Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Wiridan dari dusun cirebon

Pesantren buntet, Cirebon, sebagai pusat tarekat tijaniyah yang dipermasalahkan pada kongres ke-6 ahli tarekat NU pada muktamar NU ke-27 di Situbondo. (ag)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESANTREN Buntet, yang kini dipimpin K. H. Mustamid Abbas, terletak di Kelurahan Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura. Jaraknya dari Kota Cirebon sekitar 12 km, atau sekitar 4 km dari jalan raya Ckeribon - Tegal. Kompleks itu dihuni beberapa orang kiai yang masih punya hubungan famili dan sekitar 3.000 santri putra dan putri. Di tengah ada sebuah masjid bangunan kuno, agaknya mustaka-nya berbentuk joglo. Jika salat Jumat tiba, masjid tak dapat menampung seluruh jemaah. Mereka yang tak kebagian tempat menggelar sajadah atau tikar di bangunan-bangunan sekitar masjid: sekolah, kantor, barak para santri. Di bagian barat laut kompleks, melintas rel KA Cirebon-Solo Balapan. Kompleks inilah yang disebut sebagai pusat Tarekat Tijaniyah. Padahai, tidak hanya Tijaniyah yang berkembang di sini. Tapi juga Svattariyah. Ayah Kiai Mustamid sendiri, Kiai Abbas, dahulu meminpin yang Syattariyah, sementara Tijaniyah diasuh Kiai Anas. Keduanya kakak beradik. Tijanivah, yang disebut berdasarkan nama pendirinva, Abbul 'Abbas Ahmad bin Muhammad At-Tijani (lahirdi 'Ain Madli, Aljazair, 1150 H., dan meninggal di Fez, Marokko, 1230 H. - tokoh peralihan abad XVIII--XIX M.), scbenarnva tak jauh beda dari tarekat lain. Meski begitu, "Tijaniyah barangkali yang paling banyak dipermasalahkan - dan tidak hanya di Indonesia." Itu kata Drs. H. Fahim Hawi, 36, sarjana syari'ah IAIN Yogvakarta. Orang Tijani dari generasi muda itu lalu menyebut bab sanad (mata rantai) tarekat ini Persoalannva: mungkinkah Syekh Tijani, yang hidup 12 abad sesudah Nabi, diajar langsung oleh Nabi, seperti yang dinyatakan ? Lalu Fahim, yang juga dosen agama pada scbuah sekolah tinggi swasta di Jakarta, menjawabnya sendiri dengan mengutip sebuah hadis. Sabda Nabi itu menyatakan, barang siapa bermimpi melihat beliau, ia benar-benar melihat Nabi - "karena setan tidak bisa meniru wajahku." Dan Syekh Tijani memang bermimpi, konon. Malahan, dalam mimpi itu ia di-talqin (diajari) tarekat itu oleh Nabi sendiri .... Fahim, yang menerima talqn tarekat dari ayahnya, K.H. Hawi (dan kiai ini menerimanya dari Kiai Anas, sang pelopor), juga membantah seolah-olah Tijaniyah memastikan semua anggotanya masuk surga bersama keluarga. Kitab Jaahirul Ma'ani dari Syekh Tijani sendiri menyebutkan, keluarga para pengikut memang akan masuk surga, tapi "hanya kalau meninggal dalam keadaan iman". Meski begitu, kata ayah dua anak ini, "Pengikut Tijanivah memang dijamin tak akan merasakan panasnya Padang Mahsyar." Dan inilah, katanya, yang sering disalahpahami orang luar - seakan-akan orang Tijani tak percaya adanya "padang perhimpunan umat manusia" di hari kiamat itu. K.H. Djunaedi Anas, 7ali mursyid Tijaniyah dan putra Kiai Anas. bisa menuturkan contoh lain keberatan orang kepada Tijaniyah. Katanya, ada satu ungkapan dalam bacaan selawat mereka, yang disebut Jauharatul Kamal, yang berbunyi: 'ala 'ainir rahmatir Kabbaniyah. Artinya: "kepada mata air rahmat ketuhanan". Yang dimaksud adalah Nabi. Tapi ungkapan itu juga bisa berarti: "kepada esensi rahmat Tuhan". Dengan cara memberi makna yang lebih dekat kepada Zat Allah Sendiri, kalimat itu bisa disangka merupakan ungkapan doa selawat kepada Allah. "Dan itu sesat," kata orang, lalu. Sore itu - Jumat pekan lalu - Kiai Djunaedi menerangkan praktek wirid bagi para pengikut yang dibagi menjadi tingkat lazimah dan tingkat lebih tinggi, qeadzimah. Mereka ini, sebagaimana pada semua tarekat, masuk setelah berbai'at, bersedia tunduk penuh kepada guru, mempraktekkan zikir pagi dan sore, untuk seumur hidup. Umat sudah siap di Masjid Al-lkhlas itu - sekitar 70 orang, rata-rata berumur 40-an, dan hanya kira-kira 15 orang pria. Kiai menyambar mik. Dan mulailah berkumandang suara sambung-menyambung, bersemangat, jalin-menjalin, mata para umat terbuka-tertutup, tubuh bergoyang mengikuti irama tekanan. Di jalan raya Cirebon - Ciledug, 2 km dari Desa Sidamulya, barulah getaran itu menghilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus