Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mantan Duta Besar yang Degdegan

Penetapan status tersangka Rusdihardjo simpang-siur. Mantan Kepala Kepolisian RI ini keluar dari rumah sakit setelah 10 hari dirawat. Ia takut ditangkap.

14 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIL pengencer darah yang harus dikonsumsi sepanjang hayatnya itu sempat dihentikan lima hari, dua pekan lalu. Mestinya, sebutir tablet Ascardia 80 miligram itu saban hari ditelan Kanjeng Pangeran Haryo Rusdihardjo. Jika lalai, akibatnya bisa gawat.

Tersangka kasus pungutan tarif keimigrasian di Kedutaan Besar RI Malaysia ini memang tak bisa lepas dari obat. Sudah dua tahun ia divonis menderita kelainan jantung. Di Rumah Sakit Medistra Jakarta, Rusdihardjo yang dirawat sejak 1-11 Januari menjalani terapi penyembuhan saluran kemih dengan cara operasi pada dinding prostatnya.

Sebelum dioperasi, bagian tubuhnya mesti dipasang kateter, dan ketergantungan pada pil antiserangan jantung itu harus disetop. Akibatnya, dada mantan Kepala Kepolisian RI itu tiba-tiba nyeri, tekanan darah tingginya bentan, diabetesnya kambuh. Kombinasi itu bukan penyakit utama Rusdihardjo. ”Penyakit utamanya kerusakan saluran kemih,” kata Warsito Sanyoto, pengacara tersangka, kepada Tempo.

Kondisi itu diperparah kalutnya Rusdihardjo ketika mendengar akan ditangkap oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Pak Rus akan menjalani operasi sinar laser. Rekam medisnya akan kami serahkan ke KPK pada Senin ini,” ujar Warsito. ”Kata tim medis, isu penangkapan mempengaruhi proses penyembuhan,” ia menambahkan.

Namun Rusdihardjo meninggalkan Rumah Sakit Medistra Jumat pagi pekan lalu. Ia belum menjalani operasi apa-apa, hanya pemasangan kateter untuk membuang cairan kemihnya. Menurut Warsito, kliennya tak betah berbaring terus di rumah sakit menunggu kepastian waktu operasi. ”Pulang tidak berarti sembuh,” ujarnya.

Meski kondisinya tak gawat, anak dan istrinya berupaya memingit, terutama terhadap berita media massa. Tim medis rumah sakit juga diwanti-wanti agar tak melayani wawancara wartawan menyangkut penyakitnya, termasuk Firdaus Shaleh, ahli bedah penyalit saluran kencing yang merawat Rusdihardjo.

Pembatasan berlebihan ini rupanya membuat KPK tak percaya 100 persen pada kabar sakitnya tersangka. Rusdihardjo selama dirawat di kamar nomor 422 dengan tarif Rp 1,3 juta per malam itu dua kali didatangi tim penyidik KPK. Pertama pada 3 Januari, dan dilanjutkan empat hari berikutnya. ”Ini untuk memastikan kondisi tersangka,” ujar juru bicara KPK, Johan Budi S.P. ”Second opinion dimungkinan jika diperlukan.”

Tujuh anggota penyidik yang dipimpin Yurod Saleh menemui tersangka di rumah sakit. Selain mengabari bahwa tersangka akan diperiksa kembali, juga mengecek seberapa gawat penyakit yang diderita Rusdihardjo. Johan memastikan, tersangka memang sakit. Pemeriksaan kembali menunggu kesembuhan tersangka. ”Sejauh ini belum ada penangkapan,” katanya.

Desakan perlunya menahan Rusdihardjo, menurut Johan, tidak menguntungkan penyidik. Dengan ditahan, katanya, bakal ada batas waktu yang mesti diperhitungkan, yaitu 20 hari dan bisa diperpanjang. Apabila status tahanan batas waktunya habis, sementara pemeriksaan belum kelar, tersangka bisa bebas. Apalagi, katanya, penasihat hukum tersangka sudah menyanggupi akan datang menemui penyidik KPK pada Senin. ”Kita lihat saja,” ujar Johan.

Tapi alasan ini memunculkan tudingan KPK telah bertindak diskriminatif. Dibanding kasus korupsi lain, Rusdihardjo sengaja diistimewakan. Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, mengatakan mestinya KPK bisa mengambil alih pengawasan Rusdihardjo di rumah sakit atau memindahkan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta Timur.

Ia juga mempertanyakan tidak segera diumumkannya penetapan Rusdihardjo sebagai tersangka pada Maret 2007. Menurut Husodo, Ketua KPK lama Taufiequrachman Ruki sengaja tidak mengungkapkan ke publik, karena sama-sama berasal dari korps kepolisian. Ruki lulus Akademi Kepolisian pada 1971. Ia pernah menjadi Kepala Polres di Cianjur dan Tasikmalaya, Jawa Barat. Setelah pensiun, ia masuk Senayan menjadi anggota Fraksi TNI/Polri DPR.

Ruki membantah tudingan itu. Menurut dia, waktu penetapan Rusdihardjo sebagai tersangka sudah dirancang dan menjadi bagian dari taktik penindakan. Keputusannya yang terkesan molor juga dibantah Ruki. ”Itu menyangkut strategi. Ia pejabat duta besar paling akhir dalam kasus ini,” katanya.

Ihwal latar belakangnya yang sama-sama polisi, Ruki menyangkal dikaitkan. Ia tak mengenal latar belakang dalam menindak koruptor. Yang pasti, katanya, Rusdihardjo sampai menjadi tersangka berkat jerih payah KPK lama. KPK baru, hanya melanjutkan ke penuntutan. ”Matengnya ada pada kami,” ujar Ruki.

Penetapan status tersangka Rusdihardjo memang simpang-siur. Bersadarkan dokumen berita acara pemeriksaan yang diperoleh Tempo, Rusdihardjo baru dijadikan tersangka dalam kasus pungutan liar di KBRI Malaysia, terhitung 5 Desember 2007. Yang mengumumkan ke publik Ketua KPK baru, yaitu Antasari Azhar.

Dalam dokumen itu Rusdihardjo disebutkan didampingi tim pengacara dari Divisi Pembinaan Hukum Markas Besar Kepolisian RI, yang berjumlah lima orang. Rusdihardjo diperiksa oleh empat penyidik KPK, yaitu Yurod Saleh, Mulya Hakim S., Bambang Sukoco, dan Asep Guntur. Ia antara lain dicecar dengan berbagai pertanyaan, seperti mekanisme pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI di Kuala Lumpur.

Adapun kuasa hukum tersangka yang meneken berita acara pemeriksaan adalah Komisaris Besar Sukarsan, anggota Divisi Hukum. ”Berkas itu baru saja dilimpahkan,” kata Kepala Divisi Hukum Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Ariyanto Sutadi, kepada Tempo.

Pendampingan terhadap Rusdihardjo, menurut Ariyanto, akan dilakukan sampai perkara kelar di pengadilan. Langkah ini sudah diatur dalam organisasi kepolisian. Anggota polisi yang terlibat dalam perkara hukum, baik yang aktif maupun yang sudah purnawirawan, berhak mendapat perlindungan dari Divisi Pembinaan Hukum Markas Besar Kepolisian RI.

Sukarsan, yang dihubungi Tempo, memastikan bahwa pemeriksaan terhadap Rusdihardjo dengan didampingi kuasa hukum dari Divisi Hukum Kepolisian RI baru sekali, yaitu pada 5 Desember 2006. ”Beliau langsung dijadikan tersangka dan kami menandatangani berita acaranya,” kata Sukarsan.

Ia juga mengatakan, tim divisi hukum baru ditunjuk mendampingi Rusdihardjo pada hari itu juga. ”Jika ada pemeriksaan sebelum itu, kami tidak tahu,” ujarnya. ”Dan sudah berapa kali Pak Rusdi diperiksa secara pro justisia, kami juga tidak mengetahui,” ia menambahkan.

Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah enggan menanggapi simpang-siurnya penetapan status Rusdihardjo. ”Itu urusan yang lalu, kami bicarakan yang mendatang saja,” katanya mengelak. Menurut Ketua KPK Antasari Azhar, penyelidikan terhadap Rusdihardjo sudah selesai dan berkasnya telah diserahkan ke jaksa penuntut.

Elik Susanto, Rika Panda

Tersangkut Duit Ringgit

Skandal korupsi di Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur menyeret sejumlah pejabat, mulai dari pegawai di tingkat konsulat jenderal sampai duta besar. Rusdihardjo, duta besar di sana selama 2004-2007, diduga tersangkut. Menurut Arihken Tarigan, bekas Kepala Bidang Imigrasi KBRI di Kuala Lumpur, Pak Dubes itu saban bulan rutin menerima jatah 30-40 ribu ringgit dari agen pengurusan dokumen imigrasi.

4 Januari 2000 Rusdihardjo jadi Kepala Kepolisian RI menggantikan Roesmanhadi.

18 September 2000 Presiden Abdurrahman Wahid mencopot Rusdihardjo dari jabatan Kapolri.

22 September 2000 Rusdihardjo menyerahkan jabatan Kapolri ke S. Bimantoro.

20 Januari 2004 Rusdihardjo diangkat jadi Duta Besar RI untuk Malaysia.

Oktober 2005 Tim investigasi Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri membongkar kasus pungutan liar di KBRI Malaysia.

19 Januari 2007 Rusdihardjo diberhentikan dari Duta Besar RI untuk Malaysia.

Maret 2007 Rusdihardjo diperiksa KPK sebagai saksi.

Juni 2007 Rusdihardjo diperiksa KPK lagi, terkait kasus pungutan liar di KBRI Malaysia.

Agustus 2007 Rusdihardjo dicekal.

10 Oktober 2007 Mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, Hadi A. Wayarabi, disidang sebagai terdakwa bersama mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Malaysia Arihken Tarigan. Hadi Wayarabi dihukum 2 tahun 6 bulan. Arihken menyebutkan Rusdihardjo rutin menikmati jatah pungutan 30-40 ribu ringgit per bulan.

1 Januari 2008 Rusdihardjo masuk RS Medistra Jakarta.

3 Januari 2008 KPK mengumumkan status tersangka Rusdihardjo.

Sumber: Riset Rika Panda/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus