Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kali Ini Menunggu Pelantikan

Penanganan kasus dugaan korupsi Bupati Kepulauan Sula jalan di tempat. Padahal bukti ia mendapat aliran dana dari proyek-proyek yang dikerjakan kerabatnya sendiri semakin banyak.

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan pemuda berkumpul di depan gerbang Markas Kepolisian Daerah Maluku Utara. Menggunakan berbagai atribut yang menunjukkan mereka anggota Himpunan Pelajar Mahasiswa Sula, para pemuda itu menggelar poster dan spanduk. Isinya seragam, yakni meminta Polda Maluku segera memeriksa dan menangkap Bupati Kepulauan Sula, Ahmad Hidayat Mus.

Rabu siang pekan lalu itu, lewat perangkat megafon, mereka juga meneriakkan seruan agar polisi tidak melempem menghadapi Hidayat. "Tangkap Ahmad Hidayat Mus!" ujar Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Sula, Arman Paningfat. "Kami datang untuk menagih janji Kapolda," kata Rusman, salah seorang anggota Himpunan.

Janji yang dimaksud Rusman adalah ucapan Kepala Polda Maluku Utara Brigadir Jenderal Sobri Effendi Surya pada November tahun lalu. Dua bulan setelah menggantikan Brigadir Jenderal Machfud Arifin, Sobri mengatakan akan segera memeriksa Hidayat seusai pemilihan Gubernur Maluku Utara. Hidayat sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sanana senilai Rp 23,5 miliar dan jembatan Waikolbota senilai Rp 4,7 miliar.

Pemilihan kepala daerah Maluku Utara sudah berakhir dengan ditetapkannya pasangan Abdul Gani Kasuba-M. Nasir Thaib oleh Komisi Pemilihan Umum pada 4 Februari lalu. Pada pemilihan ulang putaran kedua, yang digelar 27 Januari lalu, Abdul Gani menang tipis atas Hidayat Mus. Hasil ini membuktikan tudingan kubu Abdul Gani bahwa pada pemilihan putaran kedua, 31 Oktober 2013, telah terjadi kecurangan. Abdul memang mengadukan hal ini ke Mahkamah Konstitusi. Pada 16 Desember tahun lalu, Mahkamah pun memerintahkan pemilihan suara ulang di delapan kecamatan.

Meski kalah dalam pilkada, Hidayat Mus rupanya masih "bebas merdeka". Sumber Tempo di Polda Maluku Utara mengatakan penyidik sebenarnya sudah menyodorkan surat pencekalan dan pemanggilan terhadap Hidayat Mus dua pekan lalu. Rencananya, penyidik akan segera menahan pemilik klub kuda Taliabo itu jika nanti dia diperiksa sebagai tersangka. "Karena dia tidak kooperatif. Dulu beberapa kali dipanggil tak pernah hadir," ujar sumber itu.

Namun rencana menahan pria 45 tahun itu agaknya harus dipendam. Menurut sumber ini, surat pemanggilan Hidayat Mus masih mandek di meja Direktur Kriminal Khusus Polda Komisaris Besar Muhammad Arifin. Kepala Polda Brigadir Jenderal Sobri Effendi Surya belum memberi lampu hijau untuk memeriksa Hidayat Mus. "Baru surat permohonan pencekalannya saja yang dikirim ke Mabes Polri," kata sumber itu.

Tersendatnya penanganan kasus ini bukan yang pertama kali. Setelah Hidayat ditetapkan sebagai tersangka pada awal 2012, kasus ini mandek karena Kepala Polda Maluku Utara Brigjen Affan Richwanto diganti. Dia diganti setelah mengancam akan memanggil paksa Ketua DPD Partai Golkar Maluku Utara itu yang tak juga memenuhi panggilan penyidik pada Maret 2013. Namun, sehari setelah membuat pernyataan tersebut kepada media, Affan digeser. Posisinya diisi Brigadir Jenderal Machfud Arifin.

Di era Machfud, penanganan kasus ini kembali mandek. April tahun lalu, Machfud menghentikan sementara penyidikan kasus korupsi ini. Itu karena Hidayat Mus akan bertarung dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara pada Juli 2013. Penghentian ini perintah langsung Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI saat itu, Komisaris Jenderal Sutarman, lewat telegram rahasia bernomor STR/190/III/ 2013.

Sutarman saat itu meminta penanganan semua kasus yang berkaitan dengan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah dihentikan sementara. Alasannya, Polri tak ingin menjadi alat politik dalam pesta demokrasi daerah itu. Tak sampai setahun menjabat, Machfud dicopot setelah terungkap kedekatannya dengan Hidayat Mus, Agustus tahun lalu (Tempo, 18 Agustus 2013). Machfud pun digantikan oleh Sobri.

Kepada Tempo Jumat pekan lalu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Utara Ajun Komisaris Besar Hendrik Badar membenarkan kabar bahwa pihaknya sudah mengirimkan surat permohonan pencekalan terhadap Ahmad Hidayat Mus ke Mabes Polri. "Pagi ini kami kirimkan ke Mabes Polri," ujar Hendrik.

Sedangkan surat untuk pemanggilan Hidayat yang belum dilayangkan, Hendrik mengatakan itu lantaran proses pemilihan Gubernur Maluku Utara belum usai. Menurut dia, polisi baru akan memeriksa Ahmad Hidayat Mus setelah pelantikan dan pengambilan sumpah Gubernur Maluku Utara. "Proses pilkada baru selesai saat gubernur yang baru dilantik," kata Hendrik.

Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara A. Madjid Husen, surat usulan penerbitan keputusan presiden tentang pengangkatan dan pelantikan Gubernur Maluku Utara baru diterima Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi akhir pekan lalu. Surat diserahkan oleh Pelaksana Tugas Gubernur Maluku Utara A. Tanribali Lamo. "Rencananya, akhir bulan ini Mendagri akan ke Maluku Utara untuk melantik pasangan terpilih," ucap Madjid.

1 1 1

Penyidikan perkara korupsi Masjid Raya Sanana dan jembatan Waikolbota dimulai pada awal 2012. Kepolisian Daerah Maluku Utara sudah menetapkan enam tersangka untuk masalah ini. Selain menjerat Hidayat Mus, kasus ini menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sula, Mahmud Syafrudin; pejabat pembuat komitmen Saifudin Buamonabot; serta penggarap proyek Munawar Tjiarso Mange dan Jhainal Mus. Dua nama terakhir adalah paman dan kakak Hidayat Mus.

Munawar Tjiarso Mange dan Saifudin Buamonabot sempat kabur dan ditetapkan sebagai buron. Tapi, akhir Juli tahun lalu, keduanya ditangkap tim buru sergap Polda Maluku Utara di rumah Soenadi, ayah istri pertama Hidayat Mus, Nurrohmah, di Cilacap.

Lima dari enam tersangka sudah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Mereka adalah Mahmud Syafruddin, anggota staf Dinas Pekerjaan Umum; Saifudin Buamonabot; Munawar Tjiarso Mange, yang menjadi kontraktor proyek ini; dan Jhainal Mus.

Mahmud Syafruddin dan Saifudin Buamonabot dihukum masing-masing delapan tahun penjara plus denda Rp 300 juta dan Rp 500 juta karena dianggap menyalahgunakan kewenangan melakukan penunjukan langsung dalam kedua proyek ini. Adapun Munawar Tjiarso Mange dihukum delapan tahun penjara plus denda Rp 400 juta. Sedangkan Jhainal Mus dihukum lima setengah tahun penjara dan denda Rp 250 juta.

Dalam persidangan, Syafruddin dan Saifudin mengakui penunjukan langsung dalam proyek ini merupakan perintah Ahmad Hidayat Mus. Pengakuan ini terbukti dengan sejumlah surat persetujuan penunjukan langsung yang dikirim Hidayat Mus kepada Syafruddin yang juga dimiliki Tempo.

Selain surat itu, sumber Tempo di Polda Maluku Utara menyebutkan mereka sudah menemukan adanya aliran dana kepada Hidayat Mus dan sejumlah kerabatnya yang diduga sebagai hasil dari penyelewengan proyek. Selain menemukan aliran dana kepada Jhainal Mus senilai Rp 445 juta, penyidik menemukan aliran dana kepada ayah Hidayat Mus, M. Taher Mus, Rp 250 juta dan adik Hidayat, Kartini Mus, Rp 15 juta. Sedangkan aliran dana kepada Hidayat Mus mencapai Rp 16 miliar. Nilai ini, menurut sumber itu, baru dari dua proyek yang ditangani kasusnya oleh Polda. "Total aliran dana dari proyek lain mencapai Rp 100 miliar lebih," ujarnya.

Aliran dana itu diketahui dari beberapa perusahaan yang menjadi penggarap proyek di Kabupaten Sula. Polda, sumber itu melanjutkan, juga telah membuktikan bahwa sejumlah perusahaan tersebut fiktif dan dikendalikan kerabat sang Bupati. "Perusahaan itu hanya sebagai modus untuk mengambil uang APBD Kabupaten Sula," kata sumber itu.

Selain menangani kedua proyek itu, Mabes Polri menangani kasus korupsi pembangunan Jalan Falabisahaya-Auponhia-Mangoli-Waisakai senilai Rp 167 miliar, pembangunan Jalan Gela-Tikong-Lede senilai Rp 105 miliar, dan pembangunan Jalan Samuya-Losseng senilai Rp 7 miliar, yang juga melibatkan Ahmad Hidayat Mus. Modus penyelewengannya juga sama: proyek ini dilakukan dengan penunjukan langsung kepada perusahaan yang dikendalikan kerabat Hidayat.

Kasus Hidayat Mus memang sudah masuk Badan Reserse Kriminal Polri pada Maret lalu, tapi penanganannya terkesan terkatung-katung, tak jelas. Saat ditanya Tempo perihal perkembangan kasus ini, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Suhardi Aliyus—yang menggantikan Sutarman—menyatakan belum tahu. "Nanti saya cek ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi," ujarnya kepada Tempo.

Ahmad Hidayat Mus tak mau memberi komentar perihal kasusnya ini. Dua nomor telepon selulernya tak diangkat saat dihubungi. Pesan pendek yang dikirimkan juga tak dibalas. Sebelumnya, saat kasusnya ramai diberitakan, Hidayat Mus berkali-kali membantah jika dia disebut melakukan penyelewengan seperti yang dituduhkan itu.

Febriyan (Jakarta), Budhy Nugrianto (Ternate)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus