Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat Vonis Peradilan Sesat

Pensiunan pegawai negeri dari Bandung menuntut ganti rugi kepada negara. Sempat ditahan dan didakwa memerkosa anak, di Mahkamah Agung dia tak terbukti bersalah.

4 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah bercat hijau muda itu tak terbilang sempit bila dihuni satu keluarga normal. Berdiri di atas lahan 120 meter, rumah tersebut memiliki lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Tapi, Rabu pekan lalu, di rumah itu segalanya tampak berjejal. Di halaman depan, pakaian aneka warna berebut tempat di kawat jemuran. Di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, kursi sofa dan meja pun berdesakan dengan rak televisi 21 inci.

Setahun terakhir, rumah itu menjadi kian sesak setelah pasangan Ade Ruchimat-Yani Juhaeni beserta dua anaknya turut menumpang. Sebelumnya, baru orang tua Yani dan tiga keluarga adiknya yang tinggal di rumah itu. Kini lima keluarga menumpuk di rumah di Jalan Kebon Manggu, kompleks Perumahan Pemda Kota Cimahi, itu. "Kami tak punya pilihan," kata Ade, 59 tahun, Rabu pekan lalu.

Sebelum menumpang di rumah mertuanya, Ade berbulan-bulan merasakan dinginnya ubin penjara Kebonwaru, Bandung. Padahal sebelumnya kehidupan Ade normal. Gajinya sebagai pegawai negeri golongan II di Dinas Sosial Jawa Barat, ditambah hasil kantin yang dikelola istrinya, cukup untuk menyekolahkan dua anaknya hingga masuk perguruan tinggi. Ade pun tak perlu pusing dengan tempat tinggal, karena bisa menempati rumah dinas.

Perjalanan hidup Ade seperti terjun bebas setelah dia dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Cimahi pada 29 Mei 2008. Waktu itu ia dituduh memerkosa anak di bawah umur hingga empat kali. Dalam catatan polisi, yang melapor itu Bambang Surya Doni. Saksinya Siti Rohimah, istri Bambang. Adapun "korban"-nya Cucu Herni Nuraeni, pembantu di rumah Bambang yang waktu itu berumur 16 tahun.

Bagi Ade, Bambang bukan orang asing. Di samping teman sekantor, mereka tinggal bertetangga di Kompleks Balai Pelatihan Pekerja Sosial, Cigugur, Kota Cimahi. Keluarga Ade dan Bambang pun pernah akrab.

Hubungan kedua keluarga menegang ketika Bambang tahu bahwa istrinya kerap "curhat" urusan rumah tangga kepada keluarga Ade. Belakangan, di kantor pun, diam-diam mereka bersaing. Soalnya, Ade lebih sering ditugasi karena banyak keahliannya, termasuk menjadi sopir atau penata taman di rumah atasannya.

Selama laporan Bambang disidik polisi, Ade tak ditahan. Dia ditahan pada 26 Februari 2009, ketika berkas perkara dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan. Di Pengadilan Negeri Bale Bandung, jaksa mendakwa Ade dengan sejumlah pasal pada Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa pun menuntut Ade dihukum 10 tahun penjara dan didenda Rp 60 juta.

Saksi-saksi yang dihadirkan ke persidangan, terutama yang diajukan pelapor, umumnya meyakini bahwa Ade telah melakukan kekerasan seksual terhadap Cucu. Tapi tak seorang pun yang mengetahui detail atau menyaksikan peristiwa yang mereka tuduhkan. Mereka mengklaim mendapat pengakuan dari Cucu.

Keterangan saksi itu mulai goyah tatkala tim pengacara Ade dari Lembaga Bantuan Hukum Al Ma'soem, Bandung, meminta hakim memutar sebuah rekaman video. Dalam rekaman itu, Cucu menyebutkan dia tak pernah mendapat kekerasan seksual dari Ade. Jangankan dipaksa berhubungan badan, disentuh pun dia tak pernah. Cucu pun mengaku dipaksa mereka-reka cerita pemerkosaan oleh Bambang dan istrinya.

Pengacara Ade, Dadang Suhanda, menuturkan rekaman itu dibuat Inspektur Dua Imas Komala, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung. Cucu diajak ngobrol penyidik khusus anak ini pada 1 Agustus 2008, bersamaan dengan acara sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak. Rupanya, Cucu menjadi "studi kasus" dalam acara yang digagas Departemen Sosial itu.

Di depan hakim, Cucu membenarkan seluruh isi rekaman video. Sebaliknya, Cucu menyatakan keterangan dia dalam berita acara pemeriksaan polisi tak benar. Namun fakta baru itu tak digubris hakim. Pada 6 Juli 2009, majelis hakim yang dipimpin Antonius Simbolon menghukum Ade enam tahun penjara dan mendenda Rp 60 juta.

Setelah vonis, kehidupan keluarga Ade makin berat saja. Tak hanya dicibir tetangga dan kolega, mereka pun harus jungkir balik untuk bertahan hidup. Warung tutup. Sepeda motor, barang elektronik, dan perhiasan lebih dulu mereka jual. Rumah tipe 21 untuk masa tua pun mereka lego.

Karena kurang biaya, dua anak Ade berhenti kuliah. Padahal anak sulung Ade waktu itu sudah menginjak semester akhir di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Ujungnya, keluarga Ade terbelit utang di sana-sini. "Sertifikat tanah ini sampai saya gadaikan," kata Yani pekan lalu, menunjuk rumah ibunya yang dia tumpangi.

Dari ruang tahanan, Ade mengajukan permohonan banding. Namun, pada 7 September 2009, Pengadilan Tinggi Jawa Barat menguatkan putusan pengadilan pertama. Beruntung, perlawanan Ade lewat jalur kasasi tak sia-sia. Pada 15 Desember 2009, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dia.

Menurut hakim kasasi, hakim di bawahnya salah menerapkan hukum. Tak cukup bukti untuk menyatakan Ade bersalah. Soalnya, tak seorang pun saksi yang langsung melihat perbuatan yang didakwakan jaksa. Apalagi saksi korban dan terdakwa sama-sama membantah adanya pemerkosaan.

Majelis hakim kasasi yang dipimpin Mohammad Saleh lantas membebaskan Ade dari seluruh dakwaan. Majelis memerintahkan Ade dikeluarkan dari tahanan serta dipulihkan kemampuan dan martabatnya. Sewaktu tahun baru 2010 tiba, Ade menghirup udara segar.

Tapi badai belum sepenuhnya berlalu. Keluar dari penjara, Ade dan keluarga nyaris menjadi tunawisma. Karena Ade harus mencicil utang, uang pensiun bulanannya hanya tersisa Rp 200 ribu. Jangankan untuk mengontrak rumah, buat makan pun uang itu tak cukup.

Merasa telah difitnah, Ade melaporkan balik Bambang ke polisi. Kali ini Cucu dan keluarganya bersaksi untuk pihak Ade. Bambang pun menjadi tersangka pelaporan palsu. Tapi kelanjutan kasus itu tak jelas. Ditemui di rumahnya pekan lalu, Bambang malah membantah melaporkan Ade. Katanya, dia hanya bersaksi atas pengakuan Cucu. "Saya tadinya mau membantu anak itu, eh sekarang jadi tersangka," ujar Bambang.

Ade juga menuntut ganti rugi kepada negara lewat jalur perdata. Dia menggugat Presiden sebagai kepala negara dan kejaksaan yang telah menahannya. Intinya, Ade meminta nama baiknya dipulihkan lewat pengumuman di sejumlah media. Dia juga menuntut ganti rugi Rp 1,1 miliar atas kehilangan pendapatan, timbulnya utang, serta kerugian fisik dan kejiwaan.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jhony Nelson Simanjuntak, termasuk yang menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan balik Ade. Menurut dia, Ade telah dilanggar hak asasinya dan menjadi korban peradilan sesat. Karena itu, negara bertanggung jawab atas segala kerugian Ade.

Namun pengadilan pertama dan banding menolak gugatan Ade. Pada 19 Juli 2011, Ade kembali mengajukan permohonan kasasi. "Sampai sekarang belum ada perkembangan," kata Dadang Suhanda, yang pekan lalu mengecek lagi gugatan kliennya ke pengadilan.

Dari bilik sempit rumah mertuanya, Ade hanya pasrah menunggu. "Kalau dapat ganti rugi, uangnya untuk melunasi utang," ujarnya.

Jajang Jamaludin (jakarta), Erick P. Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus