Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Menjawab teka-teki potongan mayat

Pada hari ke-14 setelah ditemukan, identitas mayat terpotong 7 dipastikan sebagai ny. diah, guru tk trisula, jakarta. polisi mencurigai suami korban, agus nasir, seorang kepala sekolah, sebagai pembunuhnya.

29 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI luar dugaan, kasus mayat potong tujuh, pada hari ke-14 pekan lalu, telah memasuki babak akhir. Dan di luar sangkaan semula mayat itu diidentifikasikan sebagai Nyonya Diah, 46 tahun, guru Taman Kanak-Kanak Trisula Salemba, Jakarta Pusat. "Ciri-ciri fisik, medis, dan pakaiannya menunjukkan bahwa mayat itu 90% dipastikan sebagai Nyonya Diah," kata sumber TEMPO yang paling berkompeten. Hampir dapat dipastikan bahwa Bu Diah itulah, ibu dua putra dan seorang putri, yang tewas secara mengerikan. Mayatnya telah membuat geger Jakarta, karena dibuang pelaku di pinggir jalan yang cukup ramai, Jalan Pemuda, depan kompleks IKIP Rawamangun, Jakarta Timur, dalam keadaan terpotong-potong. Di sebuah karung plastik putih yang dicampakkan di jalan itu, pada 8 April lalu, ditemukan bagian kepala, dengan wajah yang telah dirusak, sepasang tangan tanpa telapak, sepasang paha, dan kaki bagian bawah yang mengenakan celana jeans. Penyidikan mayat itu, selama pekan pertama, sempat "terbelok" ke Nyonya Yuli Kaledara. Sebab, dua hari setelah potongan mayat itu ditemukan, seorang laki-laki bernama Abraham melaporkan pada polisi bahwa ibunya, Yuli, istri Sersan Mayor Jones R. Mano "menghilang" sejak tiga hari sebelum mayat itu ditemukan. Ternyata Yuli Kaledara memang masih bugar. Direktris dua perusahaan itu kini berada di Australia untuk mengurus bisnis hasil laut dan minyak yang dikelolanya. "Puji Tuhan, kabar itu tak benar. Saya masih hidup," kata Ny. Yuli, yang biasa dipanggil Syul, pada koresponden TEMPO di Sydney, Dewi Anggraini. Sebenarnya para ahli kedokteran forensik di Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (dulu LKUI) sejak 12 April itu sudah memastikan bahwa mayat itu bukan Yuli. "Sebab, ciri fisiknya sudah kelihatan. Rahang korban oval, sementara rahang Yuli persegi," ujar dr. Abdul Mun'im, yang telah 17 tahun bekerja di lembaga itu. Teka-teki mayat dipotong tujuh itu mulai terungkap Senin pekan lalu. Pada hari itu kamar mayat RSCM kedatangan tamu keluarga Agus Nasir dari Jalan Percetakan Negara, Rawasari, Jakarta Pusat. Agus datang bersama anak sulungnya, Iis, dan seorang saudaranya bermaksud mengenali mayat itu, karena istrinya, Nyonya Hodiah, menghilang dari rumah sejak tanggal 7 April atau sehari sebelum potongan mayat itu ditemukan. Guru wanita kelahiran Bandung yang sudah mengajar selama hampir 12 tahun itu, menurut rekan-rekannya, kelihatan mengajar murid-muridnya terakhir kali pada tanggal 5 April, tiga hari sebelum mayat potong tujuh ditemukan. Setelah itu, sejak tanggal 6 sampai 11 April kebetulan sekolah libur. Tapi ketika sekolah dibuka lagi, 12 April, Diah tak pernah muncul lagi. Kepada keluarga Diah yang datang ke RSCM, para dokter memperlihatkan kepala mayat dan potongan tubuh yang lain, dan sejumlah foto potongan tubuh korban. Iis dan saudara Diah memastikan: korban itu adalah Hodiah, atau biasa dipanggil Ibu Diah, guru Taman Kanak-Kanak Trisula yang lulus dari Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak Bandung 1963. "Itu ibu saya," kata lis. Tapi anehnya, ayah Iis atau suami Diah, Agus, menyangkal bahwa potongan mayat itu istrinya. Berdasarkan foto-foto Diah dari keluarganya, tim dokter RSCM semakin yakin bahwa korban memang guru TK tersebut. Foto-foto itu sangat mirip dengan gambar rekaan bagian kedokteran forensik LKUI itu. Kemiripan itu pada ciri lahiriah: rambut berombak, bibir yang agak turun ke bawah, dagu yang agak lancip dan tahi lalat. Selain itu juga terkumpul data kesamaan golongan darah dan kesamaan antara taksiran umur (40-45) dan usia Diah (46 tahun). Pada foto diri Diah terlihat bahwa guru TK itu memiliki dua andeng-andeng di bagian dahi kanan dan di bawah lubang hidung kanan. Tampaknya bukan suatu kebetulan bahwa justru di dua tempat tanda khusus itu, wajah korban disayat. Agaknya si pembunuh sengaja menghilangkan identitas tersebut. Jadi, dari tiga titik hitam di wajahnya, hanya satu -- di dekat sudut bibir kiri -- yang disisakan. Dua hari kemudian, dua rekan Diah, sesama guru di TK Trisula, Nizma dan Nyonya Sugiastuti, diminta datang ke RSCM. Kedua guru itu, menurut sumber TEMPO, membenarkan mayat tersebut mirip Diah. Dalam pengakuan kedua rekan Diah itu pada TEMPO, mereka agak gemetaran melihat foto mayat itu. "Sebab, kaki mayat itu mulus seperti kaki Ibu Diah. Bibir, tahi lalat, dan dagunya juga mirip dengan Ibu Diah," ujar Nizma. Menurut mereka, warna kulit Diah memang kuning langsat dan bersih tanpa cacat. Sejawat Diah itu menggambarkan bahwa gigi bagian bawah rekannya yang hilang itu tidak rata. Dan menurut mereka, rambut Diah sudah mulai dua warna. "Kami memang pernah bilang pada Ibu Diah, 'itu rambutnya sudah beruban. Disemir dong'," ujar Sugiastuti. Mereka juga memastikan pakaian korban. "Ibu Diah memang suka mengenakan celana blue jeans pada acara santai," ujar mereka serempak. Malah, pada teman-temannya Diah pernah menyarankan, kalau mau membeli jeans murah, di Bandung. Keterangan itu cocok dengan potongan kaki mayat, yang ketika ditemukan masih dibalut celana jeans biru. Panjang telapak kaki korban semula diperkirakan oleh bagian identifikasi nomor 37. Perkiraan itu dibantah rekannya. "Bukan. Kaki Ibu Diah satu nomor lebih besar dari kaki saya, yang nomor 37," kata rekannya. Ternyata, ketika dipasangkan sepatu berukuran 38, pas benar dengan telapak kaki korban. Kamis pekan lalu, bukti-bukti itu semakin bertumpuk. Bintara Djumanto secara tak sengaja menemukan "bukti berharga" di dermaga Bicing, Tanjungpriok. Pada subuh itu Djumanto, yang sedang tugas jaga di sebuah kapal di dermaga Kolinlamil, berniat memancing ikan di dermaga tersebut. Ketika berjongkok, ia mengendus bau busuk dari sebuah karung plastik putih yang terdampar di bawah dermarga. Beberapa saat kemudian, ketahuan karung itu berisi badan batas bawah leher sampai pangkal paha wanita setinggi 70 cm. "Badan mayat ini adalah pasangan tubuh mayat yang ditemukan di Jalan Pemuda," kata sumber TEMPO. Artinya, tubuh korban dibuang terpisah dengan jarak sekitar 22 km. Berdasarkan "penemuan" Djumanto itu, diperkirkan tinggi tubuh korban sekitar 155 cm. Sayangnya, bagian depan badan mayat itu telah hancur membusuk. Tapi pakaian dalam korban, berupa BH berwarna cokelat dan celana dalam biru, masih utuh. Korban juga mengenakan pembalut menstruasi yang sudah kurang populer bagi wanita kota, yaitu handuk kecil yang dilipat dan ditempelkan ke celana dalam dengan dua buah peniti. Soal menstruasi ini tampaknya klop dengan keterangan anak terkecil Diah, Sinta. Menurut Sinta, pada 7 April itu ibunya sering tak berpuasa karena "berhalangan". Selain itu, dan ukuran dan warnanya, kata sumber TEMPO, "Pakaian dalam itu dipastikan oleh keluarga korban sebagai milik Diah." Demikian juga pembalut wanita yang "unik" itu memang suatu kebiasaan Diah. Persoalannya kini siapa yang membunuh Diah dan apa motifnya. Kecurigaan polisi, sementara ini, tertuju kepada suami korban, Agus Nasir, Kepala SMA Muhammadiyah, Jalan Garuda, Kemayoran. Semula kepada anaknya ia mengaku tak tau ke mana istrinya pergi. Tapi ia, konon, ogah-ogahan ketika didesak anaknya berangkat ke RSCM untuk mengenali wajah mayat potong tujuh. Padahal, ketika itu Diah sudah sepuluh hari menghilang dari rumah. "Agus bicaranya mencla-mencle," kata sumber itu. Kepada petugas polisi, Agus semula mengatakan bahwa ia tidak tahu sama sekali ke mana istrinya kabur. "Waktu saya bangun pukul 9 pagi, istri saya sudah tidak ada," kata sumber itu, menirukan ucapan Agus. Lucunya, di kesempatan lain, Agus mengaku tahu istrinya pergi dengan membawa uang Rp 150 ribu. Kecurigaan itu semakin menukik karena Agus pada 11 April -- 3 hari setelah mayat ditemukan -- menemui Kepala Sekolah TK Trisula, Nyonya Syafinah. "Dia memberi tahu bahwa besok istrinya tidak dapat mengajar karena akan pergi ke Bandung menengok bapaknya yang sedang sakit," kata sumber TEMPO. Sepekan kemudian -- atau sehari setelah melihat potongan mayat di RSCM -- Agus kembali menemui Kepala Sekolah TK, Syafinah, dan membayar utang istrinya Rp 300.000 -- sama dengan tiga bulan gaji Diah. Kabarnya, uang itu dulu dipinjam Diah untuk melunasi uang muka rumah BTN. Setelah itu, kata sumber TEMPO lagi, Agus menghilang. "Katanya mau mencari istrinya ke daerah." Ke mana Agus? Guru-guru di SMA Muhammadiyah II, Jalan Garuda, juga sedang bingung. Sebab Agus, atau yang biasa dipanggil Pak Nasir, kepala sekolah di situ, sejak 18 April sampai Sabtu pekan lalu tak kelihatan batang hidungnya. Pada 18 April itu Pak Nasir, yang dikenal pendiam dan tenang, datang ke sekolah. Dengan terburu-buru ia menemui karyawan tata usaha untuk menyerahkan kunci soal Ebtanas dan sepucuk surat. Surat itu berisi mandat agar Susilo, Wakil Kepala Sekolah, menggantikan kedudukannya sebagai Ketua Panitia Ebtanas. "Kami merasa ada keanehan. Tidak seperti biasanya Pak Nasir begitu. Biasanya sih langsung ngobrol," kata Tomo, salah seorang guru di sekolah itu. Sejak hari itu ia menghilang. Padahal, justru pada hari itu tengah diselenggarakan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Sebagai kepala sekolah, Nasir bertugas sebagai Ketua Panitia Ebtanas yang ikut mengoreksi hasil ujian. Menurut Tomo, Pak Nasir, yang sudah 10 tahun menjabat kepala sekolah itu, adalah seorang pendidik yang sangat disiplin. Terkadang ia bisa membuat lelucon, tapi tak segan pula menegur keras bawahan atau muridnya yang tidak disiplin. Dalam pengamatan Tomo, sebelum Nasir pergi, ia tak melihat ada perubahan pada diri Nasir. Meskipun begitu, menurut beberapa guru, pimpinan mereka itu sebetulnya menyimpan masalah. Kabarnya, setelah orangtuanya meninggal dua bulan lalu, Nasir harus ke luar dari rumah milik orangtuanya di Jalan Percetakan Negara itu, yang selama ini ditempati bersama kakak perempuannya. Kabarnya, Nasir bingung tak tahu harus ke mana. "Saya tak punya rumah," katanya. Karena itu, kabarnya, Nasir meminjam uang dari adik istrinya untuk mengambil rumah BTN di kawasan Depok. Mungkin karena itu pula, konon, sebelum mayat potong tujuh itu ditemukan, Agus alias Nasir sempat bertengkar dengan istrinya. Diah ketika itu meminta sejumlah uang untuk membayar uang muka rumah kredit BTN. Saat itu, katanya, Agus tak dapat memenuhi permintaan istrinya. Tapi, menurut sebuah sumber lain, Agus seorang pencemburu kelas berat. Suatu ketika, katanya, Diah menerima ballpoint berukir nama seorang pria. Melihat itu, kontan darah Agus mendidih dan berniat menyatroni laki-laki itu. Ternyata ballpoint itu cuma hadiah dari murid Diah, seorang bocah laki-laki. Lalu apa motif pembunuhan? Sampai saat ini belum jelas. "Melihat latar belakang kehidupan Diah, sulit menentukan motif pembunuhannya," ujar sumber di Polda Metro Jaya. Sampai pekan ini polisi masih mencari Agus Nasir tadi. Tapi sebuah sumber lain merasa yakin, pembunuhnya orang upahan. "Si pembunuh berdarah dingin dan pasti mengetahui anatomi tubuh manusia," katanya. Apalagi potongan mayat korban diletakkan si pelaku di pinggir jalan. "Sebagai tanda pada pemberi order bahwa pekerjaan telah selesai." Dengan itu, juga terlihat bahwa si pelaku sangat yakin bahwa identitas mayat tak mungkin ditemukan -- karena sidik jari dan ciri khusus korban telah dilenyapkan. Mengapa mayat harus dipotong-potong? Masih belum jelas. Tapi dugaan keras, "Untuk memudahkan pengangkutan dan meghilangkan jejak." Dan yang pasti lagi, pembunuhan ltu suatu yang telah direncanakan sebelumnya. Semua tuduhan terhadap Agus Nasir itu tentu saja belum bisa dipastikan kebenarannya. Sebab, menurut rekan sekerja Diah, Agus sangat sayang kepada istrinya itu. "Ke mana-mana Diah selalu diantar dengan Honda bebek," kata Nizma. Para tetangga Diah juga membenarkan kehidupan keluarga Agus Nasir itu sangat rukun. Keponakan Diah, Titin, juga punya pendapat yang sama. "Pak Agus dan Ibu Diah selalu rukun. Kalau bertengkar, juga masih dalam batas kewajaran," katanya.Bunga Surawijaya, Tommy Tamtomo, Ardian, dan Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum