DUA bocah membunuh. Satu lantaran cinta monyet, dan seorang lagi karena idiot. Nasrul (bukan nama sebenarnya) diperkarakan di Pengadilan Negeri Pati, Jawa Tengah. Senin pekan lalu, siswa kelas dua madrasah tsanawiah ini dituntut 10 tahun penjara. ''Terdakwa memiliki bakat sadistis,'' kata Jaksa Nyoman Sutamaya tentang anak berusia 14 tahun itu. Suatu hari pertengahan Januari lalu, Nasrul libur. Dia mencegat Sri Eni Lestari, 13 tahun, yang pulang sekolah, di kebun tebu yang sepi. Nasrul menggagahi Sri, setelah korban dicekiknya sampai lemas. Sehabis itu, ia mengambil bolpoin di saku Sri dan menusukkannya ke leher gadis itu. Tewas. Sepeda dan dua cincin Sri disikatnya. Mayat Sri ditemukan warga dua hari kemudian. Polisi yang dilapori segera mengusut. Nasrul langsung dicurigai karena ada indikasi ia pernah menyurati Sri seminggu sebelum kejadian. Surat cinta itu rupanya bertepuk sebelah tangan. Padahal, dalam surat itu, Nasrul menyatakan ingin mempersunting korban. Bocah ini ditangkap di pondokannya, Margorejo. ''Ia suka mengintip wanita mandi. Pengantin baru yang sedang melakukan hubungan suami-istri juga suka diintipnya,'' tutur Ramidi, Kepala Desa Margorejo. Nasrul adalah anak seorang modin di desa tersebut. Lain lagi kisah remaja Totok (juga bukan nama sebenarnya). Bocah berusia 11 tahun itu kini diadili di Pengadilan Negeri Surabaya. Ia dituduh membunuh Wahyu Hidayat, 12 tahun, teman sepermainannya. Ini kejadiannya. Suatu siang pertengahan Februari lalu, ia bersama Wahyu dan kawan-kawan mandi di kolam di Jalan Kalianak, Surabaya. Mereka bertanding renang. Totok kalah. Bocah yang dikenal sebagai anak T-4, alias tempat tinggal tidak tetap, dan tak jelas keluarganya itu lalu marah. Ia memiting kepala Wahyu dan membenamkannya ke kolam. Sewaktu ribut-ribut itu, seorang satpam yang bekerja tak jauh dari lokasi itu buru-buru mendekati mereka. Terlambat. Wahyu sudah tewas. Totok ditangkap polisi. Kepada teman satu selnya, Yusuf Ambon, ia mengaku pernah mencelurit seorang sopir opelet di Malang, sampai tewas. Akibatnya, menurut Totok, ia dihukum dua tahun. Tapi, ketika hal ini dicek di Pengadilan Negeri Malang, tak ada terdakwa di bawah umur bernama Totok yang dihukum karena membunuh. Bisa jadi, cerita itu bualannya saja. ''Kami sekeluarga juga sering dikibuli,'' kata orang tuanya, Mulyadi, pedagang es kaki lima, yang tinggal di Malang. Anak ketiga dari empat bersaudara itu sejak berusia lima tahun diasuh neneknya. Ia disekolahkan di Sekolah Luar Biasa Bhakti Luhur, Malang, sampai kelas satu. Belum lima bulan belajar, ia minggat. Kemudian terkabar, Totok diadili di Surabaya. Menurut pemeriksaan Dokter Fatimah Haniman, penyelia ruang jiwa anak RSUD Dokter Sutomo Surabaya, pembicaraan dan pikiran anak itu suka meloncat-loncat. Juga disebutkan, Totok gemar mengkhayalkan hal aneh-aneh, bodoh, keras kepala, dan mau menang sendiri. Kesimpulannya: tersangka idiot. Memang, saat akan diadili pun, Totok malah petantang- petenteng. Ketika ditemui Widjajanto dari TEMPO, ia berkacak pinggang sambil mengisap rokok dalam-dalam, dan dengan enteng mengaku bahwa ia membunuh karena korban menantang duel. Di kolam itu, Wahyu dipiting dan dibenamkannya ke air sampai tewas. Setelah itu, ia naik opelet. Mau lari? ''Tidak. Justru saya sedang menguber polisi,'' kicau Totok, seperti umumnya penderita megalomania. ''Putusan sidang tetap akan mempertimbangkan keterangan saksi ahli,'' kata Hakim Yusnia S. Prawoto. Sidang ditunda sampai Senin pekan ini. Widi Yarmanto dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini