SENGKON dan Karta, maju lagi ke pengadilan. Mereka menggugat
Pemerintah RI cq Menteri Kehakiman, Pengadilan Negeri Bekasi dan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat sebesar Rp 100 juta. Gugatan
perdata lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu "merupakan
satu-satunya jalan untuk menuntut ganti rugi," kata kuasa
mereka, H. Sumrah dan Murtani SH.
Upaya menuntut ganti rugi dan rehabilitasi seperti diatur dalam
pasal 9 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, memang tak mungkin.
Seperti dinyatakan Dirjen Hukum dan Per Undang-Undangan,
Hadipoernomo SH, "peraturan pelaksanaannya belum ada, masih
dalam pembahasan di RUU HAP." Maka, Hadipoernomo pula yang
menyarankan, agar ganti rugi itu ditempuh lewat pengadilan.
Sidang perdata itu dimulai 12 Desember lalu dengan hakim Subandi
SH, Abunasor SH dan Achmad S. Intan SH. Selanjutnya Pengadilan
Negeri Bekasi Sengkon dan Karta divonis hukuman masing-masing 12
tahun dan 7 tahun penjara, pada Oktober 1977 lewat. Mereka
dipersalahkan membunuh Sulaiman dan istrinya, Siti Haya, di
Kampung Bojongsari, Bekasi. Keputusan ini dikuatkan Pengadilan
Tinggi Jawa Barat.
Ternyata kemudian, Gunel (cs) yang masih kerabat Sengkon mengaku
sebagai pembunuh dalam kasus itu. Setelah diadili, ia dijatuhi
hukuman 10 tahun penjara. Tapi Sengkon dan Karta--yang sejak
semula menyangkal tuduhan--sudah telanjur menderita. Sengkon
sempat meringkuk 5 tahun dan 10 bulan 23-hari dan Karta, 3
tahun 3 bulan 27 hari di penjara, sebelum akhirnya Mahkamah
Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi melalui
Peninjauan Kembali. Keduanya dibebaskan 4 November tahun lalu.
Putusan Pengadilan Bekasi yang menyebabkan Sengkon dan Karta
mendekam dalam penjara sekian lama, kata Murtani, "telah
menimbulkan kerugian materiil dan nonmateriil." Rumah,
pekarangan dan harta benda keduanya ludes. Istri mereka tak
henti-hentinya mendapat cercaan tetangga. Dan anak-anak jadi
kocar-kacir, karena terpaksa berhenti bersekolah. Kerugian
materiil dan nonmateriil itu diperkirakan bernilai tak kurang
dari Rp 50 juta tiap orang.
Perumnas dan tbc.
Gugatan Sengkon dan Karta dianggap wajar oleh Albert Hasibuan,
anggota DPR yang gigih mengusahakan pembebasan kedua orang itu.
Ia sendiri tak turut menangani gugatan itu," karena lebih baik
diurus pengacara lain." Saya, kata Albert, cukup menanganinya
dalam porsi sebaai anggota DPR.
Kuasa penggugat memakai pasal 1366 dan 1367 KUH Perdata, sebagai
dasar gugatan. Pemerintah, kata Murtani, kini besar
perhatiannya terhadap masalah hukum. Antara lain dengan dalla
yang disediakan bagi bantuan hukum dan klinik hukum. "Bagi orang
yang jelas terbukti tak bersalah, pemerintah pasti akan
memberikan perhatian lebih besar," katanya bersemangat.
Kalau pihaknya menang apakah tak berakibat para hakim lalu jadi
takut-takut bila hendak menjatuhkan vonis? "Itu risiko," Murtani
menjawab sendiri pertanyaannya. "Walau bagaimanapun hukum kan
harus dijalankan."
Karta pun yakin bakal menang, walau ia sendiri merasa yang
dikabulkan tak sampai Rp 100 juta. "Saya kan sudah jelas tak
bersalah. Masakan pemerintah mau menelantarkan saya," katanya.
Ia kini jadi petugas keaanan di pasar Kranji, Bekasi, dengan
gaji Rp 25 ribu/bulan, untuk menghidupi 2 istri dan 12 anaknya.
Tiga orang anaknya yang masih di SD, terpaksa keluar. Sudah dua
bulan ini pula Karta menunggak pembayaran sewa rumah Perumnas
yang ditempatinya sejak beberapa bulan lalu.
Keadaan Sengkon, meski cuma menanggung seorang istri dan 3 anak,
tak jauh berbeda. Kios hadiah Pemda Bekasi, yang dibangun di
muka rumahnya di Desa Jati Ranggon, kosong melompong. Di situ
cuma ada beberapa stoples berisi makanan ringan dan beberapa
botol minuman. "Modalnya nggak ada," tutur Sengkon yang kian
payah dirongrong tbc. Hampir tiap hari ia batuk darah. Bila
berjalan, mesti terbungkuk-bungkuk dan tak bisa cepat.
"Kalau masih kuat bekerja, tak bakalan saya menuntut ganti rugi.
Buat apa?" ujarnya sengit. Setelah rumah dan pekarangannya
habis, harapannya memang tinggal ganti rugi yang diperjuangkan
lewat gugatan itu. "Kalau ditolak apakah tidak berarti
pemerintah membunuh saya pelan-pelan? " tanya Sengkon tersendat,
karena terbatuk-batuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini