MOCHAMAD Djarot Taftoyani, yang dituduh membunuh mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, Wahyu Basuki, Senin pekan lalu dijatuhi hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara oleh Mahkamah Militer Yogyakarta-Surakarta. Tapi, berbeda dengan tuntutan Oditur, Ketua Majelis Hakim Militer, Letnan Kolonel (L) Kaslar, tidak memecat Djarot dari dinas militer. "Kami tidak perlu lagi menjatuhkan hukuman tambahan itu, sebab terhukum sudah diluardinaskan," ujar Kaslar kepada TEMPO. Ternyata, sebelum perkara pembunuhan itu dibawa ke Mahkamah Militer, Bhayangkara Satu Djarot telah ditindak secara administratif oleh Kapolri, melalui Kapolda Jawa Tengah, J.F.R. Montolalu, 1 September lalu. Hukuman administratif berbentuk "diluardinaskan" itu, menurut Kaslar, "prinsipnya sama dengan pemecatan." Tindakan atasan yang mendahului mahkamah militer seperti itu, menurut sebuah sumber di Kepolisian Jawa Tengah, terpaksa dilakukan terhadap Djarot. Sebab, perbuatannya dinilai sangat tercela. "Polisi, yang seharusnya melindungi rakyat, justru membunuh," tambah sumber itu. Djarot, 31, ayah dua anak, naik darah dan menikam Wahyu Basuki dengan celurit, hanya karena soal wanita. Anggota reserse Polri ltu menemukan pacarnya, Indri, seorang wanita panggilan, sedang bersama Wahyu di Wisma Wisata, di Jalan Kaliurang, dinihari 14 Juli 1983. Apa pun motifnya, Djarot diluardinaskan sebelum disidangkan, yang berarti pula ia tidak berhak lagi menerima gaji serta tunjangan. Tindakan atasan itu membuatnya mengenai frustrasi selama ditahan Denpom ABRI, Yogyakarta, dan kemudian ia melarikan diri ke Jakarta. "Saya melarikan diri untuk menuntut segera diadili dan bukan lari dari tanggung jawab," kata Djarot kepada TEMPO di LBH Jakarta, Maret lalu (TEMPO 7 April, Kriminalitas). Sebenarnya, menurut Kaslar, Djarot tidak perlu merasa frustrasi akibat tindakan administratif itu yang dijatuhkan mendahului mahkamah militer. Sebab, kata Kaslar tindakan itu lazim di lingkungan ABRI dan sah. Berdasarkan undang-undang no. 66 tahun 1958, menurut Kaslar, "atasan yang berhak menghukum" berwenang "mendinasluarkan" seorang anggota ABRI yang melakukan perbuatan tercela, walau belum disidangkan. "Kewenangan administratif itu hanya dikenal di lingkungan militer, dan mahkamah tidak berwenang menilainya," tutur Kaslar. Di lingkungan kepolisian, tindakan seperti yang diterima Djarot itu sudah sering terjadi. Oktober lalu, misalnya, Komandan Poltabes Bandung, Kolonel Sjafuan, dalam upacara resmi mencopot langsung tanda pangkat empat orang anak buahnya, sebelum mereka diajukan ke mahkamah militer. Keempat anggota Polri itu, Kopda Aceng, Kopda Kuswara, Kopda Hery, dan Bharada Komar, ditindak karena terbukti memperkosa seorang ibu rumah tangga (TEMPO, 29 Oktober 1983). Tindakan serupa itu tidak dikenal di lingkungan pegawai negeri sipil. Seorang pegawai baru bisa dipecat atasannya bila sudah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan pasti. Tindakan administratif, mendahului pengadilan, hanya bisa dikenakan dalam bentuk "diberhentikan dari jabatan". Sebaliknya, hakim juga tidak berwenang menjatuhkan hukuman tambahan, berupa pemecatan sebagai pegawai negeri. Sebab itu, persoalan timbul ketika Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Bismar Siregar, menghukum seorang guru, Manginar Manulang, dengan hukuman 3 tahun penjara dan dipecat dari pekerjaannya. Karena jabatan guru melekat pada status pegawai negeri, hukuman itu berarti pula sebagai pemecatan dari pegawai negeri. Putusan Bismar itu mendapat reaksi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. "Sebenarnya, yang berhak memecat pegawai negeri adalah pimpinannya. Namun, tindakan hakim itu merupakan saran bagi departemen saya untuk memecat guru itu," ujar Nugroho Notosusanto ketika itu (TEMPO, 31 Desember 1983).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini