YUNUS Yans Kesek, petani dari Desa Pondang, Kecamatan Tombasian, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, mungkin tak pernah menyangka jalan hidupnya bakal berakhir di rumah sakit. Gara-gara dioperasi dan salah mendapat transfusi darah, dia menemui ajal pada September silam. Namun, sampai pekan lalu kasusnya tak kunjung sampai ke meja hijau.
Kisah tragis ini bermula ketika Yans Kesek menderita sakit karena ususnya melekat. Sebetulnya, pria berusia 42 tahun itu pernah menjalani operasi yang sama untuk penyakit itu pada 1999, tapi setahun kemudian ternyata kambuh. Tim bedah Rumah Sakit Umum Pusat Manado, Teguh Maryono dkk., pun terpaksa mengambil tindakan yang sama pada September 2000.
Sewaktu operasi hendak berlangsung, dokter membutuhkan tambahan darah O, golongan darah Yans. Untuk keperluan tersebut, anggota keluarga Yans, Andries Gomies dan Noldy Kesek, pun mendonorkan darah melalui Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Manado. Oleh putri sulung Yans, Lisa Kesek, 20 tahun, darah itu lalu dibawa dan diserahkan ke petugas jaga rumah sakit.
Siapa nyana, begitu darah ditransfusikan, datang petugas dari UTD PMI Manado, mengabarkan telah terjadi kekeliruan. Yang dibawa Lisa ternyata bukan darah golongan O seperti yang diminta, melainkan B. Kontan saja keluarga dan dokter bedah panik. Akhirnya, dokter memutuskan meminta tambahan dua kantong darah golongan O lagi.
Malang tak dapat ditolak. Yans, yang sempat dirawat di ruang gawat darurat dan siuman sesaat, mendadak kejang-kejang. Sekujur tubuhnya mulai membengkak. Darah mengalir dari mulut, hidung, dan telinga. Tak berapa lama, kepala keluarga Kesek itu pun menemui ajal.
Kematian Yans membuat ahli warisnya mengadukan kasus itu ke polisi melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado. Mereka menggugat UTD PMI Manado dan dokter bedah RSUP yang dianggap lalai (malapraktek), pada September 2000. Bukannya bergerak cepat, menurut Direktur LBH Manado, Franky Wongkar, polisi malah melakukan sejumlah kejanggalan selama pengusutan. Selain penanganannya terkesan berlarut-larut, pembuatan berita acara pemeriksaan berlangsung di rumah korban, bukan di kantor polisi seperti lazimnya. Sementara itu, keluarga korban juga tak didampingi kuasa hukumnya ketika proses pembuatan berita acara berlangsung.
Kejanggalan lain, polisi memaksa keluarga korban menandatangani surat pernyataan. Isinya, mereka diminta supaya tidak keberatan dan tidak menuntut polisi yang menangani kasus itu. Alasan polisi, perkara tersebut tidak ada buktinya karena tak disertai hasil otopsi jenazah. "Tapi saya tidak mau menandatangani surat yang mereka buat," kata Lisa.
Di mata kuasa hukum korban, Hanny Leihitu, perbuatan polisi itu merupakan upaya pemaksaan dan memperlambat penanganan kasus. Padahal, menurut Hanny, masih ada bukti lain yang bisa dikembangkan.
Kepala Kepolisian Resor Manado, Ajun Komisaris Besar Yohanes Wardoyo, menampik tudingan itu. Menurut dia, resume berita acara sudah diserahkan ke kejaksaan pekan lalu. Adapun tersangkanya baru satu orang, yakni petugas UTD PMI Manado, Nety Timbal, yang dianggap lalai. Tapi tak tertutup kemungkinan ada tersangka lain dalam berita acara terpisah.
Wardoyo menambahkan, pembuatan berita acara terpaksa dilakukan di rumah korban karena setelah dipanggil dua kali tidak ada yang datang. "Mestinya ini jangan disalahartikan. Itu salah satu bentuk servis," katanya.
Kuasa hukum UTD PMI Manado, James Marinda, membenarkan bahwa Nety Timbal telah diperiksa polisi sebagai saksi, tapi tak ditemukan unsur kelalaian. Selain itu, ia yakin, pemberian darah dari UTD PMI kepada keluarga korban sudah sesuai dengan prosedur. Hanya memang ketika itu, menurut versi Marinda, ada banyak pemohon darah. Ketika petugas memanggil pemohon yang membutuhkan darah golongan B, yang datang dan menerimanya keluarga Yans, yang memerlukan darah O. "Jadi itu bukan kesalahan UTD PMI. Apalagi di kantong darah tercantum label berisi penjelasan golongan darah," kata Marinda.
Sementara itu, Kepala Bagian Forensik RSUP Manado, Leonard Ratulangi, mengatakan bahwa otopsi tak dapat dilakukan bila sudah melewati 55 hari sejak korban meninggal. "Darah korban sudah mengalami lysis (encer) dan membusuk setelah 24 jam pertama, sehingga sulit ditentukan golongan darahnya," tuturnya.
Apa pun alasannya, korban sudah jatuh. Satu-satunya jalan untuk membuktikan di mana kesalahan terjadi dan siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas kelalaian itu sejatinya hanyalah sidang pengadilan. Masalahnya, kapan.
Wicaksono, Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini