Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mentah Perkara Di Jalur Perdata

Dua putusan perdata di Jakarta dan Singapura memenangkan Jakarta International School. Bertolak belakang dengan putusan pidana.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN via WhatsApp itu menyela kesibukan Putri-bukan nama sebenarnya-menyiapkan soto untuk sarapan pagi anaknya pada Senin pekan lalu. Pengirimnya kuasa hukum Putri, yang siang itu bersidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Waktu di rumah Putri, di salah satu kota di Eropa, terpaut lima jam dengan waktu Jakarta.

Melalui telepon, Putri menuturkan lagi kekagetannya pagi itu. "Gugatan kita ditolak. Bagaimana, Bu?" kata Putri menirukan sang kuasa hukum, Selasa pekan lalu. "Kita harus banding," begitu Putri membalas. Ia menambahkan, "Kasus ini tak boleh tenggelam."

Putri adalah orang tua siswa yang melaporkan anaknya, sebut saja Leo, mengalami kekerasan seksual di Taman Kanak-kanak Jakarta International School. Ia melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Maret tahun lalu. Setelah kejadian tersebut, Putri lebih sering tinggal di Eropa. "Untuk meredakan trauma anak saya," ujarnya.

Atas laporan Putri dan kesaksian Leo, polisi menangkap enam petugas kebersihan alih daya yang bekerja di sekolah dengan iuran US$ 2.000 per bulan itu. Mereka adalah Agun Iskandar, Virgiawan Amin alias Awan, Afriska Setiani, Zainal Abidin, Azwar, dan Syahrial. Belum sempat disidang, Azwar meninggal dalam tahanan polisi. Belakangan, polisi juga menahan dua anggota staf JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong.

Sewaktu polisi mengusut laporan kejahatan seksual tersebut, pada April tahun lalu, Putri mendaftarkan gugatan perdata. Ia menggugat pengelola Jakarta International School, Indonesia Servant Service?(perusahaan penyedia layanan kebersihan), serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian turut digugat karena Putri menganggapnya lalai mengawasi pendidikan anak usia dini tanpa izin di kompleks JIS. Putri lalu menuntut ketiga lembaga tersebut membayar ganti rugi US$ 125 juta.

Pekan lalu, dalam putusannya, majelis hakim menilai gugatan perdata Putri cacat formal. "Penggugat tidak memasukkan petugas kebersihan dalam tuntutannya," kata ketua majelis hakim, Haswandi. Menurut hakim, Putri seharusnya memasukkan kelima petugas kebersihan dalam gugatan karena mereka diduga terlibat langsung dalam kasus ini.

Putusan majelis hakim perdata sama sekali tak memasukkan kesaksian ahli yang didatangkan selama persidangan. Hakim menolak gugatan Putri hanya dengan alasan gugatan tersebut kurang pihak. "Putusannya memang antiklimaks karena tidak menyinggung pokok persoalan," kata kuasa hukum JIS, Harry Ponto. Meski begitu, Harry berharap putusan perdata tersebut berdampak positif pada perkara pidananya.

Di jalur pidana, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memvonis empat petugas kebersihan delapan tahun penjara pada Desember tahun lalu. Seorang petugas kebersihan lainnya divonis tujuh tahun penjara. Lalu, awal April lalu, pengadilan yang sama memvonis Neil dan Ferdinant sepuluh tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Neil dan Ferdinant masih mengajukan permohonan banding.

****

PUTUSAN perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menambah poin kemenangan Jakarta International School. Pada pertengahan Juli lalu, sidang perdata di Pengadilan Tinggi Singapura juga memenangkan JIS melawan salah seorang wali murid, sebut saja Gabriella.

Tak lama setelah Putri melapor ke polisi, Gabriella juga mengadukan kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya, panggil saja Anthony, ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Ketika berada di Singapura, Gabriella juga pernah membeberkan kasus yang menimpa anaknya kepada sejumlah media.

Empat penggugat lalu "mengeroyok" Gabriella dengan tuduhan pencemaran nama di pengadilan Singapura. Mereka adalah manajemen JIS, Kepala Sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar JIS Elsa?Donohue, Neil Bantleman, dan Ferdinant Tjiong. "Di sana, pencemaran nama masuk ranah perdata," kata kuasa hukum JIS, Harry Ponto.

Mengutip putusan pengadilan Singapura nomor perkara 779 tahun 2014, Harry menjelaskan sejumlah poin yang menguntungkan pihak JIS. Antara lain, Gabriella tak bisa membuktikan kekerasan seksual pada anaknya. Sebaliknya, hakim merujuk pada hasil pemeriksaan medis dari KK Women's and Children's Hospital Singapura. Hasil visum pada akhir April tahun lalu itu tak menunjukkan luka di sekitar lubang dubur anak Gabriella.

Menurut hakim Lee Seiu Kin, keterangan Gabriella di sejumlah media juga merugikan JIS karena mendahului pemeriksaan polisi. Apalagi Gabriella sempat menyebut sekolah menghalangi pemeriksaan polisi dan mengubah tempat kejadian perkara. Padahal, menurut hakim, pihak sekolah telah melibatkan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) dalam penyelidikan internal mereka.

Gabriella tak pernah sekali pun menghadiri persidangan di pengadilan Singapura. Dia juga tak menunjuk pengacara untuk membela diri. "Dia malas meladeni mereka di Singapura," kata Putri. Ia mengaku terus berkomunikasi dengan Gabriella, yang baru melahirkan anak ketiganya.

Akhirnya, hakim Singapura menghukum Gabriella membayar ganti rugi Sin$ 230 ribu. Rinciannya, ganti rugi untuk JIS Sin$ 30 ribu, Elsa dan Neil masing-masing Sin$ 70 ribu, serta Ferdinant Sin$ 60 ribu. "Itu untuk kerugian materiil maupun nonmateriil," kata Harry.

Menurut Harry, putusan di Singapura merupakan angin segar untuk kubu JIS. Ia berharap putusan hakim Singapura bisa mengubah persepsi sejumlah kalangan yang telanjur mengecap pihak JIS bersalah. Bahkan, Harry berharap, hakim Indonesia memakai putusan pengadilan serta visum rumah sakit Singapura sebagai pertimbangan dalam memutus permohonan banding Neil dan Ferdinant.

Sebelum ada putusan banding atas perkara Neil dan Ferdinant, Putri tak mau ambil pusing dengan kekalahan dia di jalur perdata. Alasannya, pertarungan sesungguhnya ada di ranah pidana. Putri juga berharap hakim banding di Jakarta tak terpengaruh oleh kedua putusan perdata itu. "Setelah putusan banding keluar, kami baru memikirkan langkah berikutnya," ujar Putri.

Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Made Sutrisna, memastikan putusan pengadilan Singapura tak berpengaruh pada putusan hakim di Jakarta. "Kecuali jika ada bukti esensial. Itu pun, kata Made, "Hanya untuk pertimbangan, bukan untuk meringankan."

Syailendra Persada, Ninis Chairunnisa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus