Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terperosok Ambisi Bandara

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permukaan kebun seluas sekitar 10 kali lapangan bola itu sebagian tertutup papan kayu. Jalur papan itu adalah daerah yang sudah diratakan dan semula bakal jadi landasan pacu pesawat terbang. Kini sengaja ditutupi ratusan papan agar rumput liar tak bersemangat tumbuh. Pagar seng menutup sekeliling lokasi lahan. Tak ada lalu-lalang pekerja ataupun alat berat.

Itulah sebagian ”kemajuan” pembangunan Bandar Udara Sultan Kutai Berjaya di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Bandar udara bertaraf internasional itu dibangun di kawasan yang dulu dikenal sebagai tambang batu bara. Biayanya murni dari dompet Pemda Kutai Kartanegara sebesar Rp 119,7 miliar.

Pada zaman Belanda, Loa Kulu merupakan lokasi penghasil batu bara yang penting. Namun, tambang tersebut kemudian ditinggalkan pada 1970 oleh Perusahaan Negara Tambang Batu Bara, hanya dua tahun setelah mereka mengambil alih produksi dari Oost Borneo Maatschapij (OBM) yang menambang sejak abad ke-19.

Loa Kulu kini jadi pembicaraan warga Kutai, bukan cuma karena proyek bandara internasional itu mangkrak, tapi juga lantaran Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani H.R., dan tiga anaknya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi gara-gara proyek tersebut.

Pembangunan Loa Kulu dimulai pada Agustus 2004, ketika Wakil Bupati Syamsuri Aspar mengeluarkan keputusan tentang Otorisasi Anggaran Belanja Daerah yang menyatakan Pemda Kutai Kartanegara telah memutuskan membiayai pembangunan bandara Kukar-Samarinda senilai paling tinggi Rp 119,7 miliar. Dua orang pejabat kemudian ditunjuk sebagai penanggung jawab.

Dari sejumlah pengeluaran, terdapat pengeluaran untuk pembebasan 256 hektare lahan sebesar Rp 15,3 miliar pada tahun 2005. Pembayaran ternyata diberikan kepada tiga anak Syaukani, yakni Selvi Agustina, Rita Widyasari, dan Windra Sudarta sebagai pemilik lahan. Pembebasan lahan itu dilakukan dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional, asisten bupati, dan dinas terkait.

Ketika diperiksa oleh Badan Pengawasan Daerah Kalimantan Timur, ditemukan adanya selisih harga tanah yang berakibat terjadinya kerugian negara. Tanah yang harga pasarannya semula Rp 1.250-Rp 1.500 dijual dengan harga Rp 6.000 per meter, sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 11,5 miliar-Rp 12,2 miliar. Selisih ini menjadi tanggung jawab Syaukani selaku Ketua Pembebasan Lahan Loa Kulu.

Ada dugaan, pengadaan tanah dilakukan untuk menguntungkan anak-anak Syaukani sendiri, karena tanah dari petani dibeli murah sebelum rencana pembangunan bandara dilakukan. Namun, Syaukani membantah hal tersebut. Harga pembelian tanah memang berkisar Rp 6.000 hingga Rp 7.000. Ketiga anaknya mematok harga Rp 6.000, sedangkan sebelas pemilik tanah yang lain Rp 7.000. ”Kenapa cuma anak saya yang diperiksa, padahal harga yang lain lebih mahal?” katanya. Apalagi pembebasan lahan sudah atas persetujuan panitia tim pembebasan Loa Kulu.

Ambisi Syaukani membangun Loa Kulu bertabrakan dengan keputusan pemerintah pusat dan Gubernur Kalimantan Timur. Pada 2002, Menteri Perhubungan Agum Gumelar sudah menetapkan Sei Siring sebagai lokasi bandar udara baru pengganti Bandara Temindung di Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Sementara itu, jarak Loa Kulu dan Samarinda terlalu dekat untuk membangun dua bandara sekaligus. Wajar saja, izin pembangunan Loa Kulu kemudian ditolak oleh Menteri Perhubungan Hatta Radjasa tahun 2004.

Namun, Syaukani tak mau mengalah. ”Setiap kota membutuhkan bandara untuk kemajuan ekonomi,” katanya. Di Cina, ia membandingkan, ada 80 bandara di berbagai kota. Pembangunan Loa Kulu dan Sei Siring justru akan memacu pertumbuhan ekonomi Kal-Tim. ”Jangan mempermasalahkan teknis. Serahkan saja pada persaingan,” kata Syaukani.

Proyek Loa Kulu sendiri terpaksa berhenti pada tahun 2005. Selain izin tak turun, duit pun tak cukup. Lalu Pemda Kutai berdalih akan membangun Loa Kulu dengan menggandeng investor luar.

Arif A.Kuswardono, Sri Wibisono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus