Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUDUK bergerombol dalam beberapa kelompok, para tahanan yang wajahnya kerap muncul di media tersebut larut dalam pembicaraan serius. Sesekali terdengar umpatan tertahan. "Mana surat itu?" seorang politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang jadi terpidana kasus suap cek pelawat menghampiri rekannya yang duduk di pojok ruang tunggu Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur. "Saya tidak pegang, hanya pernah lihat," jawab yang ditanya, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Fraksi Golkar. "Nanti malam ada bincang-bincang di televisi. Kita buka surat itu," kata politikus pertama itu lagi.
Selang beberapa menit, bekas petinggi Partai Persatuan Pembangunan yang juga terjerat kasus korupsi datang bergabung. Lelaki berumur itu langsung disambut kawan-kawannya. Dia ikut tenggelam dalam perbincangan serius dengan teman-temannya yang lebih muda.
Dari riungan berbeda, seorang pria berkumis tebal tiba-tiba berbicara lantang. "Jangan biarkan dia seperti orang bersih. Kita sebut saja dia terima uang." Suaranya menggema di ruangan seluas lapangan bola voli itu. Lelaki berkumis tersebut mendekam di tahanan ini karena kasus pemerasan dan pencucian uang.
Selasa siang pekan lalu itu, perbincangan para terpidana korupsi itu memang berporos pada satu tema. Mereka tidak terima atas keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menghentikan sementara pemberian pemotongan hukuman (remisi) dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Adapun surat yang dicari-cari itu adalah surat pembebasan bersyarat sejumlah politikus yang dibatalkan.
Gebrakan Kementerian Hukum yang menjadi bola panas itu ditendang Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana pada Ahad pekan lalu. Dalam jumpa pers, Denny mengatakan pihaknya tengah mengkaji ulang aturan tentang remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi dan terorisme. "Sambil kami mengkaji, pembebasan bersyarat tidak kami lakukan," kata Denny di kantornya. Penghentian itu mulai berlaku sejak Ahad pekan lalu itu juga.
Sebelum jumpa pers pagi itu, Denny memanggil Direktur Jenderal Pemasyarakatan Y. Ambeg Pramarta dan stafnya. Dalam pertemuan itu, Denny menjelaskan kebijakan Kementerian tidak mengobral remisi dan pembebasan bersyarat.
Tapi, pada saat itu pula, Denny mendapat laporan bahwa empat terpidana kasus cek suap lainnya telanjur dibebaskan dari Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Mereka adalah Baharuddin Aritonang, Asep Ruchimat Sudjana, Teuku Muhammad Nurlif, dan Reza Kamarullah. Menurut para anggota staf, mereka yang sudah dibebaskan tak bisa ditarik lagi. "Ya, sudahlah," kata Denny saat itu.
Denny lantas mendapat laporan sejumlah politikus lainnya segera bebas bersyarat. Nah, untuk koruptor yang belum sempat keluar itu, Denny memerintahkan mereka tidak dibebaskan.
Esok harinya, tiga politikus Golkar yang siap-siap hengkang dari Cipinang merasakan gebrakan petinggi baru Kementerian Hukum dan HAM ini. Mereka adalah Paskah Suzetta, Ahmad Hafiz Zawawi, dan Boby Suhardiman. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 itu dihukum 14 bulan penjara karena menerima cek suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda S. Goeltom.
Kepada Tempo, seorang narapidana yang mengetahui keseharian ketiga politikus itu bercerita, Paskah dan Hafiz telah mengantongi surat pembebasan bersyarat, yang mestinya berlaku 30 Oktober lalu. Adapun Boby hanya melihat surat pembebasan bersyarat, yang berlaku sejak 4 November.
Berbekal surat pembebasan bersyarat itu, mereka hakulyakin segera bisa bergabung dengan keluarga setelah sembilan bulan mendekam di penjara. Saking yakinnya, sehari sebelum jadwal kepulangan, Paskah dan Hafiz membagi-bagikan barang pribadi kepada tetangga kamar. Pakaian ganti, sabun mandi, dan sabun cuci mereka hibahkan kepada rekan-rekan mereka yang mendekam di hotel prodeo itu. Yang tersisa tinggal seperangkat pakaian untuk pulang. Setelah salat subuh Senin pekan lalu, Paskah dan Hafiz pun berpamitan kepada semua orang yang berada di masjid kompleks penjara. "Pakai acara cium pipi kanan-kiri segala," kata narapidana yang menolak disebutkan namanya itu.
Gagal bebas lima bulan lebih awal dari masa hukuman mereka, Paskah dan kawan-kawan tak tinggal diam. Mereka langsung menunjuk Otto Cornelis Kaligis sebagai pengacara. Tapi Kaligis tidak langsung memukul genderang perang. Dia memilih mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Kaligis meminta Amir meninjau ulang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Kaligis berharap surat pembebasan bersyarat atas ketiga kliennya tetap dijalankan.
Perlawanan tak hanya datang dari mereka yang batal bebas bersyarat. Para terpidana korupsi yang dikoordinasi bekas Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum mereka. Yusril pun menempuh jalan memutar. Dia tidak langsung mempersoalkan pembatalan pembebasan bersyarat atas beberapa politikus. Bekas Menteri Hukum dan Perundang-undangan ini memilih jalur uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung.
Yusril akan menggugat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut Yusril, peraturan yang memperberat syarat dan mekanisme pemberian remisi, pembebasan bersyarat, serta cuti bagi terpidana kasus korupsi bertentangan dengan undang-undang di atasnya. "Saya tidak mempersoalkan orang itu terpidana narkotik, teroris, atau korupsi. Mereka harus mendapat perlakuan yang sama," kata Yusril.
Suara bernada sokongan buat para terpidana korupsi juga datang dari para politikus di luar penjara. Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, misalnya, menyatakan narapidana yang sudah diputuskan bebas bersyarat harus dibebaskan. Ia meminta kebijakan moratorium tidak ditumpangi kepentingan politik. "Jangan karena asal-usulnya, penerima remisi ditimpa perintah lisan yang sewenang-wenang."
Mendapat serbuan semacam ini, Kamis pekan lalu Denny kembali membuat pernyataan pers. Kali ini Denny berusaha menjawab semua kritik yang diarahkan kepada kementeriannya.
Denny meluruskan istilah moratorium yang sempat ia lontarkan. Menurut Denny, yang berlaku bukan penghentian, melainkan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Buktinya, katanya, pembebasan bersyarat masih diberikan kepada Agus Condro Prayitno. Bekas politikus PDI Perjuangan ini diperlakukan berbeda karena membantu membongkar kasus suap cek pelawat. "Dia justice collaborator," ujar Denny.
Menurut Denny, korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Karena itu, perang terhadap korupsi harus dilakukan dengan cara luar biasa pula. Hukuman bagi para koruptor pun harus menimbulkan efek jera. Pengetatan atas hak-hak narapidana korupsi merupakan salah satu cara untuk menimbulkan efek jera itu. "Itu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat," ujar Denny.
Jajang Jamaludin, Widiarsi Agustina, Kartika Candra, Mahardika Satria Hadi
Mereka yang Antara Lain Menikmati Bebas Bersyarat
Aulia Pohan
(mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia)
Kasus: Korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia Rp 100 miliar.
Vonis: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis empat setengah tahun penjara. Di tingkat kasasi menjadi tiga tahun setelah juga diturunkan menjadi empat tahun di tingkat banding. Pada Agustus 2010 mendapat bebas bersyarat setelah menjalani masa hukuman satu tahun sembilan bulan penjara.
Artalyta Suryani
Kasus: Menyuap jaksa Urip Tri Gunawan Rp 6 miliar.
Vonis: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis lima tahun penjara, dan di tingkat peninjauan kembali menjadi empat setengah tahun penjara. Pada Januari 2011 mendapat bebas bersyarat setelah menjalani 2 tahun 9 bulan penjara
Abdullah Puteh
Kasus: Korupsi pengadaan helikopter MI-2.
Vonis: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum 10 tahun penjara. Pada November 2009 mendapat bebas bersyarat setelah menjalani hampir lima tahun penjara.
Bebas untuk Sang Koruptor
Bagi narapidana kasus korupsi, pembebasan bersyarat tidak berlaku otomatis. Syaratnya lebih ketat dibanding, misalnya, terpidana kriminal, antara lain mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Kepala kantor wilayah meneruskan usul dalam waktu 14 hari kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Kepala kantor wilayah memberitahukan penolakan dan alasannya kepada kepala lapas/rutan dalam waktu 14 hari.
Atas nama menteri, Direktur Jenderal menerbitkan keputusan tentang pembebasan bersyarat.
Direktur Jenderal memberitahukan penolakan dan alasannya kepada kepala lapas/rutan dalam waktu 14 hari.
Wewenang Pemberi Keputusan:
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Persyaratan
Pencabutan
Direktur Jenderal Pemasyarakatan bisa mencabut pembebasan bersyarat apabila narapidana:
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang perubahan PP No.32/1999 tentang Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Riset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo