PENYELUNDUPAN boleh diperangi. Tapi ternyata, masih ada saja cara lain untuk menggaet uang negara dalam jumlah milyaran rupiah. Di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, belum lama ini diketahui ada cara manipulasi dengan modus baru: memalsukan dokumen Pemberitahuan Pemasukan Barang untuk Dipakai (PPUD). Dari sejumlah 194 PPUD yang dipalsukan tadi, menurut sebuah sumber di Kejaksaan Agung, negara diperkirakan telah kebobolan Rp 3 milyar. Tiga tersangka sampai sekarang masih ditahan sehubungan dengan kasus manipulasi itu. Satu di antaranya N.O. Adam, direktur EMKL PT Linatoni, yang diduga sebagai otaknya. Selain itu, ada empat pejabat Bea Cukai Tanjung Perak yang diduga telah memberi peluang terjadinya manipulasi itu dan kini diskors. "Mereka masih tetap masuk kantor. Tapi selama pemeriksaan kasus ini belum selesai, mereka ditarik dari jabatannya," ujar Drs. Soepardjo, kepala Kantor Wilayah VII Bea Cukai Tanjung Perak. Cara baru membobol uang negara itu diketahui ketika sebuah tim yang dipimpin Drs. Gandhi, ketua Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), terjun ke Tanjung Perak mulai April lalu. Tim yang juga terdiri dari unsur Bea Cukai dan Kejaksaan Agung itu menemukan 194 PPUD palsu. Dari 120 PPUD yang dipalsukan pada tahun anggaran 1981-1982, diketahui bahwa negara telah dirugikan Rp 1,5 milyar. Jumlah kerugian yang sama berasal dari 74 PPUD aspal dalam tahun 1982-1983. "Pemalsuan tersebut dilakukan perusahaan EMKL, PT Linatoni itu," tutur sumber TEMPO di Kejaksaan Agung pekan lalu. Pemalsuan, menurut sumber tadi, dilakukan dengan cara cukup sederhana, yang berbeda dengan kasus penyelundupan pada umumnya. "Ketika mengeluarkan barang dari pelabuhan mnereka memakai dokumen PPUD asli. Tapi sewaktu membayar bea, mereka memakai dokumen palsu," katanya. Hal seperti itu diduga bisa terjadi karena ada oknum Bea Cukai yang membantu. PT EMKL Linatoni, yang mendapat kuasa dari sekitar 20 importir untuk mengurus pengeluaran barang dari pelabuhan, menurut sumber TEMPO di Surabaya dan Jakarta mulanya meminjam dokumen PPUD asli yang ada di tangan pejabat Bea Cukai. Peminjaman itu dengan dalih agar perusahaan tadi bisa menagih pembayaran bea kepada pihak importir. Karena agaknya memang sudah diatur, peminjaman itu diluluskan pejabat bersangkutan. SETELAH PPUD asli ada di tangan, segera dibuat salinannya. Dalam PPUD aspal itu, yang bernomor dan bertanggal sama dengan yang asli, data dan angka-angkanya diubah. Jumlah barang, misalnya, dikurangi. Harga juga diturunkan, sedangkan pos-pos tarif yang mesti dibayar disulap. Dengan begitu, jumlah bea masuk, MPO, dan berbagai bea lain yang seharusnya dibayar menjadi lebih kecil. PPUD aspal itulah yang kemudian dibawa ke Bagian Keuangan Bea Cukai Tanjung Perak. Pihak EMKL Linatoni, jadinya, hanya membayarkan sejumlah yang tertera dalam dokumen yang telah disulap tadi. Dengan cara itu, EMKL tadi hanya membayarkan sekitar 50% dari yang seharusnya dia setorkan ke kas negara. Padahal, para importir yang mempercayakan pengeluaran barang dari pelabuhan kepadanya tetap membayar penuh. PT Unilever Indonesia, produsen barang kebutuhan rumah tangga di Surabaya, misalnya, berdasarkan bukti yang ada, jelas telah membayar bea Rp 100 juta pada 1983 untuk bahan baku yang diimpornya. Ternyata, oleh PT Linatoni, hanya dibayarkan sekitar Rp 50 juta. PPUD aspal tadi memang hanya digunakan untuk keperluan membayar bea. Sedangkan untuk mengurus pengeluaran barang dari pelabuhan tetap di gunakan dokumen yang asli. Dengan begitu, PT Linatoni tak mengalami kesulitan sewaktu hendak memboyong barang-barang itu keluar pelabuhan. "Jumlah barang dengan yang tertera dalam dokumen PPUD asli memang sama," kata sumber TEMPO. Cara manipulasi dengan memalsukan PPUD ini, boleh dibilang, merupakan pengembangan dari cara yang biasa ditempuh penyelundup. Dalam kasus penyelundupan, yang biasa terjadi adalah: pihak penyelundup sengaja mengubah PPUD, tidak sesuai dengan keadaan barang yang sebenarnya, sehingga hanya dikenai tarif bea yang jauh lebih murah. Dengan cara itu, penyelundup bisa menekan serendah mungkin jumlah bea yang menjadi kewajibannya. Namun, bagaimanapun model penyelundupan atau mampulasi, umumnya memang ada kerja sama dengan "orang dalam". "Tanpa ada lampu hijau atau kerja sama dengan orang dalam, tak mungkin manlpulasi dapat dilakukan," ujar sumber TEMPO. Dengan terbongkarnya kasus PPUD aspal di Tanjung Perak itu, yang kasusnya kini masih terus diteliti, tak mustahil bahwa kasus serupa sebenarnya pernah pula terjadi di pelabuhan lain. Kantor PT Linatoni sendiri, sejak sekitar tiga bulan lalu telah ditutup. EMKL yang beralamat di Jalan Perak Barat itu tak dibenarkan lagi melakukan kegiatannya, karena, kata sumber TEMPO, "Perusahaan itu terbukti telah dua kali melalukan kejahatan." Kejahatan yang pertama dilakukan 1982 lalu. Ketika itu, Linatoni diduga keras melakukan penyelundupan hingga merugikan negara Rp 100 juta. Barang yang diurusnya di sebutkan dalam dokumen seolah alat-alat semprot hama. Ternyata, ketika diteliti, berisi obat-obatan Cina serta barang elektronik. Kasus itu kini disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Dan karena sejak tiga bulan lalu Linatoni ditutup, sekitar 30 karyawannya kini sudah dirumahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini