Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dewi Lestari: Wombat, Spons, dan Sebuah Jeda

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi Lestari adalah sebuah spasi. Sebuah jarak atau jeda yang memberi napas dan sekaligus makna pada barisan huruf atau kata. Tampak sepele, tapi memberi arti. Dewi mengolah yang tampak ringan itu menjadi sebuah cerita yang menawan.

Lewat kisah secangkir kopi, ia mencibir perilaku masyarakat kota yang terobsesi pada kesuksesan. Lewat idiom kaki-kaki meja, ia mempertanyakan arti persahabatan. Lewat digit-digit telepon, ia menghamparkan sebuah potret masyarakat yang sakit.

Buku kumpulan cerita pendek Filosofi Kopi karyanya telah menawarkan sebuah cara melihat sebuah persoalan dengan pendekatan yang segar dan jenaka. Renyah, tapi begitu dalam menusuk ke ulu persoalan. Ia, misalnya, menghadirkan bunyi sikat gigi untuk mempertanyakan apa sesungguhnya yang hendak diburu manusia di dunia ini. Siapa pun, ketika menggosok gigi, tak bisa mendengar apa-apa, selain bunyi sikat. Dunia yang hiruk-pikuk mendadak sempit dan tak berarti apa-apa di saat itu.

Rileks dan bernas. Bahasanya juga tangkas. Ia memperhatikan betul ritme bertutur. Tapi sama sekali tak mematut-matutkan diri untuk mengindah-indahkan bahasa. Metafora, juga aforismenya orisinal dan tepat. Memang, belum bisa dibilang karya Dewi telah mensubversi cara bercerita dalam sastra Indonesia. Tapi ia tak pernah berhenti. "Aku ini seperti Wombat, menggali dan terus menggali," katanya.

Ia bergumam tentang apa saja, tentang kesunyian, cinta, hati, zaman, hingga "kekuatan terbesar manusia yang tak terletak pada geraknya, tapi pada diam". Ya, ia memilih jalannya sendiri. Ia tidak ikut-ikutan mengeksplorasi seksualitas, tema yang belakangan ini cukup mencorong di antara novelis perempuan. Dewi memilih sendiri titik interesnya: dunia spiritualitas.

Pengarang dan penyanyi yang lahir di Bandung pada 20 Januari 1976 ini menulis cerpen lebih dulu dari novelnya yang laris, Supernova (2001). Bintang kepengarangannya memang melesat melalui novel beraroma pop science yang telah laku 75 ribu eksemplar itu. Novelnya itu kemudian dilanjutkan dengan Akar dan Petir. Tapi ia telah lebih dulu punya cerpen Rico de Coro (1995) yang menyuguhkan kisah cinta dramatis antara seekor kecoak dan seorang gadis.

Untuk menulis sebuah novel atau cerpen, Dewi bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan mengurung diri di rumahnya. Tak ubahnya seorang pertapa, ia menghabiskan hampir seluruh waktunya dalam kesunyian demi merayakan gagasan penciptaan. Dalam proses kreatif yang sama ia melahirkan lagu-lagu untuk album trio Rida Sita Dewi dulu dan album tunggal Out Of Shell (2006). "Menulis dan menyanyi adalah survival kit saya," ucapnya.

Sebagai pengarang, uniknya Dewi sama sekali tak pernah membaca karya-karya sastra Indonesia. Alumnus Hubungan Internasional Universitas Parahyangan Bandung ini lebih menyukai tema sains, filsafat, sosiologi, spiritualitas, dan komik Jepang. Kalaupun memilih fiksi, ia lebih memilih yang kuat daya imajinasinya. Trilogi The Lord of The Rings karya J.R.R Tolkien sudah ia tuntaskan, juga serial Wiro Sableng karya Bastian Tito saat masih duduk di bangku SMP.

Beragam bacaan berat itu ia serap laksana spons menyerap air. "Saya ibarat spons yang menyerap intisari setiap bacaan dengan sangat cepat," kata anak keempat dari lima bersaudara pasangan Yohan Simangunsong dan Tiurlan br. Siagian ini. Tetesan yang terserap itulah yang ia tuangkan kembali dalam bentuk fiksi.

Dan lewat Filosofi Kopi, Dewi telah menaburkan makna pada hidup kita yang jelaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus