Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Memburu biang narkotik mencari ganti khun sa

Laporan PBB menyingkapkan bisnis narkotik di kawasan segita tiga emas kian berkibar, sekaligus menggedor penduduk dunia agar lebih sigap memerangi sumber bencana bagi generasi mendatang umat manusia.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAWAT! Penghuni kolong langit ini ternyata tak hanya harus cemas ihwal bolongnya lapisan ozon, yang masih ramai diperdebatkan, tapi ada ancaman nyata kian meriahnya peredaran aneka obat setan, yang perlu porsi perhatian global untuk menumpasnya. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum lama ini tentang situasi narkotik di dunia, pada intinya menggedor perhatian segenap masyarakat di bumi ini. Misalnya, diungkapkan produksi opium dan heroin makin meningkat, serta diiringi sistem pemasarannya yang kian piawai. Sungguhpun segala upaya telah dikerahkan untuk membatasi bisnis dahsyat itu, baik oleh para lembaga internasional maupun pemerintah masing-masing, hasilnya tetap minim. Buktinya, produksi opium melonjak dari sekitar 700 ton tahun 1985 menjadi 3.500 ton tahun 1991. Menurut perhitungan International Narcotics Control Strategy, jumlah ini cenderung melonjak terus. Sebagai faktor pemacu adalah munculnya sumber baru, yang disebut Golden Crescent atau Bulan Sabit Emas -- di daerah perbatasan Pakistan, Afganistan dan Iran. Memang, sejauh ini kawasan Segi Tiga Emas tetap merupakan pemasok terbesar di dunia, yang mengisi 75% jatah pasar. Dari ketiga negara yang terlibat, Myanmar tetap produsen terbesar, dan Laos penghasil terkecil. Thailand, yang berhasil memberantas tanaman opium secara besar-besaran di wilayahnya beberapa tahun lalu, kini berubah sebagai pusat transaksinya. Meningkatnya produksi Segi Tiga Emas itu ditopang oleh jaringan kurir yang efisien serta rute-rute baru yang sulit dilacak. Ini membuat terperangah Donald F. Ferrarone, pejabat baru kantor perwakilan Drug Enforcement Administration Amerika Serikat di Bangkok. "Saya kaget sekali melihat besarnya kekuatan organisasi (bisnis) itu, dan mantapnya sistem mereka," kata Ferrarone kepada Asian Wall Street Journal. Ia pertama kali bertugas di sana 10 tahun silam. Menurut sumber kantor pengawasan masalah narkotik pemerintah Thailand (ONCB), dari sekian kelompok atau tokoh bisnis opium dan heroin di Segi Tiga Emas, ada sekitar tiga yang menonjol. Mereka tinggal di wilayah Myanmar, dan semuanya keturunan Cina, kendati kewarganegaraannya berbeda. Yang pasti, semuanya memegang lebih dari satu paspor. Tokoh paling terkenal adalah Khun Sa alias Chang Chi-fu, si raja opium yang dijuluki "musuh nomor satu dunia" oleh para pejabat anti narkotik. Didukung 15.000 pasukan gerilya, Khun Sa memiliki sekitar 25 kilang heroin di daerah Mae Hong Son, dekat perbatasan Thailand. Penghasilan tambahan diperolehnya dari cukai terhadap tiap karavan keledai, baik yang mengangkut opium, heroin, atau permata jade (giok), yang lewat di wilayah kekuasaannya, yakni hampir seluruh Negara Bagian Shan. Khun Sa menyerahkan pemasaran komoditinya ke sindikat yang masih keluarga dekatnya. Dengan penghasilan ratusan juta dolar AS tiap tahun, ia mampu menanam orangnya di berbagai lembaga vital dalam pemerintahan negara sekitar Segi Tiga Emas. Misalnya, ia biasa mensponsori pendidikan seorang pemuda sampai universitas ataupun akademi angkatan bersenjata. Jadi, tidak aneh jika dalam jangka waktu dua dasawarsa saja, Khun Sa punya akses ke tokoh-tokoh penting, misalnya di Thailand, Malaysia, Hong Kong, dan Taiwan. Bahkan di Amerika Serikat dan Eropa pun Khun Sa diberitakan mempunyai orang- orangnya. Dan orang yang disponsori sang godfather harus keturunan Cina. Sekali menjadi anggota sindikat, berarti kontrak mati. Jika mencoba berkhianat, riwayatnya dihabisi tanpa banyak cingcong. Keanggotaannya amat dirahasiakan, dan sebagai imbalan buat kesetiaan total itu, Khun Sa menjamin segala kebutuhan si anak buah -- termasuk jika tertangkap dan dipenjara, serta semua kebutuhan keluarganya terus ditanggung. Kini, kabarnya, dominasi Khun Sa mulai ketemu tandingan. Setelah adanya jalan-jalan baru dari Kunming, di Provinsi Yunan (Cina), ke Panghsang, Man Hpai, dan Keng Tung (Myanmar), terbuka peluang bagi kelompok suku Wa dan suku Kokang untuk terjun pula dalam bisnis narkotik di utara Shan. Dan Khun Sa tetap menggunakan rute Bangkok untuk kargonya. Sedangkan kedua kelompok saingannya mengambil jalur utara, terus ke selatan menuju Shanghai dan Hong Kong. Menurut wartawan Swedia, Bertil Lintner, yang mengamati masalah Myanmar dan bisnis narkotik di Segi Tiga Emas, tokoh yang berambisi menyodok posisi Khun Sa antara lain adalah seorang buron pemerintah Beijing, bernama Lin Mingxian. Ia diduga kuat bersaing dengan Khun Sa. Dari tempat persembunyiannya dekat Daluo di Yunan, Lin menguasai kerajaan heroin yang konon meliputi Laos, Vietnam, Kamboja, dan seluruh Provinsi Yunan. Menurut sumber pejabat anti narkotik Amerika Serikat di Bangkok, peningkatan jumlah opium tahun ini berasal dari wilayah kekuasaan Lin. Seperti Khun Sa, Lin pun mempunyai sindikat kuat, dengan anggota di mana-mana. "Jika kampanye tentara Myanmar berhasil melumpuhkan kekuatan Khun Sa, Lin Mingxian itulah yang mungkin menggantikannya sebagai raja opium Segi Tiga Emas," kata Lintner. Bukan di segi produksi saja terlihat gejala wabah obat terlarang ini harus dicemaskan, tapi jaringan kurirnya pun kini lebih efisien dan inovatif. "Mereka lihai sekali mengaduk-aduk sistem kurir dan droping, hingga mempersulit pelacakan kami," kata Lintner. Memang, para sindikat itu masih menggunakan rute tradisional, yaitu lewat jalur udara, dari Bangkok, ke tempat-tempat transit -- seperti Kuala Lumpur, Singapura, Jakarta, dan Denpasar. Namun, belakangan pengiriman juga makin banyak dilakukan lewat kapal laut, dari pelabuhan Klong Toey di luar Bangkok, menuju ke Taiwan atau Malaysia dan Indonesia. Kapal nelayan yang berlayar di sekitar Laut Cina Selatan sering dipakai membawa heroin dan opium. Dan tahun lalu, sebuah kapal berawak Indonesia tertangkap dekat pantai barat Australia, bermuatan 3.000 ton ganja (cannabis) atau mariyuana. Cara yang masih sering digunakan adalah kurir manusia lewat udara. Mereka yang diringkus petugas bea cukai di kota transit seperti Singapura, Kuala Lumpur, Jakarta, atau Denpasar umumnya berasal dari Dunia Ketiga. "Kebanyakan dari Bangladesh dan Nepal, sebab bisa dibayar murah. Dengan kurang dari US$ 5.000, mereka terbujuk untuk membawa barang terlarang itu," kata seorang petugas anti narkotik di Bangkok. Kini ada gejala menggunakan orang asal Afrika, terutama dari Nigeria, sebagai kurir ke Eropa. Menurut keterangan dari kantor Regional Intelligence Liaison dari PBB Asia-Pasifik, kurir asal Afrika yang terbanyak dipakai, dan 39% dari penangkapan di Bandara Don Muang di Bangkok, ya, orang benua hitam itu. Disusul dengan orang Asia Tenggara dan orang Barat. Kemiskinan agaknya telah merangsang orang untuk menjadi "keledai heroin". Mereka tergiur ditawari liburan ke luar negeri, cuma-cuma dan mendapat uang saku lagi. Syaratnya, ya, mau membawa titipan kecil saja, uncang berisi heroin 2 sampai 4 kilogram. "Jika tertangkap, risikonya kecil. Pemerintahnya pun jarang mempedulikan nasib mereka," kata seorang agen. Menurut pengalaman mereka, dari 120 kurir, tak lebih dari tiga yang kena tangguk pihak keamanan. Cara membawanya juga beragam. Ada yang menyelipkan heroin di lipatan kopor, ada yang disumpalkan di pakaian dalam. Sedangkan di antara kurir Afrika yang tertangkap di Bangkok, ada yang memuat heroin di dalam kondom, dan menelannya. Dalam perhitungannya, barang yang masuk perut tentu mudah keluar lagi. Cuma, sebelum sampai di tujuan, si pembawa terserang sakit di perutnya -- biasanya sesaat sebelum naik pesawat: salah satu kondom itu malah pecah di lambungnya. Seandainya si kurir sukses tiba di tempat transit, bungkusan berisi heroin atau opium itu dioperkan lagi ke kurir lainnya -- biasanya orang Barat. Dari titik transit sampai ke tujuan terakhir, seperti Australia, Eropa, atau Amerika, si pembawa barang mesti orang yang "bersih". Maksudnya, tidak memiliki tanda atau latar belakang nasional yang bisa mengundang kecurigaan. Diatur pula, misalnya, stempel terakhir di paspornya bukan menunjukkan dia datang dari negeri yang masuk daftar cekal. Jika si pembawa itu tiba dari Thailand atau Pakistan, kontan ia akan ditanya macam-macam oleh petugas imigrasi, dan kopornya pun pasti di-rosok ketat di pabean. Tapi kalau datangnya dari Singapura ataupun Jakarta, kecurigaan agak berkurang. Itu sebabnya, Singapura dan Jakarta mereka pilih sebagai batu loncatan yang dianggap aman. Muangthai memang bukan lagi produsen heroin utama. Namun, Bangkok tetap menjadi pusat transaksi maupun landasan pengiriman opium dan heroin Segi Tiga Emas. Di antara ibu kota di Asia Tenggara, adalah Bangkok yang memiliki syarat yang dibutuhkan para pedagang narkotik. Misalnya, dari segi keuangan, mata uang lokalnya kuat. Kurs uang baht dengan dolar Amerika cukup stabil dalam 10 tahun ini. Selain itu, ketentuan penukaran valuta asing fleksibel, dan urusan transfer uang dalam jumlah besar relatif mudah. Dan yang penting, bank-banknya dikuasai warga keturunan Cina. Di bagian ini keunggulan Bangkok, hingga tetap berperan sebagai kunci jaringan sindikat narkotik. Singkatnya, bisnis narkotik di kawasan Segi Tiga Emas sah diketahui kian berkibar. Meskipun di atas kertas tampak sudah peta permainan bisnis obat setan ini, toh sebegitu jauh penanggulangannya bagai urusan berketiak ular, atau laksana orang menghasta kain sarung alias tak kunjung ketemu ujung-pangkalnya. "Rasanya kita seperti berurusan dengan setan betulan. Namun, tak ada jalan selain terus memburu biangnya," ujar seorang petugas anti narkotik di Bangkok.Yuli Ismartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum