Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Minta Terbatas Diberi Seluasnya

Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi soal peninjauan kembali yang diajukan Antasari Azhar. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini sudah menyiapkan "peluru" baru untuk mengajukan permohonan PK lagi.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Antasari Azhar tak segera bangkit dari kursi saat majelis hakim konstitusi usai membacakan putusan. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu sibuk menyeka air mata dengan tisu yang diberikan Boyamin Saiman, koordinator tim kuasa hukumnya. Padahal skenarionya tidak seperti itu. Sehelai sajadah yang sudah disiapkan Boyamin dalam tasnya pun batal digelar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis sore dua pekan lalu.

Antasari baru beranjak dari tempat duduknya setelah dipersilakan majelis hakim, yang akan membuka lagi sidang perkara berikutnya. Duduk terpisah oleh Ajeng Oktarifka Antasariputri, anak kandung Antasari, Boyamin tak sempat lagi mengingatkan Antasari untuk bersujud syukur di depan hakim. "Tadinya saya juga akan membawa kain kafan, tapi tak sempat beli," ujar Boyamin, Rabu pekan lalu, menceritakan skenario bila permohonan uji materi oleh Antasari ditolak Mahkamah Konstitusi.

Hari itu majelis hakim yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva ternyata mengabulkan judicial review yang diajukan Antasari. Bersama istri, Ida Laksmiwaty, dan putrinya, Antasari menguji Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan upaya peninjauan kembali hanya bisa dilakukan satu kali. Kini, setelah pasal itu disetip Mahkamah Konstitusi, Antasari berpeluang mengajukan permohonan PK untuk kedua kalinya. "Kami sedang menyiapkan langkah itu," kata Boyamin.

1 1 1

Dari balik jeruji besi, Antasari tak pernah berhenti melawan. Lelaki 61 tahun itu tak terima divonis 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran.

Nasrudin ditembak setelah pulang bermain golf di Padang Golf Modernland, Tangerang, Banten, 14 Maret 2009. Setelah menangkap para pelaku lapangan yang menghabisi Nasrudin, polisi menahan Antasari dan bekas Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Wiliardi Wizar. Polisi juga menangkap Sigid Haryo Wibisono, Komisaris Utama PT Pers Indonesia Merdeka, yang dekat dengan Antasari dan Wiliardi.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, jaksa mendakwa Antasari berkomplot dengan Wiliardi dan Sigid untuk membunuh Nasrudin. Motifnya, menurut jaksa, Antasari tak ingin perselingkuhan dia dengan Rhani Juliani, istri siri Nasrudin, diungkap ke khalayak ramai.

Dasar tuduhan jaksa antara lain pesan pendek berisi ancaman terhadap Nasrudin. Dua advokat yang dekat dengan Nasrudin, Jeffry Lumampouw dan Etza Imelda Fitri, mengaku pernah ditunjukkan SMS ancaman itu oleh korban. Bunyinya: "Maaf Mas, masalah ini cukup kita berdua saja yang tahu, kalau sampai ter-blow up, tahu konsekuensinya."

Sebelas hari setelah vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Antasari melaporkan trio hakim yang menghukumnya ke Komisi Yudisial. Dia juga mengajukan permohonan banding, lalu kasasi.

Antasari menuduh hakim mengabaikan sejumlah fakta di persidangan. Fakta itu, menurut pengacara Antasari, Maqdir Ismail, antara lain keterangan ahli teknologi informasi Institut Teknologi Bandung, Agung Harsoyo.

Di persidangan, Agung menyebutkan SMS ancaman Antasari terhadap Nasrudin sulit dibuktikan. Kalaupun di telepon Nasrudin ada pesan bernada ancaman, itu bisa dikirim dari web server tanpa diketahui pemilik nomor yang tercantum sebagai pengirim. Apalagi cip telepon seluler Nasrudin yang disebut berisi SMS gelap itu pun tak pernah dibuka di persidangan karena rusak.

Antasari juga mempersoalkan barang bukti peluru dan senjata api. Menurut dia, hakim mengabaikan keterangan ahli senjata bahwa dua peluru 9 milimeter yang ditemukan di kepala Nasrudin tak cocok dengan barang bukti senjata api, yaitu revolver kaliber 0,38 tipe S&W. Ahli senjata menyebutkan peluru itu cocok untuk senjata api jenis FN.

Keterangan forensik dan balistik itu sempat dianggap penting oleh hakim agung Surya Jaya. Dalam putusan kasasi, Surya berbeda pendapat dengan ketua majelis Artidjo Alkostar dan anggota lain, Moegihardjo. Menurut Surya, hakim pengadilan pertama seharusnya tidak mengesampingkan kesaksian itu, yang bisa menentukan pelaku sesungguhnya. "Ada penerapan hukum yang keliru," ucap Surya dalam putusan itu. Meski ada dissenting opinion, majelis hakim kasasi menguatkan putusan pengadilan di bawahnya.

Pada September 2010, Antasari menempuh upaya hukum luar biasa: memohon peninjauan kembali. Dia mengajukan tiga bukti yang ia anggap baru (novum). Bukti itu berupa 28 lembar foto jenazah sebelum dan sesudah otopsi, kesaksian dari ahli senjata, serta transkrip hasil penyadapan telepon Antasari dan Nasrudin. Namun, pada 13 Februari 2013, lima anggota majelis hakim peninjauan kembali bulat menolak permohonan Antasari.

1 1 1

Kegagalan beruntun itu tak menyurutkan tekad Antasari. Apalagi, belakangan, dia mendapat "suntikan" dukungan dari keluarga Nasrudin. Setelah menerima penjelasan dari Antasari, keluarga Nasrudin ragu bekas juru bicara Kejaksaan Agung itu terlibat pembunuhan. Mereka pun menyokong Antasari mempraperadilankan polisi, yang dianggap tak serius mengusut laporan SMS gelap ke telepon Nasrudin.

Sewaktu Antasari mengajukan uji materi Pasal 268 ayat 3 KUHAP, Andi Syamsuddin Iskandar, adik Nasrudin, juga menggugat pasal yang sama ke Mahkamah Konstitusi. Pada 8 Maret 2013, Andi Syamsuddin mengajukan permohonan uji materi bersama Boyamin Saiman, yang juga koordinator tim kuasa hukum baru Antasari. Menurut mereka, pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali merugikan hak konstitusional warga negara untuk mencari keadilan.

Pasal 268 ayat 3 KUHAP sebenarnya pernah dua kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Dalam uji materi pada 2010, misalnya, pemohon meminta aturan yang memba­tasi peninjauan kembali dibatalkan, baik dalam perkara pidana maupun perdata. Pemohon juga meminta ketentuan yang sama dalam Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Kehakiman dibatalkan. Tapi gugatan itu ditolak karena dianggap terlalu umum.

Antasari dan kuasa hukumnya memakai strategi berbeda agar permohonan mereka tak ditolak dengan alasan pasal itu pernah diadili (ne bis in idem). Di samping berfokus pada perkara pidana, mereka mempertentangkan pasal KUHAP itu dengan pasal berbeda dalam konstitusi: Pasal 28 C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini menjamin setiap warga negara mendapatkan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.

Antasari juga tak meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 ayat 3 KUHAP secara total. Mereka meminta pasal itu dinyatakan konstitusional bersyarat.

Menurut KUHAP, peninjauan kembali bisa dilakukan dengan tiga syarat: karena ada keadaan baru (novum), ada putus­an hakim yang bertentangan, dan ada kesalahan yang nyata dalam penerapan hukum. Nah, menurut Boyamin, Antasari hanya ingin membuka peninjauan kembali yang didasari novum. Itu pun khusus novum yang bisa diuji secara ilmu dan teknologi. Misalnya bila ada software baru yang bisa membuktikan bahwa SMS gelap untuk Nasrudin itu palsu atau dikirim bukan dari nomor telepon Antasari.

Untuk mendukung gugatannya, Antasari mengajukan sejumlah saksi ahli, seperti Yusril Ihza Mahendra, Romli Atmasasmita, Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pak­pahan, dan Agung Harsoyo.

Setelah mendengar jawaban pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi menggelar rapat musyawarah hakim. Rapat pada 22 Juli 2013 itu dipimpin Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi yang belakangan terjerat kasus korupsi. Dalam musyawarah, semua anggota hakim konstitusi sepakat mengabulkan uji materi oleh Antasari. Adapun uji materi oleh Andi Syamsuddin dan Boyamin ditolak karena kedudukan hukum (legal standing) mereka dianggap lemah.

Putusan uji materi oleh Antasari baru dibacakan 6 Maret lalu, ketika jabatan Ketua Mahkamah telah beralih ke tangan Hamdan Zoelva. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam penerapan hukum acara pidana.

Menurut Mahkamah, prinsip kepastian hukum dalam hukum acara pidana harus menjamin keadilan bagi terdakwa. Proses acara pidana hingga tingkat kasasi, menurut Mahkamah, dirancang untuk menjamin kepastian hukum itu. Adapun peninjauan kembali dibuka untuk menjamin agar terdakwa bisa memperoleh keadilan. "Pencapaian kepastian hukum sangat layak untuk diadakan pembatasan, tapi upaya pencapaian keadilan hukum tidaklah demikian," ujar Hamdan Zoelva ketika membacakan putusan.

Sementara Antasari meminta pintu peninjauan kembali dibuka secara terbatas, Mahkamah Konstitusi malah membuka seluas-luasnya. Mahkamah menyatakan Pasal 268 ayat 3 KUHAP bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Titik. Tak ada catatan tambahan apa pun.

Mendapat peluang besar, Antasari pun bersiap-siap mengajukan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Tapi, menurut Boyamin, langkah itu baru akan ditempuh setelah pimpinan pemerintahan berganti. "Antasari selama ini merasa jadi korban kekuasaan," kata Boyamin.

Dalam waktu dekat, Antasari akan berfokus mengumpulkan novum sembari memperkuat argumen hukum. Salah satunya kini ia bersiap menggugat rumah sakit yang dicurigai "melenyapkan" baju Nasrudin. Bila rumah sakit menunjukkan baju Nasrudin, Antasari akan meminta pengujian darah di baju tersebut. "Itu penting untuk pembuktian adanya rekayasa atau tidak," ujar Boyamin.

Jajang Jamaludin


Naik-Turun PK Pidana

Putusan Mahkamah Konstitusi membuka lebar pintu peninjauan kembali menimbulkan reaksi berbagai kalangan. Ada yang gembira, ada yang cemas.

Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali, misalnya, tak menyembunyikan rasa kagetnya ketika mendengar putusan itu. Dia sampai mempertanyakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa putusan PK boleh berulang demi kepentingan hak asasi para terdakwa. "Memangnya selama ini di mana pelanggaran hak asasinya," ujar Hatta, seperti ditirukan juru bicara MA, Ridwan Mansyur, kepada wartawan.

Jaksa Agung Basrief Arief juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap dampak putusan itu. Menurut dia, peluang itu bisa disalahgunakan terpidana kasus korupsi atau narkotik yang ingin menunda-nunda eksekusi. Tapi dia mengaku tak punya pilihan karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. "Mau bilang apa lagi? Kami harus menjalankan putusan itu," ujar Basrief.

Reaksi keras datang dari ahli hukum acara pidana Andi Hamzah. "Itu salah kaprah," ucap Andi. Di negeri asalnya saja, Belanda, kata dia, PK baru boleh dilakukan setelah 10 tahun sejak putusan. Karena itu, menurut Andi, dalam rancangan KUHAP yang kini dibahas DPR bersama pemerintah, yang dirancang bukan PK berulang, melainkan sistem sidang ulang.

Dalam rancangan KUHAP, bila terpidana mengajukan novum, Mahkamah Agung hanya memutuskan boleh-tidaknya perkara itu disidang ulang. "Bila novumnya betul, dikirim ke bawah." Jadi, bukan Mahkamah Agung yang mengulang sidang, melainkan pengadilan negeri.

Namun tak semua memandang pesimistis atas dibukanya lebar-lebar pintu PK ini. Anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrahman Sahuri, misalnya, melihat hal positif dari putusan itu. Menurut dia, putusan ini memberi kesempatan bagi pihak yang belum mendapat keadilan, meski putusan PK pertama sudah diketuk hakim agung. "Kalau sesudah diputus PK ada novum yang kuat, kan bisa membantu orang mendapatkan keadilan," kata Taufiqurrahman.

Meski begitu, Taufiqurrahman mengakui, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut rawan disalahgunakan pihak-pihak yang ingin mencurangi keadilan. Karena itu, Komisi Yudisial menyarankan Mahkamah Agung segera membuat peraturan baru yang terang-benderang mengenai tata cara pengajuan permohonan PK.

Tanggapan bernada optimistis juga disampaikan Arsil, Kepala Divisi Kajian Hukum Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Menurut dia, kekhawatiran atas kemungkinan permohonan PK diajukan lebih dari satu terlalu berlebihan. Sama seperti Taufiqurrahman, dia melihat putusan MK itu memberi harapan kepada korban salah tangkap, salah tuntut, atau salah vonis. "Kita mesti jujur, saat ini peradilan kita masih bermasalah," tutur Arsil.

Kekhawatiran akan naiknya tumpukan perkara, menurut Arsil, juga perlu diuji. "Seberapa signifikan potensi penambahan arus perkara tersebut," ujarnya.

Menurut perhitungan LeIP, dalam lima tahun terakhir, jumlah perkara yang masuk ke MA rata-rata hampir 13 ribu per tahun. Sekitar 5.000 di antaranya (40 persen) adalah perkara pidana. Dari angka itu, jumlah permohonan PK pidana per tahun rata-rata 400—sebanyak 7 persen perkara pidana atau 3 persen dari total perkara di MA.

Karena panjangnya proses menuju peninjauan kembali, menurut Arsil, terpidana yang terkena hukuman di bawah satu setengah tahun kemungkinan besar tak akan mengajukan permohonan PK berulang. Begitu pula pemohon PK yang sudah dikabulkan. Mereka tak mungkin mengajukan permohonan PK lagi. Walhasil, peluang kenaikan jumlah perkara gara-gara PK bisa berulang, menurut Arsil, tak akan lebih dari 2 persen. "Kalau itu bisa lebih memenuhi prinsip keadilan, kenapa tidak?" ujar Arsil.

Sebelum keluar putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Arsil, faktor penyebab banyaknya permohonan PK adalah tidak konsistennya putusan Mahkamah Agung. Banyak orang yang sekadar coba-coba mengajukan permohonan PK dengan berharap hakim akan meringankan hukuman. "Jika MA bisa mengurangi inkonsistensi, angka PK dengan sendirinya bisa dikurangi," ujar Arsil.

Jajang Jamaludin, Indra Wijaya, Linda Trianita, Bernadette C. Munthe, Ahmad Rafiq (Solo)


TahunTotal
Perkara
Perkara
Pidana
%PK Pidana% PK Pidana
dari Total
Perkara (%)
200912.5405.62144,822965,272,36
201013.4805.77942,874067,033,01
201112.9905.45842,024267,813,28
201213.4125.32839,734528,483,37
201312.3374.60237,303377,322,73
Rata-rata12.9515.35741,353837,182,95

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus