Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menang <font color=#FF9900>Berkat Vonis Rem</font>

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis majalah Tempo bersalah. Pemberitaan tentang dugaan penyelewengan pajak PT Asian Agri, salah satu anak perusahaan milik Sukanto Tanoto, dianggap mencemarkan nama baik sang taipan. Tempo meminta Komisi Yudisial memeriksa para hakim yang memutus kasus tersebut.

15 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN itu berlangsung di ruang rapat Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas pada Kamis pekan lalu. Tamu yang hadir Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad dan Corporate Chief Editor Tempo Bambang Harymurti. Keduanya datang untuk mengadukan majelis hakim yang menjatuhkan vonis kepada Tempo dua hari sebelumnya. Keduanya didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers.

Kepada Ketua Komisi, Toriq membeberkan sejumlah kejanggalan pertimbangan hukum yang dijadikan acuan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Anggota Komisi yang lain, Mustafa Abdullah, Chatamarrasjid, Soekotjo Soeparto, dan Zainal Arifin, menyimak dengan cermat.

Menurut Toriq, putusan hakim yang menyatakan Tempo melakukan pencemaran nama baik terhadap Sukanto Tanoto, pemilik Grup Raja Garuda Mas, keliru. ”Fakta yang dipakai sebagai landasan putusan sudah salah sejak awal,” ujarnya. Misalnya, hakim menyebut Tempo tidak melayani hak jawab PT Asian Agri selama satu tahun. Artikel tentang dugaan penyelewengan pajak Asian Agri terbit pada edisi 15 Januari 2007. ”Asian Agri baru mengajukan hak jawab setelah sebelas bulan berita itu turun,” Toriq menegaskan.

Pemimpin redaksi itu menyoroti putusan hakim yang menyatakan pemberitaan Tempo melanggar asas praduga tak bersalah lantaran kasus ini belum punya kekuatan hukum tetap. Menurut Toriq, pendapat seperti ini berbahaya karena, jika demikian, pers tidak dapat memberitakan kasus korupsi sebelum dinyatakan berkekuatan hukum tetap. Mustafa Abdullah sependapat. ”Vonis itu membuktikan majelis hakim tak paham Undang-Undang Pers,” ujarnya.

Komisi Yudisial akan melakukan eksaminasi terhadap putusan majelis hakim yang menghukum Tempo. ”Begitu ada berkas putusan, kami akan melakukan telaah secara komprehensif. Ini pelanggaran serius,” kata Busyro.

l l l

GUGATAN Asian Agri muncul setelah Tempo menurunkan laporan utama dugaan penggelapan pajak Rp 1,3 triliun yang dilakukan anak perusahaan Raja Garuda Mas tersebut. Wartawan Tempo, Metta Dharmasaputra, mendapat data penyelewengan pajak dari Vincentius Amin Sutanto. Dia mantan pengawas keuangan Asian Agri yang kabur ke Singapura setelah gagal menjebol US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) milik perusahaan. Saat itu Vincent hanya berhasil memindahkan uang senilai Rp 200 juta ke rekeningnya.

Berdasarkan data itu, Tempo menelusuri kecurangan Asian Agri. Pihak Asian Agri juga sempat datang ke kantor majalah ini. Belakangan, Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri kasus tersebut. Pada Desember 2007, Vincent divonis 11 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dia dinyatakan terbukti melakukan pencucian uang.

Setelah setahun beredar di pasaran, barulah artikel Tempo tersebut membikin Asian Agri meradang. Pengacara perusahaan sawit itu, Hinca Panjaitan, menuding berita itu tidak berdasar dan mencemarkan Asian Agri serta Sukanto Tanoto.

Hinca pun bergerak. Pada September 2007, ia mengirim surat ke Dewan Pers. Dua bulan kemudian, ia mengirim somasi plus hak jawab dan hak tolak ke Tempo. Hak jawab itu dimuat. Tapi Asian Agri memutuskan membawa kasus ini lebih jauh. Perusahaan tersebut menggugat Toriq Hadad dan majalah Tempo ke pengadilan. Tuntutannya: ganti rugi materiil Rp 500 juta dan imateriil Rp 5 miliar.

Upaya mediasi yang diperintahkan pengadilan tak membawa hasil. Pada Juni 2008, Asian Agri mencabut proses mediasi di Dewan Pers. ”Padahal Dewan sudah membuat draf penyelesaian yang telah diterima Tempo,” ujar anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi.

Di pengadilan, Lembaga Bantuan Hukum Pers, kuasa hukum Tempo, menghadirkan sejumlah saksi ahli untuk mendukung kebenaran beritanya. Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Khaidir Ramli, misalnya, menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi memang tengah menyelidiki dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri. Hal yang sama dinyatakan Hendrik Tumbur dari Direktorat Jenderal Pajak.

Adapun pakar pers Atmakusumah Astraatmadja menyatakan tak ada yang salah dalam pemberitaan Tempo. ”Isi laporan itu dugaan penyelewengan, dan memang tugas pers membongkar hal-hal demikian,” kata mantan Ketua Dewan Pers ini. Dari segi jurnalistik, Atmakusumah melihat tidak ada yang salah. Penulisan berita di Tempo, ujarnya, sudah memenuhi unsur cover both sides, sudah berimbang.

Tapi keterangan para saksi tersebut disingkirkan majelis hakim. Menurut majelis hakim yang terdiri atas Maryana, Sulaiman, dan ketua Panusunan Harahap itu, Tempo terbukti melakukan penghinaan terhadap Asian Agri dan Sukanto Tanoto. Tempo, kata Panusunan, telah melanggar asas praduga tak bersalah. ”Padahal belum ada keputusan pengadilan yang tetap,” ujarnya.

Panusunan menuding Tempo melanggar kode etik jurnalistik lantaran hak jawab Asian Agri baru dimuat satu tahun kemudian. Pemuatan itu pun, ujar majelis hakim, tidak memadai karena dilakukan pada rubrik surat pembaca serta hanya terdiri atas beberapa alinea. Majelis hakim menyatakan dalam kasus ini Tempo bersalah. Selain mesti memasang iklan permintaan maaf di majalah Tempo, Koran Tempo, dan Kompas, Tempo diperintahkan membayar ganti rugi Rp 50 juta.

Begitu palu diketuk, sejumlah pengunjung menabur kembang di ruang sidang. ”Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjadi kuburan pers,” teriak seorang pengunjung. ”Hakim sama sekali tidak mengindahkan fakta dan keterangan saksi yang kami ajukan,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana. Tempo, ujarnya, menyatakan banding atas putusan tersebut.

Di pelataran pengadilan, sejumlah aktivis Komite Antipenghancuran Hutan Indonesia menyambut vonis tersebut dengan aksi teatrikal. Seorang aktivis mengenakan toga hakim, membawa palu, dan mulutnya tersumpal ”duit”. Di sebelahnya, beberapa orang, mengenakan topeng berwajah Sukanto Tanoto, tengah membagi-bagikan ”duit” pula.

Panusunan tak peduli dengan kecaman-kecaman tersebut. Ia menyatakan tak memiliki kepentingan dengan kasus tersebut. ”Biarin aja, EGP (emang gue pikirin). Mau menang, mau kalah, tidak ada urusan,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya. Ia menolak memberikan komentar terhadap putusan yang baru diketuknya.

l l l

Sejumlah pengamat pers menilai pertimbangan yang dipakai hakim memutus Tempo ini benar-benar kontroversial. Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, misalnya. Dia menganggap janggal pendapat hakim yang menyebut pemuatan hak jawab Asian Agri dalam surat pembaca Tempo tidak pantas dan tidak proporsional karena hanya beberapa alinea. ”Dimuat di mana pun bisa, termasuk di surat pembaca,” ujarnya.

Menurut dia, permohonan hak jawab Asian Agri sebenarnya sudah kedaluwarsa. ”Ketentuan Dewan Pers menyatakan permohonan hak jawab dikirimkan pihak yang berkeberatan maksimal dua bulan setelah berita dimuat,” ujarnya. Redaksi pun, ujar Abdullah, berhak menyunting hak jawab tersebut. ”Asal esensinya tidak hilang,” dia menambahkan.

Pendapat serupa dilontarkan pakar komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Ashadi Siregar. Menurut Ashadi, redaksi memiliki hak menyunting surat pembaca. ”Karena seluruhnya versi dia (pihak yang berkeberatan), redaksi boleh mengedit,” ujarnya kepada wartawan Tempo di Yogyakarta, Muhammad Saifulah.

Kecaman lain datang dari Aliansi Pembela Pasal 28, koalisi beberapa organisasi, antara lain Indonesia Corruption Watch, Yayasan Sains dan Estetika, PWI Reformasi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen. Aliansi itu menegaskan vonis pengadilan yang memerintahkan Tempo meminta maaf lewat media tidak ada dasar hukumnya. Melalui juru bicara Agus Sudibyo, Aliansi menekankan, vonis tersebut adalah cara lain membungkam pers. ”Majelis tidak mempertimbangkan media massa menerbitkan berita untuk kepentingan publik dan bukan kepentingan media itu,” ujarnya. Pekan-pekan ini, Aliansi berencana mendatangi Mahkamah Agung. Mereka akan meminta Mahkamah memeriksa trio hakim pemutus kasus Asian Agri versus Tempo itu.

Hinca Panjaitan menyebut vonis terhadap Tempo akan menjadi rem untuk kebebasan pers. ”Seperti rem truk, agar truk itu tidak terlalu kencang, tidak jatuh ke jurang atau menabrak orang,” katanya. ”Itu putusan yang bagus,” ujar pengacara Asian Agri tersebut. Di masa-masa sebelumnya, dia dikenal amat gencar mengkampanyekan Undang-Undang Pers sebagai undang-undang lex specialis.

L.R. Baskoro, Martha Silaban, Munawwaroh, Rina Widiastuti

Awalnya Berita, Lalu Gugatan

15 Januari 2007
Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007, dengan cover berjudul Akrobat Pajak?, berilustrasi gambar Sukanto Tanoto, menurunkan laporan utama tentang dugaan pajak yang dilakukan PT Asian Agri, anak perusahaan Grup Raja Garuda Mas milik taipan Sukanto Tanoto.

27 September 2007
PT Asian Agri melaporkan Tempo ke Dewan Pers.

5 November 2007
Dewan Pers mengeluarkan pernyataan tentang pengaduan PT Asian Agri mengenai liputan dugaan manipulasi pajak Asian Agri di majalah Tempo. Dewan berpendapat, laporan dugaan penggelapan pajak itu bukan lagi wilayah etika jurnalistik yang dapat diselesaikan Dewan Pers karena kasusnya sedang diproses hukum.

21 Desember 2007
Asian Agri mengajukan somasi, hak jawab, dan hak koreksi ke Tempo sepanjang sekitar 15 lembar.

27 Desember 2007
Tempo meminta pendapat dan pertimbangan Dewan Pers tentang hak jawab Asian Agri.

8 Januari 2008
Asian Agri mengajukan somasi, hak jawab, dan hak koreksi ke Tempo.

9 Januari 2008
Dewan Pers memberikan jawaban atas permintaan Tempo. Isinya: pers wajib melayani hak jawab sejauh materinya layak dan proporsional. Pelaksanaannya diserahkan ke media yang bersangkutan atau berdasarkan kesepakatan media dengan pihak yang menyampaikan hak jawab.

11 Januari 2008
Asian Agri mengajukan kembali somasi, hak jawab, dan hak koreksi.

14 Januari 2008
Majalah Tempo memuat hak jawab Asian Agri dalam rubrik Surat Pembaca.

15 Januari 2008
Asian Agri mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Asian minta ganti rugi materiil Rp 500 juta dan imateriil Rp 5 miliar serta permohonan maaf di sejumlah media massa.

27 Februari 2008
Sidang perdana digelar. Majelis hakim meminta Asian Agri dan Tempo melakukan mediasi di dalam maupun di luar pengadilan. Mediasi di luar pengadilan dilakukan melalui Dewan Pers.

14 April 2008
Mediasi di dalam pengadilan gagal.

17 April 2008
Dewan Pers menunjuk Wina Armada Sukardi dan Garin Nugroho menjadi mediator.

12 Mei 2008
Tempo menggugat balik Asian Agri karena dinilai melakukan perbuatan melawan hukum dan meminta majelis menolak seluruh permohonan gugatan.

13 Juni 2008
Dewan Pers mengundang Tempo dan Asian Agri membahas draf final hak jawab. Pihak Asian Agri tak datang.

18 Juni 2008
Asian Agri mencabut proses mediasi melalui Dewan Pers.

31 Juli 2008
Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Khaidir Ramli dan penyidik pajak Hendrik Tumbur bersaksi di pengadilan. Keduanya membenarkan lembaganya sedang menyelidiki dugaan penggelapan pajak Asian Agri.

25 Agustus 2008 dan 4 September 2008
Pembacaan putusan ditunda.

9 September 2008
Pembacaan putusan. Tempo dinyatakan bersalah.

Riny, sumber: Riset

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus