MENTERI Tenaga Kerja Abdul Latief menghadapi ujian berat. Ia harus menyelesaikan pergolakan pekerjanya sendiri, dari PT Indonesian Product Centre (IPC) Sarinah Jaya, salah satu anak perusahaan miliknya. Sebagai menteri sekaligus pemilik perusahaan, Abdul Latief diuji kearifannya lewat sengketa buruh-majikan ini. Kemelut di pabrik garmen milik Sarinah Jaya itu masih berlangsung sampai awal pekan ini. Senin pagi lalu sekitar 400 buruh pabrik itu mendatangi Gedung DPR di Senayan. Unjuk rasa mereka tergolong sopan dan rapi: tanpa yel-yel dan poster yang bisa memerahkan kuping majikannya. Aksi unjuk rasa itu adalah yang kedua kalinya selama sepekan. Empat hari sebelumnya pekerja pabrik garmen yang berlokasi di Pulogadung, Jakarta Timur, itu melakukan aksi serupa. Akibatnya 10 ''pemrakarsa''-nya dirumahkan. Padahal jawaban atas tuntutan mereka tak kunjung terdengar. Seperti umumnya buruh di sektor industri padat karya, keluhan yang disampaikan pekerja garmen Sarinah Jaya ini masih sekitar itu-itu juga: soal upah yang cekak, hak cuti haid yang seret, asuransi tenaga kerja, perhitungan atas masa kerja, dan paling jauh agar dibentuk SPSI independen yang bisa mewakili aspirasi buruh. Keresahan buruh IPC Sarinah Jaya sebenarnya telah terdengar sejak tahun lalu. Pemogokan besar, melibatkan 1.300 buruh, hampir semua pekerja di situ, terjadi September tahun lalu. Dan disusul 13 Mei lalu. Mereka menuntut perbaikan nasib. Upah yang diterima buruh kini Rp 3.000 per hari, ditambah makan siang gratis. Itu sudah pas dengan upah minimum di DKI yang Rp 3.000 per hari. Tapi Sumarni, salah satu buruh IPC, mengaku sulit hidup di Jakarta dengan upah sebesar itu. ''Sewa kamar yang paling murah saja Rp 20.000 sebulan,'' katanya. Yang disayangkan Budi Haryanto, anggota Komisi VI DPR yang menerima rombongan dari Pulogadung itu, tak hanya soal upah yang rendah. IPC Sarinah Jaya, kata Budi, tak pernah mengangkat buruhnya menjadi karyawan tetap. ''Jadi, kerja tiga bulan atau lima tahun, upahnya sama, Rp 3.000 sehari,'' ujarnya. Para buruh, katanya, juga tak mendapatkan jaminan kesehatan dan asuransi. Namun pihak manajemen IPC menyangkal kalau pihaknya dituding mengabaikan tuntutan pekerjanya. Soal cuti haid, misalnya, telah diberikan sejak Mei silam. ''Dua hari per bulan,'' ujar Ira Wibowo, artis film yang juga PR dari A Latief Corporation, induk perusahaan IPC. Bahkan dalam siaran pers 11 Juni ini IPC juga menyatakan tak tahu-menahu soal rencana pengaduan buruhnya ke DPR. Sebab, tuntutan mereka telah diselesaikan dalam kesepakatan antara pihak manajemen dan wakil buruh 13 Mei lalu. Tentang Pengurus Unit Kerja SPSI, kata Ira, juga telah ada di IPC, bahkan sejak 1983 ketika perusahaan itu mulai beroperasi. Lantas tentang upah, memang pernah dijanjikan naik dari Rp 3.000 ke Rp 4.000. Tapi, itu direncanakan bulan Juli nanti. ''Sekarang ini kan baru Juni,'' tambahnya. Tapi Suwarti, seorang buruh, menganggap cuti haid yang diberikan, pelaksanaannya justru menyinggung perasaan buruh wanita. ''Bayangkan, kami harus diperiksa langsung kalau minta cuti haid,'' ujarnya. Benar tidaknya ucapan Suwarti, entahlah. Ketika aksi buruh ini terjadi, Abdul Latief sedang di Eropa menghadiri sidang Organisasi Buruh Se-Dunia (ILO). Nah, masalah yang dihadapi Menteri Tenaga Kerja itu kini adalah soal memperbaiki nasib buruh yang sering berkonflik dengan majikannya. Kebetulan, Abdul Latief punya pengalaman sebagai majikan. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini