Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mati sebelum jadi tamtama

Ahmad soleh, hari wiyono & mulyo santoso tewas dibunuh kopral satu sujono. anggota yonif linud 503 mojosari. ketiganya dijanjikan masuk abri sebagai tamtama melalui sujono dengan imbalan uang pelicin.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGAIKAN adegan film, Kopral Satu Sujono, anggota Yonif Linud 503 Mojosari, Mojokerto, Jawa Timur, lolos dari sel kesatuannya. Ia, yang disangka membunuh tiga orang calon tamtama, kabur menuju desa asalnya, Desa Semboro, Kecamatan Tanggul, Jember - sekitar dari 300 km dari selnya. Selama 18 hari, siangmalam, puluhan petugas sibuk mencari buron itu. Tapi Suyono bisa berkelit dari incaran petugas. Pernah semalaman la mendekam di kebun tebu menghindari pengejarnya. Barulah akhir Maret lalu, dua truk tentara dari Batalyon 315 Tanggul dibantu Polsek Tanggul dan ratusan masyarakat mengepungnya di Semboro. Sujono mencoba melawan dengan kapak terhunus. Tapi ketika ratusan orang itu memagar betis dan merangsek maju, Sujono menyerah. Pria 33 tahun itu kini meringkuk di tahanan Pom ABRI Jember. Ia diduga keras sekurangnya membunuh Ahmad Soleh, 18 tahun, Hari Wiyono, 22 tahun, danMulyo Santoso, 22 tahun, tiga orang calon tamtama asal Kecamatan Tanggul, Jember. Ketiga pemuda itu berminat menjadi calon tamtama (catam), setelah Sujono, yang juga berasal dari Desa Semboro, berkampanye akan menolong pemuda sedesanya untuk menjadi tentara, dengan syarat menyediakan uang pelicin sejuta atau dua juta rupiah. "Kampanye" Sujono itu didukung Saijo, pamannya, yang sehari-hari berprofesi tukang cukur di desa itu. "Pokoknya, kalau lewat Sujono pasti dijamin lulus," begitu selalu tutur Saijo. Berkat kampanye itu, banyak pemuda Semboro dan sekitarnya yang tertarik dan segera menghubungi Sujono di markasnya di Mojokerto, di antaranya ketiga pemuda tadi. Uang pelicin - hasil menjual motor, sawah dan benda berharga lainnya - mereka serahkan pada Sujono. Namun, anehnya, setelah menghubungi Sujono, mereka lenyap bak ditelan bumi. Sementara itu, pada Agustus 1986, sesosok mayat dalam keadaan rusak berat leher belakang terkuak, kedua telapak tangan terkupas - ditemukan penduduk di Purwodadi, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Sebulan kemudian, kembali masyarakat menemukan mayat, dalam keadaan sama, di Desa Panjer. Pada bulan Februari 1987 sekali lagi masyarakat kecamatan itu dikagetkan oleh penemuan mayat di Desa Lebaksono. Tapi hingga dikubur, mayat-mayat itu tetap misterius. Kapolsek Pungging Lettu. Pol. Syahidin mengaku tidak bisa mengidentifikasikan mayat itu. "Sebab, mayat itu seperti kena petrus," kata Syahidin. Ternyata, belakangan terungkap ketiga mayat itu tidak lain dari Mulyo Santoso, Hari Wiyono, dan Ahmad Soleh. Menurut penyidikan, ketiga pemuda itu dihabisi Sujono setelah menyetorkan uang pelicinnya. Sebenarnya, keluarga korban telah lama menaruh curiga karena raibnya anak mereka yang dilepas untuk menjadi ABRI itu, kendati tiap bulan Sujono, melalui Saijo berkirim surat ke keluarga anak-anak itu untuk minta "biaya pendidikan" Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu. Keluarga Ahmad Soleh, misalnya, curiga ketika anaknya berkirim surat untuk pacarnya di Semboro. Padahal, sebelum berangkat, dengan membawa bekal Rp 1,3 juta, anak itu tidak punya pacar siapa pun. "Lha uong, Soleh itu belum punya pacar. Lagi pula, saya tahu betul itu bukan tulisan tangan Soleh," kata Sucipto, paman Ahmad Soleh. Karena itu, Sucipto mencoba melacak jejak Soleh pada Saijo - calo yang berprofesi tukang cukur itu. Ia mendapat jawaban, Soleh sekarang dinas di Solo. Merasa penasaran, Sucipto berangkat kc Solo. Hasilnya nihil. Tak ada calon tamtama bernama Ahmad Soleh di Solo. Lain lagi cerita Matali - ayah Hari Wiyono. Ia curiga setelah sekian lama anaknya tak bersurat. Apalagi ia sudah mengeluarkan uang sampai Rp 1,2 juta agar Han bisa menjadi tentara. Matali akhirnya minta bantuan Tumiran, pegawai Kodim Situbondo, untuk mencari jejak anaknya. Tumiran menemui Sujono. Dengan meyakinkan Sujono berkisah bahwa Hari Wiyono kini berpangkat sersan dua, dengan NRP 522334, dan bertugas di Bandung. Tumiran pun meluncur ke Bandung. Ternyata, di situ tidak ada Hari. Nomor prajurit yang disebut Sujono ternyata atas nama orang lain, Dwi A. Wibowo. Sekali lagi Tumiran balik ke Mojosari menjumpai Sujono dan atasan Sujono, Danyon 503 Mojosari, Mayor S. Nasution. Semula di hadapan Nasution Sujono mencoba berkelit dan memberikan jawaban berbelit-belit. Tapi di antara keterangannya itu banyak yang tak masuk akal. Sebab itu, Nasution menahan anggotanya itu. Setelah sempat lolos dan tertangkap lagi, menurut sebuah sumber di Yonif Linud Mojosari, Sujono mengakui perbuatannya. Entah di Mahmil nanti. Wahyu Muryadi, Herry Mohamad, dan Toriq Hadad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus