MENGANGKAT gelas champagne tinggi-tinggi ke arah bankir, wajah
Liem Sioe Liong nampak cerah. Padahal, selama hampir tiga jam
pengusaha terkemuka yang memimpin Liem Investors itu kelihatan
sibuk meneken kontrak seluruh dokumen pinjaman untuk PT Cold
Rolling Mill Indonesia (CRMI) di salah satu ruangan besar Hotel
Mandarin, Hong Kong, pekan lalu. Jumlah utang komersial dan
kredit ekspor yang berhasil diperoleh dari luar negeri untuk
membiayai pendirian pabrik baja tipis penggilingan dingin itu
berjumlah US$ 552 juta.
Hari itu banyak mata memperhatikan Liem Sioe Liong. Maklum,
beberapa hari sebelum penandatanganan kontrak proyek raksasa
yang akan dibangun di kompleks baja Cilegon, Jawa Barat,
komisaris utama Bank Central Asia itu telah 'dinobatkan' sebagai
salah satu dari 12 bankir terkaya di dunia oleh majalah AS
Institutional Investor (TEMPO, 2 Juli).
Keberhasilan Liem, komisaris utama PT CRMI, menarik kredit
segede itu di saat sulit seperti sekarang, menimbulkan
pertanyaan juga di saat Pemerintah RI melakukan pentahapan
kembali (rephasing) sejumlah proyek besar, dengan cara menunda
pelaksanaan proyek-proyek yang belum maupun sudah ditandatangani
kontraknya. "Saya merasa bangga, di saat resesi ekonomi dunia,
saya ternyata masih dipercaya," kata Liem Sioe Liong kepada
TEMPO, sesaat setelah penandatanganan yang berlangsung sekitar
dua jam itu.
Liem dan kelompoknya boleh saja bangga. Tapi keberhasilan
memperoleh pinjaman besar dari luar negeri itu agaknya ikut
ditunjang dengan ikutnya perusahaan negara PT Krakatau Steel di
situ, dengan Direktur Utama Tungki Ariwibowo.
Seluruh pembiayaan pabrik baja tipis diperkirakan akan menelan
US$ 800 juta. Dari jumlah itu, pinjaman sindikasi yang mengalir
dari perbankan internasional berjumlah US$ 218 juta, dengan
bunga 10,75% setahun. Atau 1,25% di atas tingkat bunga antarbank
di London (Libor), yang kini mencapai 9,5% per tahun.
Tapi oleh Liem, tingkat bunga itu dipandang "cukup baik".
Pendapat serupa juga dikemukakan David R.M. Henderson, asisten
direktur Asia Pacific Capital Corp., anak Citibank Cabang Hong
Kong, koordinator utama (lead manager) kredit sindikasi itu.
"Masuk akal, jika dikaitkan dengan proyek itu sendiri," kata
Henderson. Ada 19 bank yang turut menyediakan kredit komersial
itu -- suatu jumlah yang tak begitu banyak jika dibandingkan
dengan yang biasa terjadi di saat masih banjirnya petro dollar.
Dari jumlah 218 juta dollar tadi, Asia Pasific Capital
menyisihkan pinjaman US$ 31 juta. Sedang Bank Negara Indonesia
menyediakan US$ 25,2 juta. Suatu rekor pinjaman yang pernah
diberikan BNI 1946 selama ini. Kenapa BNI begitu berani? "Karena
proyek ini punya prospek baik," kata Somala Wiria.
Direktur utama BNI 1946 itu agaknya melihat jauh. Menurut
Somala, "begitu pabrik itu selesai dibangun, kebutuhan akan baja
lembaran tipis akan besar sekali." Pabrik itu sendiri menurut
rencana akan mulai dibangun pertengahan tahun ini juga, dan akan
selesai pada tahun 1986. Indonesia diperkirakan akan membutuhkan
1 juta ton lebih baja tipis pada 1985 -- sebagian besar untuk
dipakai industri otomotif.
Kalau pabrik itu benar akan selesai pada 1986, baja lembaran
tipis yang akan mengalir dari Cilegon diduga akan mencapai 850
ribu ton. Sampai sekarang industri otomotif umumnya menggunakan
baja lembaran tipis buatan Nippon Steel. "Kami memang akan
bersaing keras dengan Nippon Steel," kata Liem Sioe Liong.
Siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan itu
akan kita lihat nanti. Tapi beberapa swasta Jepang kabarnya
menolak ketika ditawari oleh Krakatau Steel untuk ikut berkongsi
dalam CRMI. "Mereka nampaknya kurang serius," kata seorang
peserta.
Partner Krakatau Steel yang serius akhirnya muncul dari dalam
negeri: Kelompok Liem Sioe Liong, diwakili oleh konsorsium PT
Kaolin Indah Utama, pemegang saham utama PT Bogasari Flour Mill,
punya Liem Sioe Liong dan Djuhar Utama Sutanto, kongsi Liem yang
kekal. Partner swasta yang lain adalah Metropolitan Group yang
dipimpin pengusaha tanah dan bangunan (real estate) terkenal,
Ciputra.
Andil Krakatau Steel dalam CRMI cukup besar: 40%, dan kedua
kelompok swasta itu juga 40%, sedang sisanya, sekitar 20%,
dipegang Sestiacier SA, Luxemburg. Dengan demikian, di dalam
proyek itu, penyertaan pemerintah melalui Krakatau Steel
diperkirakan akan mencapai US$ 100 juta.
Beberapa pengamat menilai ikutnya PT Krakatau Steel dan bank
pemerintah BNI 1946 setidaknya merupakan semacam jaminan bagi
konsorsium bank asing yang memberikan pinjaman. Sehingga, kalau
saja kelak proyek itu macet, Bank Indonesia terpaksa akan tampil
sebagai deking.
Tapi anggapan begitu, yang mengingatkan orang pada krisis
Pertamina dulu, rupanya tak berlaku lagi sekarang. Kalau,
misalnya, perusahaan itu kelak menderita kesulitan membayar
utang (default), risiko nampaknya harus dipikul oleh pemberi
kredit. "Ketentuan itu sudah lama berlaku buat badan usaha milik
negara, dan perusahaan swasta," kata Gubernur BI Arifin Siregar
baru-baru ini kepada TEMPO.
Selain dari pinjaman komersial, pabrik raksasa itu juga akan
dibiayai dengan kredit ekspor (berupa mesin) dari Prancis dan
Spanyol sejumlah US$ 334 juta, berbunga 7,75% dan 8,75% setahun.
Maka yang akan bertindak sebagai kontraktor utama pekerjaan
sipil dan engineering proyek tersebut adalah Clecim SA dan
Creusot Liore Equipments Siderurgiques SA dari Prancis, dan
Tehnicas Reunidas SA serta Espanola de Coordinacion y Tecnica
Financiera SA dari Spanyol. Kedua Spanyol itu dikenal sebagai
kontraktor utama proyek hydrocracker di Dumai.
Tak ketinggalan pihak swasta AS, yang di mana pun terkenal punya
kebolehan dalam bangun-membangun proyek besar. Untuk itu
industri baja US Steel yang tersohor, akan tampil sebagai
pengawas manajemen operasional. Sedang bahan baku baja untuk
CRMI, akan datang dari pabrik Hot Rolling Mill, Krakatau Steel,
yang belum lama berselang diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Jika segalanya kelak berjalan lancar mudah-mudahan -- akan
lengkaplah agaknya "industri baja terpadu" seperti diimpikan
Ariwibowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini