Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Tidak Perlu Bawa Bendera Lagi

Mawi menyerukan kepada umat Katolik agar ikut dalam pemilu '82. Seruan tersebut dituangkan dalam 'surat gembala' & dibacakan di semua gereja Katolik. Bagi yang berpolitik tidak boleh mengatas namakan agama.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Katolik supaya pada ikut Pemilu. Bagi sebagian orang, mungkin ini bukan berita. Tapi seruan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) ini terhitung penting. Jauhkan sikap masa bodoh, dan jangan menjadi penonton yang pasif"--seperti dikatakan F.X. Hadisumarto O.Carm, Ketua NAWI, kepada TEMPO. Amanat itu sendiri akan dituangkan dalam 'Surat Gembala' para uskup Indonesia mengenai Pemilu 1982, yang akan dibacakan di semua gereja Katolik awal Januari mendatang. Itu memang bisa dianggap warna baru. 'Surat Gembala' menjelang Pemilu 1977, sebagai perbandingan, tidak secara jelas menganjurkan orang Katolik ikut memilih. Anjuran di situ ditujukan kepada umat yang akan ikut memilih dan bukan untuk memilih. Kini, bahkan kaum mu da yang baru pertama kali akan ikut menyoblos, secara khusus dinasihati. "Jauhkan sikap acuh tak acuh," seperti dikatakan Ketua MAWl. "Dengan penuh semangat dan kesadaran, nyatakan pendapat kalian dengan memberikan suara." Menurut sang uskup, amanat kepada kaum muda dalam masalah ini memang belumada diberikan oleh golongan lain. Adapun pihak mana yang akan dicoblos, itu terserah. Asal, pihak tersebut menurut pertimbangan dan penilaian akan memperjuangkan dan menjamin kepentingan sera kesejahteraan umum." Sejak tampilnya Uskup Hadisumarto. yang baru 49 tahun, menggantikan Kardinal Yustinus Darmoyuwono sebagai Ketua MAWI sejak 1979, sikap Gereja Katolik memang semakin jelas dalam hubungannya dengan negara. Selama periode Darmoyuwono (kebetulan salah seorang penandatangan "Pernyataan Sawito", tokoh kebatinan yang akhirnya diajukan ke pengadilan itu, yang seperti juga para penandatangan lain memberikan paraf "secara begitu saja", tanpa sadar maksud Sawito), persambungan para pemimpin Gereja dengan Pemerintah memang sering dikatakan kurang mesra. Pada periode itu juga, misalnya, 1914, empat puluhan pastor di Yogya menelan 'Pernyataan Keprihatinan' yang memantulkan keresahan di bawah. 'Bapak Pembangunan' Tapi lalu ada Pemilu 1977, ada bentuk-bentuk perkembangan lain. Ada pula Surat Edaran Menteri Agama mengenai penyelenggaraan perayaan hari-hari besar agama, misalnya. Sedang para imam, juga yang di Yogya atau di mana pun, sudah tentu bertindak berdasar, seperti yang disebut dalam amanat MAWI, 'kepentingan dan kesejahteraan umum' pada waktu-waktunya. Selesai rapat tahunan selama 10 hari 19 November lalu para uskup, termasuk Kardinal Darmoyuwono, menemui Presiden di Istana Merdeka. Kecuali mendukung negara berdasarkan Pancasila, Gereja juga bersedia berperanan lebih besar lagi -- yaitu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam hidup kenegaraan dan "merakyatkan negara". Tapi mengapa tidak ada, misalnya, usulan kepada MPR agar memilih kembali Presiden Soeharto, atau memberi gelar Bapak Pembangunan? "Secara pribadi, kami dan juga sebagian para uskup tidak mempunyai keberatan apa-apa," jawab Ketua MAWI. "Tapi, para uskup tidak mempunyai hak mewakili keputusan umat." Itu bukan sekedar kebijaksanaan. Memang sudah aturannya - seperti juga bukan tugas MAWI menentukan kehidupan politik umat. "Umat, baik perorangan maupun kelompok," kata Uskup, "hendaknya tidak berpolitik atas nama Gereja." Gereja adalah wadah keagamaan, dan pelaksanaan keagamaan tidak dilakukan melalui sarana politis dalam percaturan kekuasaan. "Jadi Gereja sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan orang Katolik yang di golongan atau partai politik." Dengan kata lain: umat, dalarn statusnya sebagai insan politik, tidak perlu lagi membawa bendera Katolik. Apa karena tidak ada lagi Partai Katolik? Partai Katolik memang bisa memanfaatkan faktor keagamaan sebagai penghimpun anggoa. Dan itu dilakukan juga di kalangan Partai Katolik kita di masa lalu. Siapa yar g beragama Katolik, seharusnya masuk Partai Katolik. Logis. Tetapi kebijaksanaan terakhir itulah yang justru diyakini lebih tepat dengan isi Konsili Vatikan 11 tentang hubungan gereja dan negara--seandainya pun sekarang ini ada Partai Katolik. F.X. Hadisumarto, bekas teman sekelas kolumnis dan pastor J.B. Mangunwijaya itu, menjadi uskup Malang sejak 1973. Kelihatan tidak terlalu mementingkan penampilan. Kalung salibnya yang bukan dari emas bertengger pada jubah putihnya yang dari katun tebal. Di tempat tinggalnya yang sekaligus kantornya, kornpleks gereja Katedral, Malang, tidak terlihat ruang rapat dan kesibukan staf yang membantu. Ruang kerjanya berukuran 5 x 6 meter. Di ruang tamu yang luas, kecuali dipajang gambar Presiden, Wakil Presiden dan Paus Johanes Paulus II, juga terpasang foto Mgr. Albers O. Carm almarhum, uskup Malang yang digantikannya, duduk diapit Presiden dan Ny. Tien Soeharto. Langkah pertama setelah terpilih sebagai Ketua MAWI 1979 ialah menggiatkan proses Indonesianisasi. "Proses Indonesianisasi sebenarnya sudah dipersiapkan sejak sebelum Perang Dunia II," kata Hadisumarto. Buktinya, hampir tiap keuskupan telah mendirikan seminari, sekolah untuk mendidik calon pastor pribumi -- walaupun rencana untuk Jakarta masih belum terwujud. Apalagi setelah pemerintah menganjurkan Indonesianisasi. Namun proses tersebut memang tidak terlalu lancar. Misalnya saja permohonan menjadi warganegara Indonesia dari 500 tenaga asing dalam tiga tahun terakhir. Bar bisa diluluskan tidak lebih dari 50 orang. Bagi kami, Indonesianisasi makin cepat makin baik," kata Ketua MAWI. Rekan-rekannya para uskup sebagian besar sudah pribumi. Juga beberapa tempat penting seperti wakil uskup, rektor seminari, rektor perguruan tinggi atau lainnya. "Dengan atau tanpa permintaan pemerintah, kami pasti segera melaksanakan Indonesianisasi," katanya. Kurang Agresif Memang ada pencapaian usaha Indnesianisasi dari segi yang lebih rohaniah, seperti adaptasi budaya setempat dalam penyelenggaraan misa, misalnya. Namun yang dirasakan lebih penting agaknya memang Indonesianisasi Formal seperti soal kewarganegaraan itu: Gereja ini terhitung masih yang paling banyak memakai tenaga asing. Dan dalam keadaan itu, di segi lain terlihat kurangnya jumlah pastor. "Rata-rata seorang pastor harus melayani 4.000 orang," kata uskup yang pernah belajar di Roma dan Yerusalem tahun 1960-an itu. Cara yang diambil untuk mengatasinya: sejak dasawarsa lalu, umat diikutsertakan membantu pastor dalam ibadat: memimpin upacara kematian, berkhotbah, membaca Kitab Suci, membaca doa, mengajar, misalnya. Dalam pada itu, Gereja Katolik sejak dasawarsa terakhir juga terhitung kurang agresif berda'wah. Kebetulan pula "masa panen" orang yang ramai-ramai memeluk Katolik seperti di tahun 60-an, tidak datang lagi. Tetapi menurut Ketua MAWI: "Dasar utamanya, kami menghormati agama lain. Kami yakin, semua orang akan diselamatkan." Itu berarti: tak hanya orang Katolik yang bisa selamat di akhirat. Penafsiran itu--yang berbeda dengan pandangan selama ini, bahwa "di luar Gereja tak ada keselamatan" -- juga ditarik dari Konsili Vatikan II. Tentu saja tak hanya karena faktor itu bila usaha da'wah sekali waktu lebih gencar dan lain kali terlihat kalem. Tapi harapan Ketua MAWI ialah, "Dasar-dasar kerukunan beragama yang sudah baik ini jangan sampai rusak."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus