Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMA tak terdengar kabarnya, mantan Kepala Polda Metro Jaya Nugroho Djayusman tiba-tiba bikin hajatan. Di rumahnya yang jembar di Jalan Bangka IX, Jakarta Selatan, pria 61 tahun ini meng-undang sekitar 400 koleganya. Suasana meriah pun memenuhi halaman rumahnya. Sejumlah aktivis dan mantan aktivis mahasiswa, seperti Hariman Siregar dan Amir Daulay, hadir di acara itu. Pesta itu digelar hingga menjelang tengah malam.
Rabu malam dua pekan lalu itu, Komisaris Jenderal (Purn.) Nugroho bukan sedang memproklamasikan berdirinya partai baru. Bekas polisi yang dikenal dekat dengan kalangan aktivis itu tengah ”meluncurkan” kegiatan barunya, peresmian kantor hukum ”ND Solicitor” alias Nugroho Djayusman Solicitor. ”Walau bukan sarjana hukum, saya ini pengamat hukum,” ujarnya kepada Tempo.
Pendirian kantor hukumnya itu, ujar Nugroho, berawal dari diskusi dirinya dengan sejumlah aktivis dan sarjana hukum. Dari bincang-bincang itu, tercetuslah gagasannya membuka semacam kantor hukum. ”Banyak masyarakat kita yang memerlukan bantuan hukum,” ujar Nugroho.
ND Solicitor berkantor di Jalan Bonang, Jakarta Pusat. Ada sembilan pengacara dengan beragam keahlian bergabung di kantor ini. ”Dari ahli pajak sampai ahli hukum lingkungan,” ujar Endi Martono, Ketua Tim Pengacara ND Solicitor. Endi sendiri selama ini dikenal sebagai pengacara dengan spesialisasi pembela kaum buruh.
Lantaran ”pasukannya” terdiri dari beragam pakar, Nugroho menegaskan kantor hukumnya tak pilih-pilih kasus. ”Siapa pun yang minta bantuan, kami layani,” ujarnya. Ia menerapkan subsidi silang untuk menggerakkan roda biro hukumnya. ”Pendapatan dari kasus besar yang kami tangani, misalnya, untuk membiayai kasus klien kami yang tak sanggup membayar,” ujarnya. Soal klien, ia tak khawatir. ”Teman-teman aktivis banyak kenalan, saya juga punya sponsor yang bersedia membantu,” ujarnya.
Sebelum Nugroho, sudah ada sejumlah bekas petinggi polisi, TNI, dan pensiunan petinggi kejaksaan yang juga membuka kantor pengacara. Mereka, misalnya, Jenderal (Purn.) Roesmanhadi, Mayor Jenderal (Purn.) Syamsu Djalal, Jenderal (Purn.) Hendropriyono, dan mantan Jaksa Agung Sudjono.
Roesmanhadi & Associates, misalnya, didirikan bekas Kapolri Roesmanhadi pada tahun 2002. Untuk mendirikan biro hukumnya itu, alumni Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Jakarta, ini menggandeng juga sejumlah pensiunan polisi. Salah satunya, Mayor Jenderal (Purn.) Pamudji R. Soetopo, bekas Gubernur Akademi Kepolisian. Roesmanhadi membuat struktur kantornya bak kantor polisi. Ia menunjuk tiga deputi yang membawahkan lima pengacara dan enam staf yang bekerja di biro hukumnya. Salah satu deputinya, ya, Pamudji.
Berkantor di lantai 12 Gedung Patra, di Jalan Gatot Subroto, biro hukum Roesmanhadi terbilang laris manis. Sejumlah perkara kakap pernah ditangani firma hukum ini. Misalnya, perkara yang menyangkut perusahaan minyak Medco dan kasus korupsi PLN yang melibatkan bekas direktur perusahaan tersebut, Edi Widiono.
Menurut sumber Tempo di kalangan pengacara, kesuksesan kantor ini tak lepas dari peran Roesmanhadi. Sebagai bekas Kapolri, ujar sumber itu, klien yang datang ke Roesmanhadi & Associates percaya, dengan jaringannya, Roesman bisa memenangkan kasus mereka. ”Jika urusannya ke polisi, siapa yang tidak segan jika yang menelepon seorang jenderal?” ujarnya. Dihubungi Rabu pekan lalu, Pamudji tak mau banyak bicara soal kantor hukumnya. ”Ya, saya ikut mendirikan kantor itu. Sama-samalah dengan Pak Roesmanhadi,” ujarnya.
Kantor hukum mantan jenderal lainnya yang terbilang sukses adalah ”Syamsu Djalal, C. Suhadi & Associates”. Sebelum menjadi pengacara, Syamsu adalah Komandan Pusat Polisi Militer dan pernah pula menjadi Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. Syamsu mendirikan biro hukumnya sekitar lima tahun silam.
Berkantor di perkantoran Kompleks Duta Merlin, Jakarta Pusat, biro hukum Syamsu kini lebih banyak menangani kasus sengketa bisnis. Menurut sumber Tempo, kelebihan kantor Syamsu, antara lain, lantaran akses Syamsu yang luas dengan aparat kejaksaan. Sumber Tempo bercerita, sekitar sebulan silam Syamsu pernah ”menegur” seorang aparat Kejaksaan Agung lantaran menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap kliennya yang dinilai Syamsu menyalahi prosedur. ”Akhirnya perintah penangkapan itu dibatalkan,” ujar sumber tersebut.
Dihubungi Tempo Selasa pekan lalu, C. Suhadi menolak jika dikatakan biro hukumnya menggunakan ”pengaruh” Syamsu untuk memenangkan kliennya. ”Kami bertindak profesional saja. Jika ada yang melanggar prosedur, ya, kami selesaikan secara hukum,” ujarnya. Syamsu, ujar Suhadi, juga tidak pernah, misalnya, menelepon polisi atau kejaksaan meminta instansi itu ”memperhatikan” kliennya. ”Ini era reformasi. Jaksa atau polisi tak bisa lagi didikte, sekalipun oleh bekas atasannya.”
Tapi pendapat Suhadi tak seratus persen benar. Menurut Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Otto Hasibuan, pengacara yang mantan pejabat seperti Syamsu, Roesmanhadi, atau Nugroho Djayusman tetap memiliki pengaruh di bekas instansinya. Otto mengaku tidak heran jika, misalnya, Syamsu diistimewakan di Kejaksaan Agung atau Roesmanhadi di kepolisian. ”Semangat korps itu tetap ada. Apalagi, itu bekas atasan mereka,” ujarnya.
Adanya perlakuan istimewa dari bekas anak buah diakui oleh L.L.M. Samosir, bekas Kepala Pusat Intelijen Kejaksaan Agung yang kini membuka kantor pengacara. Setiap mengurus perkara kliennya di Kejaksaan Agung, Samosir mengakui selalu mendapat pelayanan ”kilat”. Ia, misalnya, tak perlu menunggu lama untuk mendapat dokumen yang ia perlukan. ”Tapi, itu inisiatif mereka, mungkin karena mereka dulu bekas anak buah saya,” ujarnya. ”Kesaktian” Samosir juga tembus sampai ke hal-hal lain. ”Saya kerap ditraktir makan-minum,” ujarnya terkekeh. Menurut seorang anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta, di Ibu Kota ada sekitar 100 bekas jaksa yang berpraktek sebagai pengacara.
Namun, kepada Tempo, sejumlah jaksa di Kejaksaan Agung mengaku mereka sebenarnya kerap risi jika kedatangan mantan bos mereka yang sudah jadi pengacara. ”Tujuan mereka jelas, minta kami melakukan sesuatu yang menguntungkan kliennya,” ujar seorang jaksa. Bentuk permintaannya macam-macam. ”Yang paling sering, minta penyelidikan terhadap kliennya dihentikan,” ujar jaksa yang bertugas di bagian intelijen itu.
Bekas Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Chairul Imam, mengaku pernah mengalami hal seperti ini. Suatu ketika, ujar Chairul, ia pernah didatangi bekas bosnya yang meminta dirinya menghentikan penyidikan terhadap klien mantan atasannya itu. ”Saya tolak. Saya bilang kita sudah sama-sama tua kok masih main seperti ini,” ujarnya. ”Lain kali ada bekas pejabat kejaksaan yang datang dan minta kliennya diberi penahanan luar, juga saya tolak,” ujar Chairul.
Tak semua aparat bisa seperti Chairul. Menurut Otto Hasibuan, semua bergantung pada sang aparat dan bekas pejabat yang jadi pengacara itu. ”Yang pasti, para pengacara bekas pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan kliennya sudah melanggar etika beracara,” ujar Otto. Nugroho Djayusman menyatakan dirinya juga tak setuju jika para pengacara memakai cara-cara seperti itu. ”Kami tak akan melakukannya,” ujar Nugroho. ”Saya percaya para aktivis itu bisa mengelola kantor hukum saya dengan cara yang benar.”
L.R. Baskoro, Maria, Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo