PEMUKA agama, kok, membunuh. Dakwaan inilah sekarang yang dipikul Morton Sitompul, 41 tahun, seorang sintua -- jabatan di bawah pendeta gereja Kristen -- di depan Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Sumatera Utara. Ia dituduh membunuh anak kandungnya sendiri, Pardamean Sitompul, 12 tahun. Kejadiannya pertengahan tahun silam. Jaksa Mukhtasar Dalimunte menuntut Morton dengan hukuman dua tahun penjara. Padahal, muasal peristiwa ini sangat sepele. Yakni, gara-gara empat butir telur yang dijual Pardamean seharga Rp 800 kepada Tiorina Pasaribu. Ternyata, telur yang dijual itu busuk. Tentu saja pemilik warung nasi di Desa Aekparupuk, dekat Kota Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, itu meminta agar Morton mengembalikan duitnya. Meski tak tahu urusan, Morton dengan tulus menggantinya. Celakanya, cerita yang beredar di seantero desa kemudian jadi bengkok. Sebab, Tiorina sempat menghidangkan telur yang dibelinya itu kepada tamunya -- dan ternyata busuk. Ini segera luas menjadi gunjingan: anak pendeta menjual telur busuk. Morton malu jadinya. Sebagai sintua, ia memang kerap menasihati jemaatnya di gereja. Sasus telur busuk belum reda, bumbu gosip kian marak ketika si anak minggat dua hari dari rumah dan bolos pula dari sekolahnya. Dan lebih meriah lagi, sampai pula ke telinga Morton cemooh yang lumayan pahit. Misalnya, ia diejek pintar berkhotbah saja, tapi gagal mengurus anaknya sendiri. Di tengah riuh gunjing dan cemooh itu, dua hari kemudian, Pardamean muncul, dan bertemu dengan sang ayah pukul 21.00 di belakang rumah mereka. Morton yang tinggi kekar ini lalu menyepak pinggul anaknya. Tapi Pardamean mengelak sehingga ayunan kaki Morton tiba di tengkuknya. Mendapat cuatan dahsyat begitu, bocah kelas 5 SD ini kontan roboh. Setelah Pardamean terkapar, eh, Morton malah menginjak rusuknya. Nyek! Si anak pun diam. Melihat itu, baru Morton panik. Di luar hitungannya, bahkan Pardamean diam menuju alam damai untuk selama-lamanya. Kemudian memang diakui Morton betapa aib membunuh anaknya sendiri. Namun, saat itu ia mengusung jasad anaknya ke bawah pohon jambu, 25 meter dari rumahnya. Tak jelas siapa yang ingin dikelabuinya, Morton tenang mengikatkan tali nilon ke leher korban, lalu memanjat pohon itu. Tali dikereknya hingga jasad anaknya menggelantung. Itu babak pertama. Dan babak kedua dimainkannya pada hari berikutnya. Sepulang dari sawah pada siang harinya, Morton meraung-raung sambil berteriak bahwa anaknya telah mati bunuh diri. Mendengar itu, tetangganya datang berhamburan. Polisi yang dilapori pun segera datang. Setelah polisi menyidik mayat dan memboyong barang bukti tali nilon tadi, Pardamean pun dikuburkan. Saat itu semua penduduk desa percaya bahwa Pardamean yang malang itu memang mati bunuh diri. Namun, hidung polisi menciumnya lain. Begitu selesai penguburan korban, Morton diusut. "Mulanya dia ngotot, tapi akhirnya mengaku," kata Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Selatan, Letnan Kolonel Tato Suprapto, kepada TEMPO. Kecurigaan polisi dasarnya sederhana saja. Agak mustahil anak seusia Pardamean mengalami frustrasi dan kemudian memilih mati dengan cara menghabisi nyawa sendiri. Selain itu, lidah Pardamean tidak terjulur sebagaimana layaknya orang yang tewas menggantung diri. Di bagian ini Morton mungkin kurang lengkap membaca komik detektif. Walhasil, istri Morton, Rosmalawaty, pun segera menghukum suaminya dengan cara ogah menjenguknya di tahanan. Ibu lima anak ini bahkan tak memberi tahu Morton bahwa anak bungsu mereka sudah meninggal akibat sakit. Dalam sidang-sidangnya yang masih berjalan, Morton menjadi pemurung. Ia malah pernah mau bunuh diri di balik tembok tahanan. Sering tumbuh penyesalan pada dirinya. Semasa anaknya hidup, petani miskin ini mengaku cuma mampu memberi jajan bonbon -- dan itu pun hanya sekali dalam seminggu.Bersihar dan Affan Bey Hutasuhut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini