hukum telah dijungkirbalikkan." Segawat itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo