FRITZ Wuisan alias H.M. Firmansyah untuk sementara, boleh menarik napas lega. Terdakwa yang diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penggelapan dan penipuan ini dilepaskan dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan tingkat banding. "Perkaranya perdata kok, bukan pidana," kata Bambang Soemedhy, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, pekan lalu. Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengganjar Fritz dengan hukuman 2 tahun 8 bulan untuk perkara jual-beli benang tenun dengan Musa dari PT Benindo Sarana Pratama. Fritz, 36, berperkara dengan Musa sekitar Agustus 1984. Direktur Utama PT Putra Sejati Spinning Mills, yang bergerak di bidang bahan baku tekstil jenis tetoron cotton itu, dituduh tak kunjung menyerahkan 3.360 bal benang tenun. Padahal, Benindo telah menyerahkan uang sejumlah Rp 2,2 milyar untuk pembayaran barang tersebut. Merasa penyelesaian lewat perundingan tak berhasil, Musa melaporkan Fritz ke Polda Metro Jaya. Lantas perkara masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, aval tahun silam. Fritz menunjuk Mega Budiman, Amiruddin Isa, dan Amir Syamsuddin sebagai pembela. Ketika perkara tengah disidangkan, terembus isu adanya "mafia peradilan" istilah bagi permainan yang mengatur tuntutan dan vonis di pengadilan. Rupanya, selain punya pengacara formal, Fritz juga dibantu oleh empat orang pengacara, yang dipimpin Sutomo Chasanduryat. Kelompok pengacara terakhir ini, konon, menjanjikan putusan bebas murni (vrijspraak) bagi Fritz, melalui upaya di luar peradilan. Yaitu, dengan cara mengusahakan surat rekomendasi dari Mahkamah Agung dan pejabat-pejabat di Departemen Kehakiman. Bantuan lewat jalan luar yang dijanjikan kelompok Sutomo Chasanduryat, juga imbalan sebesar Rp 115 juta dari tertuduh mereka tuangkan dalam suatu surat pernyataan. Fritz bahkan sempat membayar "persekot" Rp 2 juta. Belakangan, surat itu bocor, dan jadi pemberitaan berbagai media massa. Upaya pembebasan di luar persidangan itu, cerita Fritz, ada latar belakangnya. Fritz mengaku kecewa terhadap perlakuan polisi dan hakim. Hakim, katanya, di sidang memojokkannya dan menguntungkan saksi pelapor, Musa. Banyak barang bukti pada waktu pemeriksaan tidak ikut dilampirkan dalam berkas. Di persidangan, tambah Fritz permintaannya untuk mencocokkan beberapa barang bukti tak ditanggapi. Ia lalu naik banding atas vonis hukuman penjara 2 tahun 8 bulan yang dijatuhkan padanya. Di pengadilan tingkat banding, putusan tersebut dibatalkan. Fritz diputuskan bebas tak murni. Majelis hakim tinggi berpendapat perbuatan yang didakwakan pada Fritz merupakan perkara perdata. Pertimbangan yang dipakai majelis haklm tinggi, adanya persetujuan yang tercantum dalam akta notaris Winanto Wirjomartani tertanggal 25 Februari 1983, dan notulen-notulen rapat antara terdakwa selaku Direktur Utama PT Putra Sejati dan Perkumpulan Trading House Benang Tetoron Cotton. Dengan demikian, sengketa jual-beli benang tenun dengan PT Benindo dianggap sebagai perbuatan wanprestasi terdakwa. "Ada tidaknya perbuatan itu hanya hakim perdata yang berwewenang mengadilinya," kata sumber TEMPO di Pengadilan Tinggi Jakarta. Fritz, tentu saja, menyambut putusan itu dengan penuh suka, meski tak sebesar harapan pembebasan murni atas vonis pengadilan tingkat pertama. Lain halnya dengan Musa. Ia berkerut dahi tatkala mengetahui putusan untuk Fritz itu. "Putusan Pengadilan Negeri cukup obyektif, itu suatu kenyataan," katanya. "Bahwa putusan Pengadilan Tinggi jadi berbeda, ya, kenyataan yang lain lagi. Happy Sulistyadi, Laporan M. Cholid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini