INILAH sidang teristimewa dalam sejarah Pengadilan Negeri Medan. Terdakwanya advokat beken di kota itu dan juga bekas ketua PSMS, Syarief Siregar, 52 tahun. Tokoh yang juga duduk sebagai ketua di organisasi advokat Ikadin dan organisasi sarjana hukum Persahi itu diseret ke pengadilan dengan tuduhan menyuap sejumlah pemain PSMS Medan. Tak tanggung-tanggung pula, Syarief di persidangan Kamis lalu dan Senin pekan ini, dikawal 7 orang advokat, termasuk Ketua Umum DPP Ikadin, Harjono Tjitrosoebono dari Jakarta. Massa yang menghadiri persidangan pun luar biasa. Sebab itu, pengadilan terpaksa mewajibkan pengunjung memakai kartu tanda masuk, mirip tontonan sepak bola. Jaksa Havid Abdul Latif menuduh Syarief bersama Indra Alamsyah -- seorang eksportir karet -- pada 27 Mei hingga 4 Juni 1988 telah menyuap 11 pemain PSMS Medan dan dua orang pemain PSSI Sumatera Utara dalam turnamen Marah Halim Cup (MHC), sebesar Rp 22,5 juta. Penyuapan itu, kata jaksa, dilakukan Syarief dan Indra dengan cara yang cukup unik. Syarief meminta para pemain agar mengatur hasil akhir setiap pertandingan sesuai dengan pesanannya. Jika Syarief muncul di Stadion Teladan -- tempat MHC berlangsung -- dengan baju merah, berarti PSMS harus kalah. Tapi jika ia memakai baju kuning, berarti permainan harus seri. Sebaliknya, PSMS harus menang jika Syarief memakai baju putih. Bila ia meminta PSMS kalah, para pemain akan mendapat uang Rp 15 juta. Tarif Rp 10 juta untuk permainan seri, dan Rp 7,5 juta untuk pesanan menang. Praktek Syarief dan Indra itu dinilai jaksa sangat merugikan penonton sepak bola dan turnamen Marah Halim Cup, yang telah diakui federasi sepak bola dunia, FIFA. Maklum, jika diminta bermain kalah, PSMS yang dikenal fanatik itu bermain seadanya saja. Jika dakwaan jaksa terbukti, sesuai dengan Undang-Undang No. 11/1980, kedua terdakwa itu bisa dihukum maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Di sidang, Syarief menganggap undang-undang suap itu tidak tepat ditimpakan kepada dirinya. Sebab, pada pasal 2 undang-undang itu disebutkan "si tersuap" akibat suap itu akan berbuat "yang berlawanan dengan kewajibannya". Di penjelasan undang-undang, "kewajiban" itu dimaksudkan dengan yang sesuai kode etik profesi atau oleh organisasi "si tersuap" masing-masing. "PSSI dan PSMS tak punya kode etik profesi, karena memang bersifat amatir," katanya. Undang-undang yang khusus ditujukan untuk suap olahraga, menurut Syarief, tak pernah lahir. Padahal, rancangannya pernah disampaikan Menteri Kehakiman kepada Presiden RI pada 21 Februari 1980. Berdasarkan kaidah hukum, tak seorang pun bisa dihukum bila UU-nya belum ada. Artinya, dakwaan dengan UU No. 11/1980 itu tak bisa diterima. Jika toh UU ini dipakai, kata Syarief, ia sama sekali tak bisa terjerat. Tapi menurut sumber TEMPO, kejaksaan yakin betul UU No. 11/1980 relevan dengan kasus itu. Buktinya, seorang penyuap pemain sepak bola klub Galatama, Cahaya Kita, di Jakarta, Sun Kie alias Jimmy Sukisman, pada 1985 divonis hakim 1 tahun penjara. "Jadi, undang-undang ini yang paling afdol dipakai untuk memerangi suap," katanya yakin. Advokat Minang Warman, yang juga pengurus PSSI, mendukung pendapat ini. Menurut dia, yang penting pembuktian kasus itu, bukan UU-nya. "Jika saksi-saksi mengaku menerima suap, si penyuap pasti terkena hukuman," kata Minang. Persoalannya kini, adakah ke-13 saksi pemain sepak bola Medan itu akan mengaku menerima suap di persidangan. Di pemeriksaan, mereka memang mengaku, karena ada jaminan dari pengurus PSSI bahwa mereka tidak akan ikut jadi terdakwa. Ternyata, perkara mereka pun akan menyusul ke persidangan. Bersihar Lubis, Irwan E. Siregar & Affan Bey (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini