Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pembunuh-Pembunuh Gila

Sahat martua sihite, togi hutagaol & jumiran, ketiganya yang menderita penyakit jiwa, membunuh anggota keluarganya sendiri di sum-ut. polisi memeriksakan ke psikiater untuk memastikan kesehatan jiwanya.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBUNUHAN semakin sering dilakukan oleh penderita penyakit jiwa. Dua pekan lalu, misalnya, Sahat Martua Sihite, di Desa Lumban Dolok, Kecamatan Dolok Sanggul, Tapanuli Utara, membantai istri dan dua anaknya hingga tewas bersimbah darah. Seorang penderita penyakit jiwa lainnya, di Medan, Togi Hutagaol, membelah batok kepala adiknya, Hotlan. Sementara itu, Jumiran di Binjai menikam istrinya, Ponisah. Dari ketiga kasus itu, yang paling mengenaskan tentulah kasus Sahat Sihite, 35 tahun. Sejak sebulan lalu ayah empat anak itu, yang semula periang dan rajin, mendadak pemurung dan malas bekerja. Malam-malam ia sering ketakutan. Tapi beberapa hari kemudian, tanpa sebab pula ia bisa pulih. Pada 10 Agustus lalu penyakit aneh Sahat muncul lagi. Karena itu, Rinolda memanggil dukun. Sahat terlihat berangsur pulih. Pada 15 Agustus lalu, ia meminta istrinya, Rinolda boru Simamora, 32 tahun, menyiapkan makan siang. Bininya tentu saja riang karena mengira suaminya mulai sembuh. Dia pun buru-buru masak. Apalagi sang dukun, yang tengah mengobati Sahat, bersama tiga orang famili lain menyatakan akan ikut makan bersama. Selesai memasak, Rinolda pun dengan tenang membawa makanan itu ke rumah. Tanpa ba-bi-bu, mendadak saja Sahat mengayunkan parang bertubi-tubi ke arah tangan, muka, dan kepala istrinya. Rinolda tewas di tempat itu juga. Kedua anak mereka, Carli (10 tahun) dan Sanggam (1 1/2 tahun), yang menyusul ibunya naik ke rumah, pun dibabat Sahat dengan parangnya. Begitu anak dan istrinya terkapar, entah kenapa Sahat tersadar. Ia pun panik dan segera menghambur ke tengah kampung, sambil berteriak histeris. Sekejap saja kampung itu gempar, dan penduduk beramai-ramai menangkap Sahat. Kini, di tahanan polisi, penyakit Sahat bertambah parah. Hampir setiap malam ia mengigau dan sering linglung. "Ditanya apa sudah makan, misalnya, ia malah bicara ngawur," ujar Kasat Serse Polres Tapanuli Utara, Lettu. Jos Lumbangaol, pada TEMPO. Penyakit serupa juga menimpa Togi Hutagaol, 28 tahun, penduduk Medan Baru. Sejak 1986 ia mengidap gangguan jiwa. Telah berkali-kali ia dibawa istrinya ke Rumah Sakit Jiwa Medan, tapi tak juga sembuh. Sementara Togi sakit, adik kandung satu-satunya, Hotlan, 26 tahun, membantu keuangan rumah tangganya. Sebab, istri Togi, yang lagi hamil pertama, tak bekerja apa-apa selain mengurus suaminya itu. Ternyata, Togi marah besar ketika tahu Hotlan suka memberi istrinya uang. Tanpa bicara apa-apa, Togi langsung saja memukul adiknya dengan sepotong besi, ketika si Hotlan, 7 Agustus lalu, bertamu ke rumah kakaknya. Ia tewas di tempat itu juga. Anehnya, begitu adiknya tewas, Togi tenang saja -- seperti tak terjadi apa-apa. Ia pun tak kaget ketika polisi menangkapnya. Kepada polisi ia ngotot bahwa yang dibunuhnya hanyalah seekor kambing. Di Binjai, 25 kilometer dari Medan, seorang istri, Ponisah, 26 tahun, menemui ajalnya juga akibat dieksekusi suaminya, Jumiran, 30 tahun, yang menderita gangguan jiwa. Penyakit si suami bermula dua tahun lalu, ketika lelaki itu jatuh dari sebuah pohon rambutan. Sejak itu Jumiran sering bingung dan memarahi bininya tanpa pasal. Melihat gejala itu, kerabatnya memboyong Jumiran ke RS Jiwa Medan. Tapi belum sembuh betul, ia sudah dibawa pulang. Ternyata, di rumah ia masih sering kumat sehingga istrinya terpaksa pergi ke rumah orangtuanya, meninggalkan dia dan empat orang anaknya. Jumiran rupanya kalap karena sikap istrinya itu. Pada 8 Agustus lalu, ia diam-diam menyusul ke rumah mertuanya. Melalui pintu belakang, ia menyusup ke dalam rumah. Nah, begitu melihat bininya, Jumiran mencabut belatinya, menikam leher dan dada wanita itu. Anehnya, setelah itu dengan tenang ia pergi, seperti tak terjadi apa-apa. Pekan lalu, polisi daerah itu sibuk memeriksakan para terdakwa pembunuhan itu ke psikiater untuk memastikan kesehatan jiwa mereka. Sebab, bila terbukti sedang sakit jiwa ketika melakukan pembunuhan -- kendati setelah itu sadar lagi -- mereka bebas dari tanggung jawab hukum. Hanya saja, tak mudah untuk membuktikan soal tersebut. Bersihar Lubis (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus