Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andi Nurpati Tersudut

MACET di polisi, kasus pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang melibatkan bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati, justru makin benderang di pengadilan. Saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan surat-menyurat Nurpati dengan Masyhuri Hasan, terdakwa kasus ini, menyalahi prosedur.

Menurut Hafiz, surat ke KPU semestinya masuk melalui bagian tata usaha sebelum diserahkan kepada staf Ketua KPU dan akhirnya kepada Ketua KPU. Bila suratnya untuk komisioner, Hafiz akan mendisposisikannya kepada sekretariat jenderal dan biro hukum terlebih dulu sebelum sampai ke tangan komisioner. "Bila diterima langsung komisioner di suatu tempat, surat tetap harus masuk ke kesekretariatan."

Nurpati menyurati Mahkamah mempertanyakan putusan Mahkamah dalam sengketa kursi calon anggota legislatif Daerah Pemilihan I Sulawesi Selatan. Atas surat itu, Nurpati menerima balasan yang diketik Hasan dan dikirimkan lewat faksimile. Surat inilah yang kemudian diduga palsu. Nurpati berulang kali membantah keterlibatannya.


Surat di Akhir Pekan

BARU Masyhuri Hasan yang kena getahnya. Dituding memalsukan surat Mahkamah Konstitusi, calon hakim itu harus duduk di kursi pesakitan. Andi Nurpati, yang berinisiatif menyurati Hasan, justru selamat.

Jumat, 14 Agustus 2009
Zainal Arifin Hoesein, panitera Mahkamah Konstitusi, menerima surat Komisi Pemilihan Umum yang meminta penjelasan tentang putusan Mahkamah. Setelah melakukan konfirmasi surat itu kepada Andi Nurpati, Zainal mengonsep surat balas­an. Ma­syhuri Hasan lantas mengetiknya.

Sabtu, 15 Agustus 2009
Hasan masuk kantor dengan alasan mempersiapkan sidang untuk Senin. Hakim Arsyad Sanusi menghubungi panitera menanyakan ada-tidaknya kata "penambahan suara" pada konsep surat ke KPU.

Ahad, 16 Agustus 2009
Hasan ditelepon Neshawati, putri Arsyad, untuk datang ke apartemen Kemayoran membawa konsep surat yang tadi. Dewi Yasin Limpo ternyata ada di sana.

Senin, 17 Agustus 2009
Ketua Mahkamah Mahfud Md. meminta kepada Zainal agar isi surat ke KPU tetap sesuai dengan putusan Mahkamah. Malam harinya, surat diserahkan Hasan kepada Nurpati di studio Jak TV.

Surat Palsu

  • Bertanggal 14 Agustus 2009
  • Diterima Nurpati dari Hasan melalui faksimile
  • Berstempel Mahkamah, diteken Zainal Arifin Hoesein
  • Substansi berbeda dengan putusan Mahkamah. Ada kata "penambahan suara" untuk Dewi Yasin Limpo.

    Surat Asli

  • Bertanggal 17 Agustus 2009
  • Diantarkan Hasan langsung kepada Nurpati
  • Tak berstempel Mahkamah
  • Substansi sama dengan putusan Mahkamah, yang memenangkan Mestariani Habie.

    Komisi Yudisial Usut Kasus Sitorus

    Komisi Yudisial segera mengusut penanganan perkara sengketa lahan pengusaha Darianus Lungguk Sitorus. Dalam perkara itu, diduga ada suap kepada hakim untuk memenangkan peninjauan kembali di pengadilan tata usaha negara pada Mei 2008.

    Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori, Komisi memiliki kapasitas mengusut dalam ranah tugas pengawasan hakim. "Jadi selayaknya Komisi Yudisial menelusuri dugaan suap itu," kata Imam, Rabu pekan lalu.

    Dugaan suap ini bermula dari pengaduan Hendrik R.E. Assa ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Dalam laporan Hendrik itu, ada dokumen yang menyebutkan aliran uang Rp 141,3 miliar untuk "pengurusan masalah" di Mahkamah Agung.

    Sitorus didakwa menyalahgunakan hutan negara seluas 80 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit di Padang Lawas, Sumatera Utara. Secara pidana, Sitorus divonis delapan tahun penjara. Secara perdata, Sitorus memenangi gugatan terhadap Menteri Kehutanan.

    Bagir Manan, ketua majelis yang memvonis perkara pidana Sitorus, membantah terlibat dalam kasus ini. "Butuh nyali 3.000 persen bagi mereka yang berniat menyuap saya," kata bekas Ketua Mahkamah Agung itu. "Bagaimana mungkin saya menerima suap? Saya memvonisnya bersalah."

    KPK Bidik Wayan Koster

    KETERLIBATAN sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam korupsi proyek pengadaan laboratorium penelitian di lima perguruan tinggi negeri pada 2009-2010 mulai ditelisik Komisi Pemberantasan Korupsi. Rabu pekan lalu, KPK memeriksa I Wayan Koster, anggota Komisi Olahraga dan Pendidikan, yang diduga ikut menentukan alokasi dana untuk lima universitas tadi.

    Proyek laboratorium itu digarap perusahaan Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus suap proyek Wisma Atlet. Menurut Ketua KPK Busyro Muqoddas, nama Koster terlontar dari mulut Nazaruddin dalam pemeriksaan beberapa waktu lalu. "Dia menyebut sejumlah nama anggota DPR, sebagiannya anggota Badan Anggaran."

    Wayan Koster mengaku diminta menjelaskan soal kebijakan komisinya dalam mengalokasikan anggaran negara untuk proyek laboratorium. "Tak ada masalah dalam proyek ini," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

    Tetangga Marinir Dilanda Banjir

    TURAP di Kali Krukut yang kerap menyebabkan banjir di Pondok Labu, Jakarta Selatan, akhirnya dibongkar sendiri oleh Korps Marinir. Pembongkaran ini dilakukan setelah permukiman di belakang markas tentara itu kembali digenangi air setinggi 1,5 meter pada pekan lalu.

    Sebelum dibongkar, turap dan gorong-gorong yang dibangun Marinir itu mempersempit kali hingga lebarnya tinggal tiga meter. Padahal lebar kali semula 6-9 meter. Akibatnya, Kali Krukut terbendung dan alirannya mampet. Saban kali hujan turun, aliran sungai naik dan tumpah ke permukiman penduduk.

    Korps Baret Ungu berkilah penurapan Kali Krukut dilakukan untuk melindungi tanah mereka supaya tak tergerus arus. Penduduk, kata Marinir, juga salah karena mendirikan banyak bangunan di tepi kali.

    Penyuap Hakim Divonis

    Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum terdakwa kasus suap terhadap hakim Syarifuddin, Puguh Wirawan, penjara 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta subsider empat bulan penjara. Putusan ini sama dengan tuntutan jaksa.

    Kurator PT Sky Camping Indonesia ini dihukum lantaran terbukti menyuap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin, sebesar Rp 250 juta. Rasuah ini diberikan agar Syarifuddin, selaku hakim pengawas, memberi persetujuan dalam penanganan harta pailit PT Sky Camping.

    Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Syarifuddin pada Juni lalu di rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Penyidik menyita uang tunai Rp 392 juta, US$ 116.128, Sin$ 245 ribu, serta belasan ribu dalam mata uang Kamboja dan Thailand.

    Menanggapi putusan ini, Puguh menyatakan pikir-pikir. "Saya kira suap kan bukan korupsi atau merugikan negara, tapi saya dihukum full sesuai dengan tuntutan jaksa," katanya seusai sidang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus