RUMAH besar berpilar tinggi itu dari depan tampak sepi. Hanya dua mobil parkir. Tapi di belakang ada sepuluh mobil baru, ya, BMW, Baby Benz, dan juga Porsche. Dari dalam rumah dentuman bas terdengar bertalu-talu. Tak pelak lagi: ada keriaan di balik pagar besi tinggi berlapis fiberglass buram itu. Saat malam masih mentah, 20 anak muda berusia 25-35 tahun santai mengobrol di tepi kolam renang: bergosip atau cerita pengalaman ke luar negeri saat liburan Tahun Baru lampau. Di antara mereka ada satu-dua model, artis, dan selebritis muda. Mereka menebar wanginya aroma escapade dan opium. Rata-rata mereka baru satu-dua tahun bekerja, tapi mengantongi kartu kredit Amex dan Visa dengan fasilitas tanpa batas -- sulit diperoleh jika mengandalkan gaji. Mereka adalah anak segelintir orang Indonesia yang beruntung mendapat porsi terbanyak kue pembangunan. Larut malam, seseorang membagi pil merah jambu. "Setengah saja, ya," pesannya. Tak lama kemudian, satu per satu mulai bengong, gigi gemertak, bola mata bergerak kiri-kanan. Tenang sejenak, lalu semua ceria. Sebagian bergerak pelan ke dekat pengeras suara. Lalu, tubuh- tubuh yang terbungkus Gianni Versace dan Ungaro itu bergerak liar, menggoyang pinggul yang terbelit Ettiene Aigner. Satu-dua pasangan menyelinap ke kamar. "Ya, itu urusan pribadilah," ujar seorang sumber, enteng. Terus begitu, tanpa terkesan lelah. Menjelang pagi baru mereka pulang. Pesta begini belakangan ngetrend di kawasan mewah Jakarta. "Tak harus ada yang ulang tahun," kata sebuah sumber kepada Joewarno dari TEMPO. Kalau mau kumpul, tinggal pijit handphone saja. Pesta di diskotek dianggap tak mode lagi. Mereka malah kembali ke gaya awal dasawarsa Orde Baru, yakni pesta di rumah pribadi. Bedanya, tanpa orang tua. Sebab, pesta dilakukan di rumah yang kesekian -- umumnya kosong, atau dihuni oleh orang yang diupah. Di sanalah obat sejenis Ecstacy alias Inex dianggap aman diedarkan. Inex bukan satu-satunya penyebar semangat di pesta itu. Kokain berkadar 40-50% pun sering beredar, tapi kurang disukai, sebab dianggap riskan jika dihirup melalui hidung (snore). Padahal, efeknya tak berbeda jauh dengan Inex: "ketawa-ketiwi" juga. Kalaupun mereka membeli kokain, itu hanya buat gengsi. Harganya sekitar Rp 200 ribu per gram, dan satu orang perlu tiga gram untuk happy sampai pagi. Inex Rp 100 ribu per butir, bisa dipakai dua orang. Sejak kasus Ria Irawan meledak di media massa, pesta-pesta gedongan meredup. Inex yang terseret-seret jadi berita dalam perkara itu pun kini sulit didapat. Padahal, tanpa sang pil setan ini, pesta anak muda level "Pondok Indah" dianggap bagai gulai kurang garam. Para pengedar agaknya tiarap dulu satu-dua bulan ini. Minat para pecandunya pun ikut guncang karena robohnya Aldi di rumah Ria Irawan luas dikabarkan akibat obat setan. "Ngeri, nek. Kalau nanti mulut ike berbusa, bagaimana?" kata sumber TEMPO yang juga dijangkiti ketakutan kolektif itu. Namun, tak berarti riwayat Inex dan sejenisnya bakal tamat. "Ah, nanti juga ramai lagi," kata seorang pengedar. Bahkan, ia berani meramal, kelak bukan Inex lagi yang muncul, tapi jenis baru yang lebih asoi -- dan konon lebih aman. "Gue nggak tahu barangnya kayak apa. Bule kan pintar, bisa aja bikin macam-macam," ujarnya dengan mata berbinar, mungkin, membayangkan laba yang bakal datang. "Lumayan buat makan sehari-hari," ia sontak tertawa keras. Anehnya, ramalan sang pengedar hampir cocok dengan perkiraan sebuah sumber TEMPO di kepolisian: tahun ini bakal beredar jenis obat baru yang diduga keras mengandung heroin. Namanya Flipes -- di mancanegara dijuluki pil kuda. Obat ini diperkirakan sudah tiba di negeri kita, tapi disembunyikan di suatu tempat di Solo. Tentu tak mudah melacak kepastiannya. Beberapa tahun terakhir ini, dunia farmakologi memang diramaikan penemuan baru. Seperti diulas majalah Newsweek edisi 7 Februari 1994, trend baru dalam pembuatan pil-pil penenang kini berbeda dengan tiga dasawarsa silam. Pada masa itu, dari banyak laboratorium muncul obat-obat penenang yang mengaktifkan saraf, dari jenis stimulan, hipnotika, sampai halusinogen. Banyak yang lalu digolongkan ilegal dan berbahaya karena menghajar jantung dan saraf serta menyebabkan ketergantungan. Tapi farmakologi 1990-an berorientasi lain: menciptakan obat- obat yang hanya memperbaiki satu bagian otak yang mengatur perasaan tertentu. Misalnya, untuk mereka yang harus tampil di panggung -- tapi pemalu -- ada racikan khususnya. Atau buat penonton, agar tak canggung mengacungkan tangan bila tukang sulap minta pemain dari hadirin. Di Amerika Serikat, sejak 1988 sudah beredar Prozac untuk antidepresi. Pelanggannya adalah para manajer tingkat menengah yang bersaing ketat di arena karier. Berbekal Prozac, mereka tampil lebih percaya diri. Produsennya pun panen US$ 1,2 miliar di seluruh dunia. Meski bukan untuk teler -- buat santai serta agar tak kenal lelah dan tampak pintar -- pil ini lumayan menggoda untuk dipakai pesta kelas elite. Apalagi ada jaminan pabrik, pemakainya tak bakal punya ketergantungan pada pil ajaib ini. Namun, baik juga diingat, obat-obatan era farmakologi 1960-an, seperti Valium dan kokain, juga dijanjikan tak bakal menimbulkan efek adiktif (ketergantungan). Toh ternyata buktinya lain.Ivan Haris dan Taufik Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini