ORANG Katolik supaya pada ikut Pemilu. Bagi sebagian orang,
mungkin ini bukan berita. Tapi seruan Majelis Agung Wali Gereja
Indonesia (MAWI) ini terhitung penting. Jauhkan sikap masa
bodoh, dan jangan menjadi penonton yang pasif"--seperti
dikatakan F.X. Hadisumarto O.Carm, Ketua NAWI, kepada TEMPO.
Amanat itu sendiri akan dituangkan dalam 'Surat Gembala' para
uskup Indonesia mengenai Pemilu 1982, yang akan dibacakan di
semua gereja Katolik awal Januari mendatang.
Itu memang bisa dianggap warna baru. 'Surat Gembala' menjelang
Pemilu 1977, sebagai perbandingan, tidak secara jelas
menganjurkan orang Katolik ikut memilih. Anjuran di situ
ditujukan kepada umat yang akan ikut memilih dan bukan untuk
memilih.
Kini, bahkan kaum mu da yang baru pertama kali akan ikut
menyoblos, secara khusus dinasihati.
"Jauhkan sikap acuh tak acuh," seperti dikatakan Ketua MAWl.
"Dengan penuh semangat dan kesadaran, nyatakan pendapat kalian
dengan memberikan suara." Menurut sang uskup, amanat kepada kaum
muda dalam masalah ini memang belumada diberikan oleh golongan
lain.
Adapun pihak mana yang akan dicoblos, itu terserah. Asal, pihak
tersebut menurut pertimbangan dan penilaian akan memperjuangkan
dan menjamin kepentingan sera kesejahteraan umum."
Sejak tampilnya Uskup Hadisumarto. yang baru 49 tahun,
menggantikan Kardinal Yustinus Darmoyuwono sebagai Ketua MAWI
sejak 1979, sikap Gereja Katolik memang semakin jelas dalam
hubungannya dengan negara. Selama periode Darmoyuwono (kebetulan
salah seorang penandatangan "Pernyataan Sawito", tokoh kebatinan
yang akhirnya diajukan ke pengadilan itu, yang seperti juga para
penandatangan lain memberikan paraf "secara begitu saja", tanpa
sadar maksud Sawito), persambungan para pemimpin Gereja dengan
Pemerintah memang sering dikatakan kurang mesra. Pada periode
itu juga, misalnya, 1914, empat puluhan pastor di Yogya menelan
'Pernyataan Keprihatinan' yang memantulkan keresahan di bawah.
'Bapak Pembangunan'
Tapi lalu ada Pemilu 1977, ada bentuk-bentuk perkembangan lain.
Ada pula Surat Edaran Menteri Agama mengenai penyelenggaraan
perayaan hari-hari besar agama, misalnya. Sedang para imam, juga
yang di Yogya atau di mana pun, sudah tentu bertindak berdasar,
seperti yang disebut dalam amanat MAWI, 'kepentingan dan
kesejahteraan umum' pada waktu-waktunya.
Selesai rapat tahunan selama 10 hari 19 November lalu para
uskup, termasuk Kardinal Darmoyuwono, menemui Presiden di Istana
Merdeka.
Kecuali mendukung negara berdasarkan Pancasila, Gereja juga
bersedia berperanan lebih besar lagi -- yaitu meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam hidup kenegaraan dan "merakyatkan
negara". Tapi mengapa tidak ada, misalnya, usulan kepada MPR
agar memilih kembali Presiden Soeharto, atau memberi gelar Bapak
Pembangunan? "Secara pribadi, kami dan juga sebagian para uskup
tidak mempunyai keberatan apa-apa," jawab Ketua MAWI. "Tapi,
para uskup tidak mempunyai hak mewakili keputusan umat."
Itu bukan sekedar kebijaksanaan. Memang sudah aturannya -
seperti juga bukan tugas MAWI menentukan kehidupan politik umat.
"Umat, baik perorangan maupun kelompok," kata Uskup, "hendaknya
tidak berpolitik atas nama Gereja." Gereja adalah wadah
keagamaan, dan pelaksanaan keagamaan tidak dilakukan melalui
sarana politis dalam percaturan kekuasaan. "Jadi Gereja sama
sekali tidak mempunyai hubungan dengan orang Katolik yang di
golongan atau partai politik." Dengan kata lain: umat, dalarn
statusnya sebagai insan politik, tidak perlu lagi membawa
bendera Katolik. Apa karena tidak ada lagi Partai Katolik?
Partai Katolik memang bisa memanfaatkan faktor keagamaan sebagai
penghimpun anggoa. Dan itu dilakukan juga di kalangan Partai
Katolik kita di masa lalu. Siapa yar g beragama Katolik,
seharusnya masuk Partai Katolik. Logis.
Tetapi kebijaksanaan terakhir itulah yang justru diyakini lebih
tepat dengan isi Konsili Vatikan 11 tentang hubungan gereja dan
negara--seandainya pun sekarang ini ada Partai Katolik.
F.X. Hadisumarto, bekas teman sekelas kolumnis dan pastor J.B.
Mangunwijaya itu, menjadi uskup Malang sejak 1973. Kelihatan
tidak terlalu mementingkan penampilan. Kalung salibnya yang
bukan dari emas bertengger pada jubah putihnya yang dari katun
tebal. Di tempat tinggalnya yang sekaligus kantornya, kornpleks
gereja Katedral, Malang, tidak terlihat ruang rapat dan
kesibukan staf yang membantu. Ruang kerjanya berukuran 5 x 6
meter. Di ruang tamu yang luas, kecuali dipajang gambar
Presiden, Wakil Presiden dan Paus Johanes Paulus II, juga
terpasang foto Mgr. Albers O. Carm almarhum, uskup Malang yang
digantikannya, duduk diapit Presiden dan Ny. Tien Soeharto.
Langkah pertama setelah terpilih sebagai Ketua MAWI 1979 ialah
menggiatkan proses Indonesianisasi.
"Proses Indonesianisasi sebenarnya sudah dipersiapkan sejak
sebelum Perang Dunia II," kata Hadisumarto. Buktinya, hampir
tiap keuskupan telah mendirikan seminari, sekolah untuk mendidik
calon pastor pribumi -- walaupun rencana untuk Jakarta masih
belum terwujud. Apalagi setelah pemerintah menganjurkan
Indonesianisasi.
Namun proses tersebut memang tidak terlalu lancar. Misalnya saja
permohonan menjadi warganegara Indonesia dari 500 tenaga asing
dalam tiga tahun terakhir. Bar bisa diluluskan tidak lebih dari
50 orang. Bagi kami, Indonesianisasi makin cepat makin baik,"
kata Ketua MAWI. Rekan-rekannya para uskup sebagian besar sudah
pribumi. Juga beberapa tempat penting seperti wakil uskup,
rektor seminari, rektor perguruan tinggi atau lainnya. "Dengan
atau tanpa permintaan pemerintah, kami pasti segera melaksanakan
Indonesianisasi," katanya.
Kurang Agresif
Memang ada pencapaian usaha Indnesianisasi dari segi yang lebih
rohaniah, seperti adaptasi budaya setempat dalam penyelenggaraan
misa, misalnya. Namun yang dirasakan lebih penting agaknya
memang Indonesianisasi Formal seperti soal kewarganegaraan itu:
Gereja ini terhitung masih yang paling banyak memakai tenaga
asing.
Dan dalam keadaan itu, di segi lain terlihat kurangnya jumlah
pastor. "Rata-rata seorang pastor harus melayani 4.000 orang,"
kata uskup yang pernah belajar di Roma dan Yerusalem tahun
1960-an itu. Cara yang diambil untuk mengatasinya: sejak
dasawarsa lalu, umat diikutsertakan membantu pastor dalam
ibadat: memimpin upacara kematian, berkhotbah, membaca Kitab
Suci, membaca doa, mengajar, misalnya.
Dalam pada itu, Gereja Katolik sejak dasawarsa terakhir juga
terhitung kurang agresif berda'wah. Kebetulan pula "masa panen"
orang yang ramai-ramai memeluk Katolik seperti di tahun 60-an,
tidak datang lagi. Tetapi menurut Ketua MAWI: "Dasar utamanya,
kami menghormati agama lain. Kami yakin, semua orang akan
diselamatkan."
Itu berarti: tak hanya orang Katolik yang bisa selamat di
akhirat. Penafsiran itu--yang berbeda dengan pandangan selama
ini, bahwa "di luar Gereja tak ada keselamatan" -- juga ditarik
dari Konsili Vatikan II.
Tentu saja tak hanya karena faktor itu bila usaha da'wah sekali
waktu lebih gencar dan lain kali terlihat kalem. Tapi harapan
Ketua MAWI ialah, "Dasar-dasar kerukunan beragama yang sudah
baik ini jangan sampai rusak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini