INI kita bicara di Jakarta", kata Hardjono Reksodiputro SH, MA.
Direktur Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum UI kepada TEMPO
dua pekan silam. "Peraturan yang 6 bulan saja, kita sudah sukar
mendapatkannya" sambung Mardjono, yang lebih akrab jika
dipanggil Boy. "Belun lagi di daerah. Problemnya adalah tidak
ada tempat. tidah ada sistim, di mana kita dengan mudah mencari
peraturan dan bahan-bahan hukum lainnya".
Lalu ujar Komar, SH, LL.M, seorang konsultan hukum di Jakarta:
"Kalau kita putar (nomor telepon - Red.) dari San Francisco
misalnya ke Library of Congress untuk menanyakan tentang masalah
securities dan kemudian kita minta keputusan-keputusan
pengadilan tentang masalah tersebut, semuanya berjalan cepat.
Kita tinggal pilih saja. Tapi di sini tidak bisa. Tapi bukan
suasana yang nyaris khayal bagi Indonesia itu yang
dicita-citakan Komar. dalam kedudukannya sebagai salah seorang
yang kerap berurusan dengan dokumentasi bahan-bahan hukum.
"Sukar sekali mencari peraturan-peraturan karena biro hukum
departemen yang mestinya menyimpan, tak jarang, tak mempunyai
peraturan tersebut". Padahal sebenarnya kita bisa melakukan
pendokumentasian dengan film mikro lanjutnya.
R.E. Soelaiman Karsoemitra. SH Kepala Biro Hukum Departemen
Perdagangan tak membantah kenyataan yang dikemukakan di atas.
"Sekarang kami baru mulai menumpuknya bahan-bahan peraturan di
bidang perdaganan berdasarkan subyek-subyeknya". kata
Soelaiman.
Satu Kunci
Untunglah pemerintah, dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN) sudah memekakan diri terhadap keluhan-keluhan
tersebut. Sebuah lokakarya akan diadakan bekerjasama dengan
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (lihat: Agar Bappenas
Yakin) Lebih kurang 80 peserta akan membicarakan soal
Pemantapan Pedoman-Pedoman tentang Sistin Penemuan Kembali
Peranan Perundang-Undangan RI - yang menjadi tema lokakarya.
Pedoman-pedoman tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui,
antara lain, kedudukan peraturan perundangundangan dalaun
rangkaiannya dengan peraturan lain dalam subyek yang sama.
Menurut Panitia Penyelenggara, Lokakarya tadi, salah satu kunci
penemuan kembali berbagai peraturan itu adalah adanya indeks di
perpustakaan. Panitia mengakui sampai sekarang Indonesia masih
belum memiliki pedoman atau cara yang memudahkan penemuan
kembali peraturan perundang-undangall yang diperlukan. Salah
satu hambatan di sini adalah banyaknya subyek yang tercakup
dalanl peraturan perundangundallgan sehingga tak dapat disusun
secara sistimatis.
"Bagaimana Nyarinya"
Sebenarnya problem menemukan kembali peraturan
perundang-undangan sudah lama dilihat oleh Fakultas Hukum UI
yang pada 1972 membentuk Pusat Dokumentasi Hukum (PDH).
Bermarkas di bangunan lama di Jalan Teuku Umar 46, "pertama-tama
kita mengumpulkan Semua bahan-bahan", kata Mardjono
Reksodiputro. Direktur PDH. Sekarang ini PDH, mempunyai 25 ribu
peraturan memulai dari peraturan-peraturan 1945. Ada
undang-undang konvensi, peraturan menteri sampai ke peraturan
daerah. Belum lagi peraturan-peraturan zaman Belanda.
Itu masih belum selesai. Sebab dari sekian banyak peraturan,
kata Mardjono alias Boy, "kalau ditumpuk saja, bagaimana
mencarinya". Maka mereka mempergunakan cara yang biasa di!akai
di perpustakaan. Yaitu setiap peraturan dibuatkan kartunya.
Menurut Boy cara begini berbeda dengan di luar negeri. Di sana
peraturan dikeluarkan dalam satu buku, sekalian ada indeks
sehingga peraturan-peraturan tersebut mudah ditemukan kembali.
"Tapi kalau di kita, yang keluarkan peraturan, ya keluarkan
terus, yang nanti mau nyari, ya silakan nyari sendiri", lanjut
Boy. Departemen-departemen juga belum menangani masalah ini
secara khusus".
Gagasan pendokumentasian hukum yang sudah dibikin nyata oleh
FHUI ini kemudian dituangkan lagi dalam Seminar Hukum ke-III di
Surabaya, 1976. Dari sana kemudian Departemen Kehakiman,
khususnya BPHN terlibat. Dalam tubuh BPHN ada pula badan
dokumentasi semacam yang di UI. Sedang digariskan pula agar
pranata dokumentasi hukum ditumbuhkan di daerah, terutama di
fakultas-fakultas hukum. Kelak akan dibangun pula satu jaringan
secara nasional sehingga praktisi hukum di daerah akan mudah
menunaikan tugasnya.
Di tingkat pusat usaha merapikan pendokumentasian hukum
dicanangkan akan dilakukan di departemen-departemem Rintisan
pertama dilakukan pada Departemen Keuangan. Boy menyadari betapa
sulitnya mengetahui peraturan yang sehari-hari dikeluarkan di
departemen ini. "Kita tahu di situ ada Direktorat Pajak,
Direktorat Bea Cukai yang bisa mengeluarkan peraturan-peraturan
harian yang mempunyai efek terhadap masyarakat", katanya. Untuk
itu 'kan harusnya ada satu sistim jaringan intern di dalam
departemen supaya peraturan yang keluar tidak simpang siur.
Masyarakat bisa bingung kalau begitu". Dengan demikian ada dua
sasaran pokok PDH: menata jaringan informasi hukum nasional, dan
jaringan informasi lokal di departemen-departemen.
Di samping Boy, ada 11 tenaga lagi yang mengelola PDH. Mereka
mengerjakan urusan sekretariat, pendokumentasian, pelayanan dan
lain-lain, dan di antara yang sebelas itu termasuk tenaga
Gregory Churchill, seorang juris doctor dari Universitas
Harvard. "Biaya kita sebenarnya tidak besar", komentar Boy pula
tentang bab yang boleh dibilang amat penting ini. "Minimal untuk
satu tahun kita perlukan Rp 6 juta, jadi hana Rp 500 ribu
sebulan. Gedung dan kendaraan sudah disubsidi Fakultas. Tapi
untuk mencari yang enam juta itu, terpaksa kita harus cari
proyek. Jadi seperti cari obyekanlah". Boy mengakui
ketidaknormalan kegiatan usaha begitu, sebab konsentrasi tak
sepenuhnya dapat dicurahkan. Selain itu Fakultas memberi bantuan
lain senilai Rp 1 juta. Tak dapat dilupakan adalah bantuan
Yayasan Asia selama tiga tahun pertama USia PDH. "Selama tiga
tahun itu kami bisa tenang, karena subsidi cukup". Boy mengenang
kembali.
Dapat Uang
PDH sekarang memang sudah melampaui masa bayi, "tapi untuk
berjalan sendiri masih sukar", lanjutnya. Usaha pendokumentasian
dan perpustakaan memang bukan usaha dagang. Siapa saja dapat
datang, cari bahan, atau baca-baca, semua gratis. Kecuali kalau
minta fotokopi. "Apa bahan-bahan tersebut untuk dia pakai untuk
keperluan kantor pengacara, aau mau dijadikan bahan memberi
advis untuk dapat uang, bukan soal kita. Kita hanya melayani",
begitu pimpinan PDH ini bercerita.
Boy, yang tampaknya repot juga menyisakan waktu di sela-sela
kesibukannya di Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI
itu, tidak menolak sekiranya ada donor asing yang mau membantu
usaha pengembangan PDH. Tapi ia lebih memprioritaskan bantuan
pemerintah langsung. Dengan yang terakhir ini, pemerintah secara
tak langsung telah mengakui bahwa PDH adalah penting bagi
pelayanan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini