DI sebuah tempat di London yang dirahasiakan, sehari menjelang Natal. Di situ bertemu sejumlah ulama setempat, antara lain Hisham Elshawy, Ketua Masyarakat Islam untuk Kerukunan Beragama dan Dr. Zaky Beidlawy, Dekan Fakultas Studi Islam di London. Lalu Dr. Mohammad Aly Mahgoub, Menteri Wakaf (semacam menteri agama) Mesir dan Yusuf Al Sharkawy, Sekretaris II Kedubes Mesir di London. Masih ada seorang lagi, botak, berkaca mata, yang namanya dikenal di seluruh penjuru dunia: Salman Rushdie, penulis novel Ayat-Ayat Setan yang menghebohkan itu, yang dijatuhi hukuman mati oleh Ayatullah Khomeini dua tahun lalu. Apa yang mereka lakukan? Menurut pernyataan tertulis yang kemudian disebarkan pada pers, inilah yang kira-kira terjadi. Salman Rushdie mengucapkan dua kalimat syahadat, ia menyatakan masuk Islam kembali. Sekaligus, di hadapan para ulama dan diplomat itu, ia menyatakan melarang penerbitan Ayat-Ayat Setan edisi buku murah (paper back). Kemudian, di tempat itu pula, Rushdie mengetik pernyataannya untuk disebarkan pada pers. Ini, bagi para tokoh agama itu, semata sebuah kebetulan. Bagi Dr. Muhammad Aly Mahgoup, tokoh yang mengislamkan Rushdie, peristiwa yang mengundang perbedaan pendapat di kalangan dunia Islam ini terjadi di luar dugaannya. Ia bersama delegasinya ke London hanya untuk menghadiri kongres Islam. Tiba-tiba saja mereka, lewat Hisham Elshawy, diminta menyaksikan Salman mengucapkan syahadat. Menurut Mahgoup, peristiwa itu betul lahir dari kesadaran Salman Rushdie. "Ia menginsafi kekeliruannya dan bertobat masuk Islam kembali," kata Mahgoup. Rushdie mengaku pada Mahgoup, ia menulis Ayat-Ayat Setan tidak bermaksud menghina Islam. Keteledoran itu hanya disebabkan ketidakpahamannya terhadap Islam. Pengarang kelahiran Bombay, India, yang dibesarkan dalam keluarga Islam ini juga mengaku bahwa waktu itu ia belum Islam. Sebagai tanda kembalinya iman Islamnya, Rushdie menyatakan tak akan mengedarkan buku Ayat-Ayat Setan cetakan murah yang semestinya beredar dalam waktu dekat ini. Ia pun minta maaf atas ketidakmampuannya menarik Ayat-Ayat Setan yang sudah jutaan eksemplar beredar, dan diterjemahkan dalam setidaknya 15 bahasa, dan yang dilarang di 20 negara. Hal itu, katanya, di luar wewenangnya. Janji terakhirnya sehubungan dengan Islamnya kembali itu, ia berminat pergi ke Mesir, negeri tempat berkumpulnya ahli-ahli dalam Islam, untuk mempelajari Islam. Berita tobatnya Salman Rushdie ini disambut hangat di Mesir. Berbagai media cetak, radio, maupun televisi menceritakan kejadian itu agak khusus di sela-sela berita utama krisis Teluk. Tabloid mingguan keagamaan yang ada di Negeri Spinx itu menjanjikan berita yang begitu spesifik. El Nur dan El Islmy, misalnya, menurunkan laporan khusus satu halaman penuh, lengkap dengan berbagai pendapat dari para ulama akademis dan konservatif. Persoalan yang dikemukakan, benarkah Salman Rushdie masuk Islam kembali dengan kesadaran, atau sekadar taktik cari selamat. Seperti diketahui, menjelang persis dua tahun semenjak ia bersembunyi karena dihukum oleh Ayatullah Khomeini, 14 Februari 1989, pemerintah Inggris mengumumkan niatnya untuk tak lagi memberikan pengawalan khusus -- pengawalan yang mengharuskan Salman membayar, sampai bulan lalu, sekitar 750 juta pound Mesir. Bagi bekas Wakil Rektor Universitas Al Azhar, Dr. Rauf Shalaby, "pintu tobat dalam Islam itu terbuka, dan itu tak bisa didebat lagi." Ini sesuai dengan hadis Nabi: "Tobat seorang hamba diterima selama ajal belum tiba di tenggorokan". Toh Rauf Shalaby tetap khawatir, tobatnya Rushdie itu sekadar mencari popularitas semata, kalau bukan politis sifatnya. Sementara itu, pihak yang lain melihat kasus Rushdie ini tanpa menghubungkan dengan bukunya Ayat-Ayat Setan. Dr. Abdel Djalil Shalaby, misalnya. Anggota pengkajian dan penelitian ilmu-ilmu Islam di Al Azhar ini hanya melihat bahwa dalam Islam kembalinya seseorang yang telah menyimpang dari agama ditoleransi. Pandangan Dr. Abdel Djalil Shalaby ini dibenarkan oleh Dr. Abdel Hamid Abu Sikkin, Wakil Dekan Fakultas Bahasa Arab Al Azhar. "Kita hanya dibolehkan untuk menilai lahirnya saja. Sedangkan yang berkaitan dengan hatinya, itu adalah urusan Allah semata," kata Sikkin. Ini tak berarti Sikkin melepaskan kesalahan Rushdie begitu saja. Baginya, Rushdie perlu melakukan sesuatu untuk menebus dosanya. Dan itu tak cukup hanya dengan pembatalan edisi murah AyatAyat Setan. Menurut Sikkin, Rushdie harus berikrar bahwa yang ditulisnya dalam Ayat-Ayat Setan adalah keliru. Dengan kata lain, ia harus mencabut peredaran buku yang mengundang heboh tersebut. Atau, Rushdie menulis sebuah buku baru yang memperkuat pernyataan tobatnya. Inilah bentuk hukuman yang diberikan Sikkin terhadap Rushdie. Hukuman itu cukup berat bagi Rushdie, tapi tidak seberat hukuman mati yang dijatuhkan oleh Ayatullah Khomeini pada 14 Februari 1989 lalu. Apalagi hukuman itu, menurut Ali Khamenei, pemimpin spiritual Iran yang menggantikan Khomeini, tak berubah meski Salman sudah mengucapkan syahadat. Memang banyak yang tak sepaham dengan vonis pemimpin Iran itu. Antara lain datang dari ketua masyarakat Islam Amerika Utara (ISNA), yang meminta pada Iran untuk mencabut fatwa Khomeini tersebut. "Salam Rushdie sudah tobat. Sekarang mau apa lagi," kata ketua ISNA tersebut. Salman, katanya, tidak perlu dihukum lagi. Pandangan yang memberikan maaf seperti ini juga dianut oleh Dr. Tayyib El Najjar, bekas Rektor Al Azhar. El Najjar tidak mau menilai yang ada di hati Rushdie. Ia berpegang pada sabda Nabi: "Saya diperintahkan menilai hukum lahirnya saja." Karena itulah El Najjar tidak berprasangka terhadap tobatnya Rushdie. Bahkan ia berkeyakinan bahwa tobat Rushdie lahir dari rasa ikhlas setelah ia menemukan manisnya iman. Salman Rushdie, seperti yang diceritakan Tayyib El Najjar, pernah mengakui, bahwa setelah bukunya yang menggegerkan itu, ia tertarik mempelajari Islam, serta menangkap keyakinan baru yang sebelumnya tak pernah dimilikinya. Yang terakhir ini, kata Najjar, ditemui Rushdie dalam petualangannya yang panjang ketika merenungkan soal keyakinan dan imajinasi. "Saya yakin, ia akan berbuat baik untuk Islam," kata El Najjar dalam wawancaranya dengan radio BBC siaran bahasa Arab, Kamis pekan lalu. El Najjar mungkin benar. Dalam pengakuan Rushdie pada Independent Television News, London, yang kemudian dimuat koran New York Times 1 Januari 1991 lalu, Salman mengatakan keputusannya memeluk Islam lahir setelah ia membaca kisah hidup Dostoyevsky, pengarang besar Rusia di abad ke-19. Dostoyevsky dijatuhi hukuman mati dalam usia 28 tahun. Meski akhirnya hukuman itu diubah menjadi hukuman kerja paksa di Siberia 4 tahun, ketika ia menunggu di sel sempat tumbuh dalam dirinya kebutuhan memeluk agama. Pengalaman pengarang Rusia yang dituangkannya dalam suratsuratnya yang ditulis dari penjara itulah yang membawa Rushdie kepada Islam. Bisakah ini dipercaya? Tak mudah menebak yang ada di hati Rushdie. Itu sebabnya Zainab Ghazaly, seorang pengarang dan juga tokoh wanita yang cukup populer di Mesir, menyarankan agar orang tidak segera menerima atau menolak tobatnya Rushdie. Sebenarnya, bila perilaku Nabi Muhammad saw. dijadikan tauladan, mestinya tobat Salman diterima saja. Pada waktu terjadinya Perang Uhud, seorang budak bernama Wahsyi, orang Abesinia, dijanjikan akan dimerdekakan oleh Hindun binti Utba bila ia bisa membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi. Benar, Wahsyi akhirnya berhasil menombak mati Hamzah. Setelah Wahsyi merdeka, ia secara diam-diam datang kepada Rasulullah, membaca dua kalimat syahadat seraya tobat. Ia diterima, dan perbuatannya membunuh Hamzah dimaafkan oleh Nabi. Bagi Nabi, siapa pun yang sudah mengucapkan syahadat, harus dilindungi. Pernah dalam satu perang melawan orang kafir, Khalid bin Walid membunuh seseorang musuh yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Kejadian ini sampai kepada Nabi, yang kemudian murka pada Khalid bin Walid, panglima perang yang berjasa pada Islam itu. Alasan dasar Nabi, jika direnungkan, ialah karena kita tak bisa menilai iman di batin seseorang. Hanya Tuhan yang bisa. Juga di batin Salman Rusdhie. Dja'far Bushiri (Kairo) dan Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini