PENGUNJUNG sidang pembunuhan Pembantu Rektor I UPN (Universitas Pembangunan Nasional) Marhaenis, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis dua pekan lalu, tersentak mendengar pengakuan terdakwa, Wiwiek Pratiwi, 37 tahun, "istri" Almarhum, yang biasa dipanggil Tuti. "Saya disuruh membunuh oleh Pak Butar Butar," ujarnya tegas. Pak Butar Butar tidak lain dari Letkol.Pol. Soni Maruli Butar Butar, seorang pejabat penting di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yang disebut-sebut sebagai "suami kedua" Tuti. Padahal, selama ini, Tuti mengaku sebagai dalang pembunuhan "suami"-nya itu. Pelaku-pelakunya, katanya, adalah dua orang adik kandungnya, Serda. (Pol.) Sapto Prasetyo dan Serda. (Pol.) Siswoyo, dan seorang kenalannya, Machmud -- ketiganya diadili di persidangan terpisah. Alasannya semata-mata karena tak tahan akibat keganjilan perlakuan seksual Almarhum, yang konon sering memperlakukannya seperti binatang. Selama ini, nama Soni tak pernah disebutsebut, kecuali sebagai "suami" kedua Tuti. Sebab itu, mengagetkan ketika Tuti menyebut dalang pembunuhan itu sebenarnya Soni. "Entah kenapa, saya kok bisa lancar mengatakannya. Seolah-olah saya tidak takut lagi sekiranya ada orang yang menembak saya dari belakang," katanya. Sebelumnya, kata Tuti, ia takut nyawanya akan melayang bila membuka mulut. Karena takut pada Butar Butar pula, katanya, ia nekat menghabisi Marhaenis. "Saya menurut saja ketika disuruh Butar Butar, karena dia polisi," ujar Tuti. Soni mulai menjalin hubungan dengan Tuti sekitar dua belas tahun lalu, sewaktu pangkatnya masih letnan satu. Ketika itu Tuti, yang bertubuh montok dan berkulit kuning, sering "parkir" di bar di Hotel Sabang, Jakarta Pusat. Soni, yang telah beristri dan punya beberapa anak, konon tergila-gila pada Tuti, yang sudah berpisah dari suami pertama. Hubungan mereka, kendati tanpa nikah, menghasilkan dua orang anak. Tapi Tuti heran karena Soni, yang mengaku buruh kecil itu, tak juga mengawininya. Belakangan baru Tuti paham bahwa Soni ternyata perwira Polri, yang tak mungkin beristri dua. "Tapi saya terus menuntut, karena saya sudah mempunyai dua anak dari dia," katanya. Akhirnya, tahun 1980 Soni dan Tuti -- keduanya pemeluk Nasrani -- menikah secara Islam. Belakangan kehidupan ekonomi keluarga Soni-Tuti ini morat-marit. Tuti terpaksa mencari nafkah kembali. "Saya disuruh Soni bekerja di bar," katanya. Tepatnya di sebuah klub malam di kawasan Blora, Jakarta Pusat. Tiga bulan setelah Tuti bekerja, Soni terpaksa meninggalkannya karena mendapat tugas di Timor Timur. Di tempat kerjanya, Tuti yang suka berdandan menor itu berkenalan dengan Marhaenis. Singkatnya, Marhaenis -- bapak empat anak -- kemudian meminangnya. Wanita itu mengaku baru bersedia setelah Soni kembali dari Timor Timur dan mulai menggandeng perempuan lain. Tuti pun, 8 April 1984, menikah dengan Marhaenis secara "di bawah tangan". Padahal, Marhaenis ketika itu beristri, sementara Tuti berstatus istri Soni. Ternyata, tidak mudah bagi Tuti berpoliandri. Ia kesulitan dengan Marhaenis, yang konon menginginkan seks secara berlebihan. "Kalau saya tolak, saya dikajarnya," kata Tuti. Belakangan, yang membuat Tuti naik pitam adalah laporan putrinya -- dari suami pertama -- Sulistiyowati, 17 tahun, bahwa ia sering diganggu ayah tirinya itu. "Saya sakit hati," kata Tuti. Sementara itu, hubungannya dengan Soni tak pula berjalan baik. Mereka sering bertengkar. Lama-lama Tuti menceritakan hubungannya dengan Marhaenis, juga masalah yang dihadapinya dengan lelaki itu. Ketika itulah Soni menyuruhnya membunuh Marhaenis. "Sudah, habisi saja dia. Kalau tidak, nanti kalian berdua saya habisi," perintah Soni. Sepuluh hari kemudian, 21 September 1487, Marhaenis benar-benar dihabisi Tuti bersama komplotannya, yaitu kedua adiknya dan seorang kenalannya, Machmud. Pada pengakuan Tuti, Machmud bersedia lantaran punya utang padanya. Sementara itu, kedua adiknya itu, kabarnya, setuju karena berutang budi pada Soni. Konon, kedua orang itu bisa masuk menjadi anggota Polri berkat Soni, "kakak ipar" mereka. Mayat Marhaenis yang dibuang setelah "dikarungi", ditemukan penduduk diWarung Kiara, Sukabumi, dua hari setelah pembunuhan terjadi. Pada hari itu, sebenarnya Tuti tengah melapor pada Soni. "Sudah beres," katanya sambil menyampaikan kekuatirannya akan diusut polisi. Tapi Soni menenangkannya. "Ah, saya 'kan polisi. Kenapa harus takut? Tidak mungkin ketahuan," jawab Soni seperti dikatakan Tuti. Ternyata, seminggu kemudian Tuti dicari polisi. "Saya lalu disuruh Soni pergi dengan membawa anak-anak," tuturnya. Sebelum ia benar-benar ditangkap di tempat persembunyiannya, di Trenggalek, Jawa Timur, katanya, Soni masih sempat berjanji akan membantunya. Nyatanya, janji Soni cuma di mulut. Setelah sembilan bulan meringkuk di tahanan, Tuti sadar. "Rupanya, saya disuruh membunuh agar masuk penjara, dan dia bisa bebas. Dia merasa jabatannya terancam karena saya," tutur Tuti, tersendat-sendat menahan tangis. Selama ia di tahanan, katanya, Soni selain tak pernah menjenguknya juga menelantarkan kedua anaknya. Sebab itu, ia mengakui keterlibatan Soni dalam kasus itu. "Apa boleh buat, sekarang saya sudah pasrah," katanya lebih lanjut. Soni, ketika ditemui TEMPO di kantornya membantah semua cerita Tuti itu. "Saya 'kan polisi, tak goblok menyuruh dia membunuh orang. Tak mungkin itu," katanya. Lelaki berusia 50 tahun, bertubuh sedang itu juga mengelak ketika ditanya hubungannya dengan Tuti. "Ah, itu 'kan dulu. Sekarang tidak," ujarnya. Istri resmi Soni malah kaget mendengar suaminya dilibatkan dalam kasus pembunuhan Marhaenis. "Lho, apa itu benar? Saya kok tidak pernah mendengar sama sekali," katanya. Bahkan ia sama sekali tidak mengenal Tuti. "Mungkin orang itu sudah frustrasi dan melibatkan nama Bapak. Saya yakin, Hapak tidak berbuat begitu. Bapak itu orangnya pendiam dan baik," katanya. Nasib Soni selanjutnya belum ketahuan. Tapi pembela Tuti, Palmer Situmorang, bersikeras untuk mengajukan Soni ke muka hukum. "Pengakuan Tuti merupakan bukti kuat keterlibatan Butar Butar," katanya. Selama ini, kata Palmer, Soni bisa bebas karena penyidik rikuh memeriksanya. "Ia bisa lolos karena bawahannya segan memeriksa dia yang perwira menengah," ujar Palmer. Bunga Soerawijaya, Muchsin Lubis (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini