GANJA di Aceh sudah dikenal sejak ratusan tahun. Baik ditanam sebagai tanaman tumpangsari di kebun tembakau, maupun tumbuh liar di daerah pegunungan. Dan daun serta biji ganja biasa dipakai penyedap gulai. Di Aceh, ganja jarang dirokok, karena aromanya sudah "kawin" di kebun tembakau tadi. Yang gila dan mabuk ganja justru orang di luar Aceh. Mereka inilah kemudian yang mengubah citra ganja Aceh hingga terkesan daerah ini sebagai sarang ganja. Bagi pecandu ganja, konon, jenis ganja Aceh dianggap terbaik di dunia. Tanaman pembangkit rasa nirwana ini sulit dimusnahkan selama masih ada burung dan kelelawar, yang secara alamiah berfungsi turut mengembangbiakkannya. Tanaman perdu yang mengandung zat kanabinoid -- dikategorikan narkotik -- ini bisa dipanen enam bulan sekali. Ladang utama ganja Aceh terutama di Beutong Ateuh, Lokop, Blangkejeren, dan sekitar Kota Takengon -- keempatnya masing-masing di Kabupaten Aceh Barat, Timur, Tenggara, dan Tengah. Dulu harga ganja kering di Aceh Rp 60.000 per kg. Setelah itu menjadi Rp 200.000 per kg, walau dibeli dalam partai besar. Jika diecer laku Rp 30.000 per ons. Di Jakarta, Rp 120.000 - 150.000 per ons, atau segaris. Sama dengan di Bali, berkisar Rp 1,5 juta per kg (lihat: Duyung Lenyap, Obat Setan Merayap). Pernah berkali-kali jaringan perdagangan ganja dari Aceh digunting. Namun, tetap muncul lagi. Adanya operasi Serangan Fajar oleh Polres Aceh Tengah dan Kopassus di Beutong Ateuh, Oktober tahun lalu, untuk sementara melumpuhkan mereka. Kebun ganja seluas 250 hektare, dan 2,5 ton ganja kering milik Bantaqiah dimusnahkan. Selain 12 petani ganja, yang berwajib juga menangkap Bantaqiah, 55 tahun, yang pernah menghebohkan Aceh. Dari ayah tujuh anak ini ditemukan uang 150 baht Thailand. Bantaqiah -- kini dijuluki Khun Sa dari Aceh -- diciduk di Desa Blang Meurandeh, di tengah hutan perawan di kaki Gunung Singgahmata. Ia mengaku menanam ganja sejak tahun 1990 karena terpengaruh Cut Ali, yang kini kabur. Menurut Bantaqiah kepada TEMPO, ia menanam ganja untuk beroleh duit membiayai pesantrennya. Saat ditangkap, ia mengaku masih punya tagihan Rp 18 juta pada seorang temannya di Kota Sigli atas penjualan 110 kg ganjanya. Operasi kedua dilancarkan awal November lalu oleh Komando Resor Militer (Korem) 011/Lilawangsa. Ditemukan lagi 40 hektare ladang ganja dan 30 ton hasil panen pengikut Bantaqiah di pedalaman Aceh Barat dan Tengah. Hingga pekan lalu, Bantaqiah belum disidangkan. "Masih dalam penyidikan pihak kejaksaan," kata Kolonel H. Sridono, Komandan Korem 011/Lilawangsa di Lhokseumawe. Setelah ladang ganja Bantaqiah dimusnahkan, 1.430 warga Beutong Ateuh malah menjadi beban pemerintah daerah dan ABRI. Mereka disantuni. "Sejak awal Desember, kami mendrop 30 ton beras dan lauk-pauk. Droping kedua dilakukan awal bulan ini," kata T. Rosman, Bupati Aceh Barat.WY, Munawar Chalil, dan Marhiansyah Aziz (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini