Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak tiba di Indonesia 38 tahun lalu, pemimpin perusahaan Grup Indorama, Sri Prakash Lohia, mantap terjun di industri petrokimia. Orang terkaya kedelapan di Indonesia versi majalah Forbes ini membangun pabrik pertamanya di Purwakarta, Jawa Barat. Bermodal awal US$ 10 juta, nilai perusahaan Lohia kini melonjak jadi US$ 7 miliar atau Rp 67,3 triliun. Bisnisnya menggurita di seluruh dunia melalui 20 perusahaan.
Pria keturunan India yang menjadi warga negara Indonesia pada 1985 itu kini membidik pasar Afrika. Ia mendirikan pabrik pupuk urea di benua hitam tersebut. "Karena itu, saya lebih banyak berada di London, agar bisa mengontrol perusahaan dari sana," kata lelaki berusia 60 tahun ini.
Selasa tiga pekan lalu, Lohia menerima jurnalis Tempo Dewi Rina dan Rosalina, serta fotografer Aditia Noviansyah, di kantornya, Wisma Indorama, Jakarta. Didampingi Direktur Keuangan PT Indorama Synthetic Tbk Vishnu Swaroop Baldwa, Lohia menjawab berbagai pertanyaan dalam wawancara yang berlangsung satu jam.
Apa saja bisnis Anda hingga sekarang?
Kami mendirikan pabrik pertama di Purwakarta pada 1974. Pabrik pemintalan benang itu baru mulai berproduksi pada 1975 dengan sekitar 2.000 karyawan. Investasi awal adalah US$ 10 juta. Setelah itu, kami masuk ke bisnis polyester pada 1992, lalu ke polyethylene untuk bahan baku botol seperti Coca-Cola, Pepsi, dan Aqua. Yang kami produksi adalah resin, bukan botolnya. Pada 1995, kami masuk ke bisnis packaging. Hingga sekarang, bisnis packaging kami sudah tersebar di 20 negara dengan sekitar 25 ribu pegawai.
Mengapa tertarik menggeluti bisnis petrokimia?
Saat itu persaingan di Indonesia belum banyak. Di dunia juga hanya ada 5-6 orang yang terjun di bisnis ini. Selama masih di bawah sepuluh orang, masih bisa mengontrol dan memberi keuntungan. Tapi, bila persaingan telah mencapai angka ratusan, akan sulit karena pasar juga terbagi-bagi.
Apakah ada rencana merambah ke sektor lain?
Tidak ada. Kami ingin berfokus di bisnis yang sudah ada, yaitu industri dan produksi saja. Indorama masih memiliki proyek dan rencana lain dalam kurun tiga tahun ke depan. Kami juga melakukan ekspansi hingga ke Nigeria. Awalnya Indorama mengambil alih perusahaan milik pemerintah setempat yang terbengkalai. Setelah dilakukan perbaikan, kami mencoba mengembangkan bisnisnya. Kami tidak mengambil alih pabrik yang bangkrut, tapi perusahaan yang masih memiliki harapan.
Seberapa besar prospek pasar di Afrika?
Indorama merupakan satu-satunya produsen petrokimia di Afrika Barat dengan produksi 440 ribu ton per tahun. Perusahaan di Afrika merupakan aset yang paling menguntungkan dan paling sukses di Grup Indorama. Dari US$ 600 juta penjualan, perusahaan meraih untung sekitar US$ 300 juta.
(Baldwa menambahkan, Indorama akan membangun pabrik kedua di bidang urea fertilizer. Nilai investasinya US$ 1,2 miliar. Pabrik pertama dibangun pada 2006.)
Apa saja rencana ekspansi dalam jangka pendek di dalam negeri?
Kami akan membangun pabrik polyester di Purwakarta, yang merupakan perpanjangan perusahaan di Thailand. PT Indorama Polyester Tbk ini akan menjadi pabrik besar dengan nilai investasi US$ 250-300 juta lebih, dan terbesar di Asia Tenggara. Rencananya, produksi dimulai pada 2013 dan menyerap tenaga kerja 600-800 orang. Pembangunan pabrik baru ini adalah pertama kali setelah Indorama berinvestasi di bidang polyester di Indonesia pada 1996. Rencananya, kapasitas pabrik 300 ribu ton per tahun. Teknologi yang digunakan juga lebih canggih.
Produknya akan dijual ke mana?
Kami membangun pabrik ini seiring dengan rencana perusahaan dari Korea dan Cina yang akan masuk ke Indonesia. Indorama mencoba memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan-perusahaan tersebut agar tidak perlu mengimpor dari negara asalnya. Bila tidak mau membeli produk kami, sebagian hasil produksi akan diekspor.
Pada semester pertama lalu, laba PT Indorama Synthetic Tbk anjlok 93 persen dibanding 2011. Apakah laba anjlok akibat krisis Eropa?
Bukan begitu. Harga bahan baku tahun lalu sangat tinggi. Contohnya harga bahan baku katun naik 2,5 kali lipat dari harga 70 sen dolar per pon menjadi US$ 2,35 per pon. Kenaikan ini diikuti melonjaknya harga produksi dan harga barang. Maka sebenarnya keuntungan perusahaan juga besar. Sekarang harga bahan baku sudah normal lagi.
Adakah pengaruh krisis global terhadap bisnis Indorama secara keseluruhan?
Margin perusahaan memang terpangkas 8-10 persen. Secara nominal, pendapatan kami masih besar. Tahun lalu pendapatan kami di seluruh dunia mencapai US$ 8,5 miliar. Meski krisis, pesanan dari perusahaan minuman, seperti Coca-Cola, Pepsi, Nestle, dan Danone, tidak berubah. Sebanyak 40-45 persen dari bisnis Indorama adalah produk kemasan untuk minuman. Kami menargetkan pertumbuhan 15 persen tahun depan.
Bagaimana persaingan dengan Cina, terutama di industri tekstil dan produk tekstil?
Sebetulnya Cina bukan pesaing utama, karena pasar kami untuk menengah ke atas. Sedangkan Cina membuat produk berharga murah. Sulit bersaing dengan Cina dan menyebabkan kami rugi. Kami tidak khawatir karena Indorama mampu berkompetisi dengan kualitas terjamin. Kami tidak merasa takut berkompetisi dengan Cina, yang kualitasnya relatif lebih rendah. Kami juga punya pabrik di Cina, meski kapasitasnya kecil.
Siapa konsumen terbesar Indorama?
Sebanyak 55-60 persen produk kami ditujukan untuk ekspor ke hampir 90 negara di dunia. Produk kami tersebar di Asia, Amerika, dan Eropa. Satu dari tiga produk polyester di dunia adalah hasil produksi Indorama. Berdasarkan struktur pasar piramida, kami mengincar konsumen di tingkat atas. Jumlahnya kecil, tapi penjualannya tinggi dan hasilnya besar. Sedangkan pasar polyester untuk konsumen di level piramida bawah diserahkan ke perusahaan Cina, yang kualitasnya lebih rendah.
Beralih ke soal lain. Sebagai keturunan India, mengapa Anda memutuskan menjadi warga negara Indonesia?
Saya senang di sini. Sudah hampir 40 tahun saya berada di Indonesia. Saya jadi warga negara Indonesia pada 1985. Saya juga bisa menyanyikan Indonesia Raya. Sekarang saya lebih banyak tinggal di London, agar lebih mudah mengontrol perusahaan di Afrika.
Kalau Anda merasa kerasan di Indonesia, mengapa dua perusahaan induk Indorama di Singapura dan Thailand tidak dipindahkan ke sini?
Regulasi di sini tidak sesuai dengan pasar global. Sejak 1997, berdasarkan aturan Bank Indonesia, perbankan tidak bisa memberi pinjaman untuk unit usaha kami yang berada di luar negeri. Selain itu, perusahaan terkena pajak ganda bila dibangun di sini. Padahal sebagian besar negara di dunia sudah tidak memberlakukan pajak ganda. Alasan itu membuat kami tidak membangun holding company di Indonesia.
Apa pandangan Anda tentang kondisi infrastruktur di sini? Apakah sudah memadai?
Sarana infrastruktur di Indonesia tak terlalu bagus. Pemerintah harus memberi dukungan. Jalan harus diperbaiki, sehingga truk bisa lewat. Saat ini biaya pengiriman menjadi mahal karena macet. Ongkos pengiriman ke Cina bisa lebih murah dibanding dari Purwakarta ke Tanjung Priok. Misalnya dari Indonesia ke Cina biayanya US$ 10 per pack. Sedangkan biaya pengiriman dari Purwakarta ke Tanjung Priok US$ 15 per pack. Padahal jaraknya hanya 100 kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo