TENAGA kerja wanita (TKW) Indonesia mulai beralih ke Jepang. Lima tahun mendatang, konon, Daiichi Entertainment bakal merekrut 5.000 sampai 10.000 orang. ''Bisnis dengan Indonesia baru dimulai,'' kata Hirofumi Inoue, pemimpin RICT Group yang membawahkan Daiichi. Sialnya, belum jauh melangkah, Inoue sudah ditohok tujuh ''artis'' yang baru pulang ke Indonesia. Katanya, mereka merasa ditipu. Misi kebudayaan yang dalam surat kontrak disebut ''entertainment'' itu dianggap cuma kedok. Setelah tiba di Jepang, mereka dijadikan hostes. Dan muncullah cerita seram: dipeluk, diraba, dan diajak kencan. Buntutnya, PT Kharisma Arya Rinjani (KAR), yang mengirim tujuh ''artis'' itu dari Jakarta, digugat Rp 7 miliar (TEMPO, 31 Juli 1993). Padahal, menurut Inoue, pihaknya justru melindungi artis. ''Siapa bilang mereka dipaksa melayani seperti pelacur?'' ujarnya. Jika hal itu betul, perusahaannya bisa rugi 10 juta yen, digulung pemerintah. Ucapan Inoue itu dikuatkan oleh Siti Komariah, Marlinawaty, Made Yani Astariani, dan Rini Mulia Sari. Rabu pekan lalu, mereka menemui Soebagiyo Wiryohadisubroto, Konsul Jenderal Indonesia di Kobe, Jepang. ''Kami betah di sini,'' kata Siti, yang hampir tiap malam menari jaipong di Pub Pleasant. Di Jepang kini ada 64 ''artis'' Indonesia bekerja di pub dan kelab malam. Tampaknya, ada yang saru antara artis dan hostes. Karena tidak jelas, awalnya Siti kaget diharuskan menemani tamu ngobrol atau membuat minuman beralkohol. Tapi lama-lama ia terbiasa. Marlinawaty, yang pintar menari Bali, juga senang menyalakan api rokok tamunya. ''Saya kira itu normal,'' katanya. Ia bekerja di kelab Odoriko. Mengenai ada tamu yang kerajinan tangan, itu memang dialami Marlinawaty. Misalnya, ada yang menaruh tangan di pahanya. ''Biasanya saya tolak secara halus. Tangan itu saya pindahkan ke pahanya sendiri,'' katanya. Seusai kontrak enam bulan, ia tidak memperpanjangnya. Orang tuanya melarang. Mereka bekerja mulai pukul 20.00 sampai 03.00 di kelab malam elite di Fukuoka. Selain mendapat asuransi kesehatan dan uang makan Rp 8.500 per hari, mereka memperoleh setengah dari shimeiryo alias uang booking sebagai teman ngobrol tamu, yang per jamnya Rp 10.000. Menurut Made Yani, uang booking-nya sebagai bintang kelab Sanshiro sampai Rp 300.000 per bulan. Maka, ia tidak mempersoalkan gajinya yang sekitar Rp 1 juta sebulan karena yakin akan dibayar kalau pulang ke Indonesia. Tapi pengakuan mereka tadi belum memuaskan Soebagiyo. Agaknya, ia akan mengecek di 14 kota yang tersebar di delapan provinsi. Apalagi, sebelumnya, Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Departemen Tenaga Kerja, Ismail Soemaryo, menegaskan, PT KAR adalah perusahaan liar. ''Semua perusahaan yang mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri harus seizin kami,'' ujar Ismail. Awal Februari tahun lalu, Daiichi mengirim stafnya ke Jakarta untuk mencari rekanan bisnis pengiriman artis. Empat bulan kemudian ketemu pemimpin PT KAR, David dan Hidayat A.R. Yasin. Perantaranya Seizo Yamada. Ia memperkenalkan diri sebagai karyawan Japan International Cooperation Agency (JICA) instansi pemerintah Jepang. ''Kami membuat kontrak kerja sama dengan KAR yang diteken Desember lampau,'' kata Inoue. Setelah itu, KAR dan Yamada minta bantuan modal. RICT membuka kerannya untuk KAR sekitar Rp 60 juta. Tapi KAR minta uang itu dikirim melalui Intelligent Co. Ltd., perusahaan Yamada. Pelacakan TEMPO di Departemen Kehakiman Jepang di Tokyo menunjukkan, perusahaan ini menjual suku cadang barang elektronik di Tokyo, tidak bergerak di bidang hiburan. ''Jika Yamada-san terlibat bisnis ketika masih bekerja di JICA, ini salah besar. Sebab, semua pembantu yang dikontrak JICA dilarang melakukan kegiatan untuk kepentingan pribadi,'' kata Takashi Kaneko, juru bicara JICA. Sejak 17 September 1992 sampai 7 April 1993, Yamada dipekerjakan di Indonesia dalam penelitian untuk proyek kerja sama teknologi. Yamada, 54 tahun, mengaku tak pernah mencampuradukkan urusan Daiichi dengan KAR. ''Kini saya memang penyelia di PT KAR. Ketika memperkenalkan Daiichi kepada PT KAR bulan Mei tahun lalu, saya belum dikontrak JICA,'' katanya. Yamada, yang rajin bolak-balik Jakarta Tokyo, boleh saja cuci tangan. Menurut Inoue, sekitar bulan Desember 1992, saat PT KAR mengurus izin pengiriman hostes ke Jepang dari Bina Perjalanan Wisata, Ditjen Pariwisata, Yamada pula yang berperan sebagai penghubungnya. Pihak KAR kini praktis berjuang sendiri menangkis gugatan yang disebut tadi. ''Gugatan itu tidak logis,'' ujar Direktur Keuangan KAR, Hidayat A.R. Yasin, kepada Ricardo Indra dari TEMPO. ''Kalau tidak suka dengan perlakuan tamu, ya, tolak. Dan jika dipaksa kan bisa melapor ke polisi,'' katanya. Hidayat juga membantah pernyataan Ismail. ''Perusahaan kami tidak liar. Kami tak berhubungan dengan Departemen Tenaga Kerja. Sebagai perusahaan impresariat, kami bernaung di bawah Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi,'' katanya. Di jalur ini agaknya ada yang ganjil sehingga diributkan Departemen Tenaga Kerja. Apalagi kini ada 85 ''artis'' yang, konon, dikoordinasi KAR. Menurut sumber TEMPO di Tokyo, sudah 13 orang mendapat visa untuk meraup yen di Jepang. Andi Reza Rohadian (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini