Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membunuh Saya Pelan-Pelan? Tanya...

Gugatan ganti rugi Rp 100 juta Sengkon & Karta masih dibahas pengadilan. Kata Sengkon, bila itu ditolak apa tidak berarti pemerintah membunuhnya pelan pelan.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKON dan Karta, maju lagi ke pengadilan. Mereka menggugat Pemerintah RI cq Menteri Kehakiman, Pengadilan Negeri Bekasi dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat sebesar Rp 100 juta. Gugatan perdata lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu "merupakan satu-satunya jalan untuk menuntut ganti rugi," kata kuasa mereka, H. Sumrah dan Murtani SH. Upaya menuntut ganti rugi dan rehabilitasi seperti diatur dalam pasal 9 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, memang tak mungkin. Seperti dinyatakan Dirjen Hukum dan Per Undang-Undangan, Hadipoernomo SH, "peraturan pelaksanaannya belum ada, masih dalam pembahasan di RUU HAP." Maka, Hadipoernomo pula yang menyarankan, agar ganti rugi itu ditempuh lewat pengadilan. Sidang perdata itu dimulai 12 Desember lalu dengan hakim Subandi SH, Abunasor SH dan Achmad S. Intan SH. Selanjutnya Pengadilan Negeri Bekasi Sengkon dan Karta divonis hukuman masing-masing 12 tahun dan 7 tahun penjara, pada Oktober 1977 lewat. Mereka dipersalahkan membunuh Sulaiman dan istrinya, Siti Haya, di Kampung Bojongsari, Bekasi. Keputusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Ternyata kemudian, Gunel (cs) yang masih kerabat Sengkon mengaku sebagai pembunuh dalam kasus itu. Setelah diadili, ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Tapi Sengkon dan Karta--yang sejak semula menyangkal tuduhan--sudah telanjur menderita. Sengkon sempat meringkuk 5 tahun dan 10 bulan 23-hari dan Karta, 3 tahun 3 bulan 27 hari di penjara, sebelum akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi melalui Peninjauan Kembali. Keduanya dibebaskan 4 November tahun lalu. Putusan Pengadilan Bekasi yang menyebabkan Sengkon dan Karta mendekam dalam penjara sekian lama, kata Murtani, "telah menimbulkan kerugian materiil dan nonmateriil." Rumah, pekarangan dan harta benda keduanya ludes. Istri mereka tak henti-hentinya mendapat cercaan tetangga. Dan anak-anak jadi kocar-kacir, karena terpaksa berhenti bersekolah. Kerugian materiil dan nonmateriil itu diperkirakan bernilai tak kurang dari Rp 50 juta tiap orang. Perumnas dan tbc. Gugatan Sengkon dan Karta dianggap wajar oleh Albert Hasibuan, anggota DPR yang gigih mengusahakan pembebasan kedua orang itu. Ia sendiri tak turut menangani gugatan itu," karena lebih baik diurus pengacara lain." Saya, kata Albert, cukup menanganinya dalam porsi sebaai anggota DPR. Kuasa penggugat memakai pasal 1366 dan 1367 KUH Perdata, sebagai dasar gugatan. Pemerintah, kata Murtani, kini besar perhatiannya terhadap masalah hukum. Antara lain dengan dalla yang disediakan bagi bantuan hukum dan klinik hukum. "Bagi orang yang jelas terbukti tak bersalah, pemerintah pasti akan memberikan perhatian lebih besar," katanya bersemangat. Kalau pihaknya menang apakah tak berakibat para hakim lalu jadi takut-takut bila hendak menjatuhkan vonis? "Itu risiko," Murtani menjawab sendiri pertanyaannya. "Walau bagaimanapun hukum kan harus dijalankan." Karta pun yakin bakal menang, walau ia sendiri merasa yang dikabulkan tak sampai Rp 100 juta. "Saya kan sudah jelas tak bersalah. Masakan pemerintah mau menelantarkan saya," katanya. Ia kini jadi petugas keaanan di pasar Kranji, Bekasi, dengan gaji Rp 25 ribu/bulan, untuk menghidupi 2 istri dan 12 anaknya. Tiga orang anaknya yang masih di SD, terpaksa keluar. Sudah dua bulan ini pula Karta menunggak pembayaran sewa rumah Perumnas yang ditempatinya sejak beberapa bulan lalu. Keadaan Sengkon, meski cuma menanggung seorang istri dan 3 anak, tak jauh berbeda. Kios hadiah Pemda Bekasi, yang dibangun di muka rumahnya di Desa Jati Ranggon, kosong melompong. Di situ cuma ada beberapa stoples berisi makanan ringan dan beberapa botol minuman. "Modalnya nggak ada," tutur Sengkon yang kian payah dirongrong tbc. Hampir tiap hari ia batuk darah. Bila berjalan, mesti terbungkuk-bungkuk dan tak bisa cepat. "Kalau masih kuat bekerja, tak bakalan saya menuntut ganti rugi. Buat apa?" ujarnya sengit. Setelah rumah dan pekarangannya habis, harapannya memang tinggal ganti rugi yang diperjuangkan lewat gugatan itu. "Kalau ditolak apakah tidak berarti pemerintah membunuh saya pelan-pelan? " tanya Sengkon tersendat, karena terbatuk-batuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus