Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERU truk pengangkut personel polisi mengejutkan sejumlah orang yang berjaga di posko mogok karyawan PT Freeport Indonesia di Mil 28 tengah malam Senin pekan lalu. Puluhan polisi berseragam yang turun dari truk itu segera bergabung dengan seratus polisi yang lebih dulu berada di Bandara Mozes Kilangin, Mimika—300 meter dari posko. Tidak terjadi bentrokan malam itu. Namun ketegangan tersirat di wajah 30 lelaki yang berjaga di posko karena ada kabar polisi akan membubarkan mereka.
Hingga pagi harinya, mogok kerja dan blokade karyawan tidak dibubarkan. Wakil Kepala Kepolisian Resor Mimika Komisaris Mada Indra Laksanta datang ke posko dan menyampaikan rencana mereka membubarkan aksi mogok batal. "Setelah mengamati kondisi, kami sepakat menghargai rangkaian perjuangan karyawan," katanya. Pasukan yang berjaga ditarik mundur.
Sehari sebelumnya, Polres Mimika menerbitkan surat ancaman pembubaran aksi mogok yang digalang karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Freeport itu. Dalam surat lima halaman itu, Kepala Polres Ajun Komisaris Besar Deny Edward Siregar mengultimatum karyawan agar bubar dalam 2 x 24 jam. "Apabila ultimatum tidak diindahkan, polisi akan mengambil tindakan tegas," kata Deny.
Rencana membubarkan paksa demonstrasi karyawan Freeport itu merupakan dampak kerusuhan di Terminal Gorong-gorong, Timika, 10 Oktober lalu. Ketika itu, polisi membubarkan demonstrasi dan menembaki pengunjuk rasa. Dua karyawan tewas diterjang peluru. Sejumlah pihak menuding polisi berpihak pada perusahaan dan mengabaikan kepentingan karyawan. Salah satu penyebabnya polisi dibayar Freeport.
Indonesia Corruption Watch melansir setidaknya US$ 79 juta dialirkan Freeport ke polisi dalam 10 tahun terakhir. Hal ini dinilai mempengaruhi keberpihakan aparat keamanan dalam menangani konflik pekerja dan perusahaan. "Sejak dulu TNI dan polisi memihak perusahaan," kata Indria Fernida, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan.
Freeport membenarkan telah memberikan uang kepada polisi. Pada 2010 saja, Freeport memberikan US$ 14 juta. "Tapi hanya 20 persen berupa uang," kata Manajer Senior Bidang Hukum Freeport Indonesia Clementino Lamury. Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo mengatakan uang itu tak haram. Soal polisi yang tidak netral, itu karena, "Keadaan di lapangan yang sulit," kata Timur kepada Indra Wijaya dari Tempo.
Meski diancam polisi, karyawan yang mogok sejak 15 September lalu itu tetap melanjutkan aksinya sambil tetap menuntut kenaikan upah dari US$ 2 menjadi US$ 7,5 per jam. "Tuntutan kami wajar," kata Tri Puspital, Sekretaris Bidang Industrial SPSI Freeport. Karyawan Freeport di negara lain dibayar US$ 13-32 per jam. Perusahaan sejauh ini hanya bersedia menaikkan upah 30 persen.
Tuntutan lainnya adalah perusahaan mempekerjakan kembali buruh yang dipecat dan membayar gaji karyawan selama mereka mogok. Buruknya kondisi di tempat bekerja juga menjadi catatan agar diperhatikan perusahaan. Para buruh bekerja di ketinggian lebih dari 4.000 meter. Ada pula yang bekerja di dalam terowongan. "Sering ada gas beracun dan tanah rawan longsor," kata Etinus, salah satu karyawan.
Aksi mogok di Timika ini mendapat dukungan dari Jakarta dan mancanegara. Sekretaris Umum Sektor Tambang SPSI Pusat Subiyanto mengatakan selayaknya Freeport memenuhi tuntutan karyawannya. Juru bicara Federasi Pekerja Tambang Internasional, Dick Blin, mendesak kedua pihak segera kembali ke meja perundingan.
Tito Sianipar (Jakarta), Tjahjono E.P. (Mimika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo