Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menelikung di Tengah Renegosiasi

Pemegang saham mayoritas Palyja tiba-tiba hendak melepas kepemilikannya ke perusahaan Filipina. PAM Jaya merasa ditelikung di tengah jalan.

4 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAHAM Manila Water mendadak menjadi primadona di Bursa Efek Filipina, Jumat tiga pekan lalu. Andil perusahaan pengelola air minum di Manila Timur ini harganya naik 3,2 persen menjadi 29,30 peso per lembar dan laris manis. Hari itu saja, lebih dari 1,5 juta lembar saham Manila Water berpindah tangan.

Sejumlah analis melihat lonjakan nilai saham itu dipicu oleh penandatanganan perjanjian jual-beli (shares purchase agreement/SPA) yang dilakukan sehari sebelumnya. Manila Water meneken kontrak untuk mengakuisisi 51 persen saham Suez Environnement di PT PAM Lyonnaise Jaya (Pa­lyja)—mitra swasta PAM Jaya dalam mengelola air minum di Jakarta.

Penjualan saham itu membuat Direktur Utama PAM Jaya, Sriwidayanto Kaderi, gusar. "Saya baru tahu ada SPA lewat koran. Itu pun sepekan kemudian," katanya. Yang membuat dia tambah kesal, Suez Environnement berencana menjual saham saat perundingan renegosiasi kontrak perjanjian kerja sama pengelolaan air baru dibuka.

"Ini seperti menghindar dari proses yang sedang berjalan," ujarnya. Padahal Sriwidayanto sudah mengalah dan mencairkan rekening tunggakan untuk meningkatkan "posisi tawar" PAM Jaya di meja perundingan.

Kontrak pengelolaan air minum di Ibu Kota yang diteken pada 1997 itu dinilai berat sebelah dan merugikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bila renegosiasi tak dilakukan, tarif air pada 2022—saat kontrak berakhir—bisa mencapai Rp 22 ribu per meter kubik. PAM Jaya juga berpotensi menanggung akumulasi kerugian atas beban utang imbalan air (shortfall) sebesar Rp 18,5 triliun.

Berbeda dengan mitra swasta PAM Jaya lainnya, Aetra Air Jakarta, PT Palyja enggan membuka pembicaraan renegosiasi kontrak sebelum rekening tunggakan senilai ratusan miliar selama periode Agustus-Desember 2010 itu dicairkan. Persoalan rekening tunggakan ini bukan barang baru. Berdasarkan perjanjian kerja sama pada 1997 itu, tunggakan pelanggan harus dibayarkan kepada perusahaan mitra.

Masalah muncul karena PT Palyja tak mampu mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum, yang salah satu pasalnya mengatur pemutusan layanan air bagi pelanggan yang menunggak tagihan. Palyja mesti menunjukkan bukti berita acara menyangkut pemutusan layanan air bagi pelanggan yang menunggak, pembayaran tunggakan, dan bukti penyambungan kembali. Sayangnya, Palyja tak pernah menyerahkan bukti berita acara sebagai syarat pencairan.

Gara-gara urusan rekening tunggakan ini pula, Maurits Napitupulu, Direktur Utama PAM Jaya sebelum Sriwidayanto, dicopot dari posisinya. GDF Suez—induk perusahaan Suez Environnement—diduga gerah terhadap sikap Maurits yang mendorong renegosiasi kontrak tapi enggan mencairkan rekening tunggakan. Chairman and Chief Executive GDF Suez Gerard Mestrallet berkirim surat kepada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa untuk meminta bantuan sang menteri dalam mencari solusi atas "kesulitan serius" yang dialami PT Palyja.

Dalam suratnya, Mestrallet mengklaim Palyja dan GDF Suez terbuka untuk renegosiasi melalui proses yang adil dan berimbang. Tapi, "Ada upaya PAM Jaya untuk memaksakan definisi ulang (kontrak) secara sepihak, termasuk pelanggaran isi kontrak dan menahan rekening tunggakan, sehingga membawa kebuntuan yang mengancam keberadaan kontrak itu sendiri."

Seperti pendahulunya, Sriwidayanto, yang sebelumnya menjabat direktur teknik, mulanya bersikap keras. Dia enggan mencairkan rekening bersama. Namun, karena Palyja bergeming untuk urusan renegosiasi kontrak, ia akhirnya luluh. "Ini saya lakukan untuk mendorong mitra duduk bersama dan membicarakan renegosiasi kontrak," katanya.

Palyja, menurut Sriwidayanto, mulanya mendesak pencairan rekening tunggakan pelanggan sebesar Rp 183 miliar. Masalahnya, uang yang terkumpul dalam rekening Palyja hanya Rp 123 miliar. Itu pun sebagian besar tagihan dari tunggakan pelanggan golongan 1, dengan tarif Rp 1.050 per meter kubik.

Pengelola air minum untuk wilayah barat Jakarta itu setidaknya memiliki 415 ribu pelanggan. Sedangkan imbalan tarif untuk Palyja Rp 7.020 per meter kubik. Ada selisih Rp 60 miliar, yang muncul dari tarif pelanggan dan imbalan tarif itu, menjadi tanggungan PAM Jaya.

Sriwidayanto meyakinkan pencairan pada pertengahan Agustus lalu itu bisa dia pertanggungjawabkan. "Rekening tunggakan yang dicairkan hanya Rp 118 miliar. Pencairan itu juga menghapus shortfall sebesar Rp 34 miliar dan mengurangi defisit jadi Rp 30 miliar."

l l l

Kabar rencana penjualan saham Palyja sebenarnya sudah tercium pada awal Oktober lalu. "Ada yang bilang Palyja mau jual saham," ujar Sriwidayanto. Dia lalu berkirim surat kepada Palyja untuk menanyakan kabar itu. Bukannya membalas surat, Presiden Suez Environnement Asia Charles Chaumin justru mendadak muncul di pintu kantor PAM Jaya pada 17 Oktober lalu. Chaumin menyatakan rencananya menjual 51 persen saham yang dimiliki Suez. Rencana itu membuat Sriwidayanto kecewa. "Kita ini sedang dalam proses renegosiasi kontrak. Saya tanya mengapa enggak disampaikan duluan," Sriwidayanto bercerita.

Bos Suez Environnement itu meyakinkan bahwa PAM Jaya tetap memiliki kewenangan. "Kami masih mencari mitra strategis. Setelah dapat, baru kami akan minta izin. Bila Anda menolak, semuanya batal," ujar Chaumin dalam pertemuan itu, seperti ditirukan Sriwidayanto. Chaumin pun menjamin pembeli saham akan paham adanya proses renegosiasi kontrak yang tengah berjalan.

Toh, Sriwidayanto tetap kaget ketika tahu ternyata SPA diteken Chaumin hanya selang sehari setelah pertemuan itu. Sedangkan Palyja baru mengirimkan surat izin penjualan saham pada 25 Oktober, atau sepekan kemudian. Itu pun tanpa menyebutkan nilai akuisisi atau melampirkan SPA-nya.

Jengkel terhadap kelakuan mitranya, Sriwidayanto mengadu kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. "Saya usulkan agar badan usaha milik daerah membeli saham Suez. Karena air menyangkut hajat hidup orang banyak," katanya.

Basuki mengaku tidak menentang rencana penjualan saham Suez ke Manila Water itu. Dia hanya meminta agar rencana tersebut diteliti. "Semua kita kontrol. Mereka enggak bisa jual tanpa izin gubernur," ujar Basuki kepada Triartining Putri dari Tempo. Menurut dia, pemerintah akan berfokus pada rencana memenuhi target memberi akses 99 persen warga pada air minum.

Manila Water, yang mayoritas sahamnya dimiliki Ayala Corporation (berdiri sejak 1834), memang agresif mengakuisisi saham operator air. Pada Juli 2012, perseroan ini mengakuisisi 47,35 persen saham Kenh Dong Water Supply Joint Stock Co di Vietnam. Sebelumnya, Desember 2011, mereka membeli 49 persen saham Thu Duc Water BOO di Vietnam.

Suez Environnement, dalam pernyataan tertulisnya kepada Tempo, enggan menyebutkan nilai akuisisi saham ke Manila Water. "Sampai proses ini selesai, kami masih menjadi pemilik 51 persen saham Palyja," kata mereka.

Suez mengatakan transaksi ini merupakan strategi bisnis jangka panjang mereka. "Untuk memiliki posisi kuat di Eropa serta rencana pengembangan bisnis yang selektif di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi." Mereka juga menyatakan tetap mempertahankan kehadirannya melalui dua perusahaan konstruksi dan manajemen air di dua daerah, yaitu Medan dan Serang, serta di pasar pengolahan air melalui anak perusahaan Degremont.

Belum diketahui mengapa PT Astratel, pemilik 49 persen saham Palyja, tidak membeli saham Suez. Selaku pemilik saham terbesar kedua, PT Astratel memiliki preemptive rights alias hak lebih dulu membeli saham Suez. "Strategi bisnis kami adalah berpartner dengan investor strategis yang ahli di industrinya." kata Wanny Wijaya, Corporate Planning Division Head PT Astratel.

Adapun juru bicara PT Palyja, Meyritha Maryanie, memastikan penjualan itu tidak mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat di sisi barat Kali Ciliwung, "Tidak akan ada gangguan dengan proses renegosiasi kontrak dengan PAM Jaya. Target kami akhir 2012 ada kesepakatan."

Amandra Mustika Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus