Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa petualangan, tanpa keberanian menjelajah hal-hal baru, tanpa keteguhan untuk menggali kedalaman, seni akan merosot. Pepatah Latin punya ungkapan kocak untuk karya seni yang tak lagi merangsang selera itu: Crassa Minerva. Minerva yang gemuk. Minerva, dalam mitologi Yunani adalah Dewi Kesenian dan Keterampilan. Ia cantik dan ramping. Maka, seni yang kualitasnya melorot diibaratkan sang Dewi tubuhnya melar.
Itulah yang mendasari Tempo tiap akhir tahun memilih karya-karya yang dianggap inspiratif. Kira-kira, inilah karya yang menurut kami mampu tetap menjaga agar Dewi Minerva tak tambun. Untuk karya terbaik 2006, sejumlah kriteria kami tetapkan. Ukuran utama kami adalah karya itu mampu memberi kesegaran. Karya yang mampu melecutkan rangsangan untuk menggali kedalaman atau kebaruan.
Kami berusaha menghindari aspek ketokohan sang seniman dalam menentukan pilihan. Setiap karya, menurut kami, harus ditakar menurut dirinya sendiri. Sering sebuah karya hebat dalam gagasan, tapi eksekusinya lemah, hingga butuh banyak penjelasan di luar dirinya. Kami menghindari hal demikian. Kami juga berusaha memastikan bahwa karya itu bukan ledakan kreatif sesaat dari sang seniman. Karena itu, mengamati body of work sang seniman adalah hal penting.
Kami menetapkan untuk memilih karya dari para seniman yang usianya masih 40-an tahun. Memang susah menemukan sebuah karya begitu dahsyat sehingga menimbulkan gangguan yang menyebabkan orang harus berpikir lagi tentang sejarah seni Indonesia. Sebuah karya yang menyebabkan sejarah seni kita tiba-tiba menjadi seperti kemarin. Tapi setidaknya karya-karya yang kami ajukan adalah jenis yang mampu memancing renungan.
Selain orang dalam Tempo sendiri, yang sehari-hari melakukan liputan kebudayaan, pemilihan ini juga dibantu para pengamat seni. Ada pengamat yang kami undang memberikan perspektif kondisi penciptaan sepanjang tahun 2006, tapi tidak ikut memberi kata akhir. Ada yang kami minta untuk bersama mengambil keputusan. Selama sebulan berkali-kali diskusi kami gelar di kantor. Akhirnya kami memilih karya terbaik 2006 dari lima bidang yaitu: film, seni rupa, seni pertunjukan, arsitek dan sastra.
Untuk film, pilihan kami jatuh pada Opera Jawa karya Garin Nugroho. Film ini mengalahkan film-film hebat lainnya seperti Berbagi Suami karya Nia Dinata dan Denias, Senandung di Atas Awan karya John de Rantau. Kami menganggap Opera Jawa membuat pencapaian yang tinggi dalam sinema Indonesia. Biasanya film-film jenis ini diangkat dari opera yang sudah ada sebelumnya. Demikianlah misal Phantom of the Opera atau Sound of Music. Berbeda dengan Opera Jawa yang semuanya serba baru: dari skenario sampai tafsir gamelan. Keberanian Garin lain adalah soal kolaborasi. Seperti diketahui, film ini melibatkan banyak perupa dan penari papan atas kita. Kemampuan Garin untuk mengikat mereka dalam rangkaian adegan dan set yang secara visual menarik adalah prestasi utama film ini.
Khusus untuk seni rupa, kami mengundang kritikus Hendro Wiyanto. Di banding bidang seni lain, boleh dikatakan kehidupan seni rupa sangat marak. Pameran digelar di mana-mana. Kriteria pilihan kami adalah pameran tunggal. Dan di antara sekian pameran tunggal, sebuah pameran dari Hardiman Radjab, dosen kriya Institut Kesenian Jakarta, di Galeri Lontar mengagetkan. Ia mengeksplorasi koper. Dan koper di tangan Hardiman mencuatkan bermacam-macam imaji. Jarang ada sebuah pameran tunggal tematik yang seunik ini. Hardiman, misalnya, menyisihkan pameran-pameran tunggal lainnya yang kami anggap menarik seperti pameran Rudy Mantovani di CP Galeri atau pameran Ay Tjoe di Galeri Edwin Jakarta.
Untuk bidang sastra kami memilih Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Kekuatan utama karya ini adalah kesegarannya. Berangkat dari sesuatu yang sepele—kopi dan pergaulan—Dewi menulis seperti tanpa beban. Caranya menulis yang tidak berpretensi sastra tinggi malah menjadikannya karya ini renyah. Banyak hal lucu di dalamnya tapi diketengahkan dengan tidak melucu. Dewi mengalahkan beberapa novel yang menggarap warna lokal, tapi menurut kami kelokalan kadang menjadi hanya aspek tempelan dalam cerita.
Dari bidang seni pertunjukan kami memilih teaterawan Yogya, Yudi Tajudin. Teater termasuk yang mengalami paceklik. Akhir-akhir ini jarang ada pertunjukan yang bagus dari teater. Yudi, kami pilih sebagai sutradara Opera King’s Witch karya Goenawan Mohamad dan Tony Prabowo. Kemampuan memvisualkan komposisi Tony yang rumit dalam gerak dan set pemanggungan visual yang memikat adalah poin utama alasan kami memilih teaterawan ini. Kemampuan kerja sama Yudi dengan Joel Sachs, konduktor kelompok orkestra Continuum Ensemble, yang memainkan King’s Witch, meski waktu latihan hanya sangat terbatas adalah poin penting lain. Hal ini kami anggap memberikan pengalaman berarti bagi dunia seni pertunjukan Indonesia.
Untuk arsitek, kami mengundang khusus praktisi dan pengamat dunia arsitektur Bambang Eryudhawan, Baskoro Tedjo, dan Yori Antar sebagai panelis. Bersama mereka kami memutuskan siapa pemenangnya. Khusus untuk bidang ini, kami secara ketat memilih karya para arsitek yang berumur di bawah 40 tahun. Itu lantaran dalam dunia arsitek sendiri ternyata telah lazim ada tradisi sayembara di bawah umur 40 tahun.
Memilih karya arsitek agak sedikit berbeda dengan karya-karya lain. Banyak karya baru yang sesungguhnya secara rancangan bagus tapi belum selesai tahun ini. Persoalan lain adalah banyak arsitek yang memiliki karya baik tapi nama yang mengemuka adalah atas nama biro arsitek. Apa boleh buat, karya yang kami pilih adalah karya para arsitek yang berani menampilkan diri sebagai perancang utama dan karyanya harus ada yang baru pada 2006.
Pertemuan untuk bidang arsitek ini tergolong alot, dan berlangsung berkali-kali. Sampai akhirnya kami mendapat 10 nomine. Kepada para nomine ini kami meminta portofolio karya mereka. Lalu portofolio ini kami bagikan kepada panelis. Karya-karya mereka menunjukkan kreativitas beragam. Ada yang menggunakan bambu-bambu secara eksotik sampai membangun Gereja Batak dengan model yang tak lazim. Arsitek muda Anthony Lieu, misalnya, membuat sebuah kapel modern di Tanjung Benoa. Untuk menjangkau kapel ada jalan setapak kecil, dengan air di kanan-kirinya. Membayangkan sebuah pesta perak di sana, lalu tamu-tamu eksklusif berjalan ”membelah” air, membayangkan sesuatu yang teaterikal dan glamor.
Tapi kami memilih Tan Tik Lam. Ia adalah tokoh gaya minimalis dari Bandung. Selain mengalahkan Anthony Liu ia juga menyisihkan karya-karya Ahmad Djuhara, Budi Pradono, Jimmy Purba, Gregorius Supie Yolodi, dan lain sebagainya. Meski kini banyak pengembang rumah mengadopsi gaya minimalis untuk model perumahan, karyaTan Tik Lam masih dikenali ciri khasnya, dan selalu mampu meyakinkan bahwa inilah konsep minimalis sesungguhnya.
Tan Tik Lam meneruskan tradisi ayahnya, Tan Tjang Hai. Jauh sebelum minimalis menjadi populer seperti sekarang Tan Tjang Hai telah memelopori gaya ini sehingga karya-karyanya diberi predikat khusus: Gaya Bandung. Tan Tik Lam membangun tradisi keluarga ini menjadi lebih kuat. Karya-karyanya dikenal esensial: simpel, bersih, jujur. Ia sangat menguasai material. Keterampilan memperlakukan material dikenal sangat intim. Intimate skill. ”Tradisi craftsmanship, pertukangannya, tinggi sekali,” kata Yori.
Bentuk-bentuk rumah hasil desain Tan Tik Lam selalu tidak berlebihan. Tidak bergaya-gaya. Menghindari godaan banyak ornamen. ”Karya TanTik Lam tidak berpretensi menjadi estetik atau cantik. Karyanya tidak dibuat-buat, ia seolah hadir begitu saja,” kata Baskoro Tedjo. Dan yang terpenting adalah karyanya mampu menampilkan kenyamanan, sebab banyak karya arsitektur yang secara desain provokatif, tapi ternyata tidak nyaman untuk dihuni.
Poin lain dari karya Tan Tik Lam adalah ia mampu berkreasi dalam keterbatasan dana. ”Tan Tik Lam dalam membangun juga memiliki konsep tumbuh,” kata Baskoro. Maksudnya, desain bangunannya selalu memiliki fleksibilitas, menyajikan kemungkinan berubah tanpa mengurangi prinsip-prinsip utama. Pernah sebuah rumah hasil desainnya yang berfungsi sebagai galeri berubah menjadi rumah keluarga. Ditangani kembali oleh Tan Tik Lam, rumah itu tetap menarik.
Dengan titik tolak parameter ini, kami mengharap tahun 2007 ini bakal terjadi kejutan-kejutan lain. Untuk itulah, selain memilih karya-karya terbaik 2006, persembahan khusus seni Tempo ini dilengkapi dengan kolom-kolom yang menyangkut kreativitas dan persoalan makro menyangkut seni di Tanah Air. Demikianlah, semoga Dewi Minerva yang elok tetap menaungi kegiatan seni kita di tahun-tahun mendatang. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo