Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Modus Grooming Pornografi Anak

Anak bisa dicegah menjadi korban pornografi jika orang tua mewaspadai teknik grooming pelaku. Berawal dari game online.

28 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelaku pornografi anak kerap menjebak korban dengan teknik grooming.

  • Orang tua disarankan perlu mewaspadai hal ini untuk mencegah anaknya menjadi korban.

  • Pelaku grooming sebenarnya juga bisa dipidanakan.

JAKARTA – Sidang kasus pornografi anak jaringan internasional di Pengadilan Negeri Tangerang pada Senin, 26 Februari 2024, berjalan tidak biasa. Ketiga terdakwa tak berada di dalam ruangan dan hanya hadir melalui layar. Sidang secara daring ini dilakukan karena jaksa pada hari itu akan menghadirkan saksi korban.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, korban memang tak diperkenankan bertemu dengan pelaku. Alasannya agar tidak menimbulkan kembali efek trauma. Sidang juga digelar secara tertutup. “Para terdakwa menjalankan persidangan dari dalam lembaga pemasyarakatan," kata juru bicara PN Tangerang yang juga menjadi anggota majelis hakim dalam sidang itu, Fathul Mujib, kepada Tempo.

Ketiga terdakwa yang menjalani sidang itu adalah Handiki Setiawan (HS), Muhammad Ammar Abdurrahman (MAA), dan Asep Hermansyah (AH). Selain ketiganya, terdapat dua terdakwa lainnya, Nizar Zairin dan Kevin Ramli alias Yanto Ramli (KR), yang menjalani sidang secara terpisah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Praktik pornografi anak ini terungkap setelah Satuan Tugas Pencegahan Seksual Anak dari Biro Investigasi Federal di Amerika Serikat (FBI VCACT) menangkap dua tersangka dalam kasus serupa di Los Angeles. Dalam penggeledahan kediaman dua tersangka itu, FBI menemukan cakram padat yang berisi puluhan sampai ratusan ribu video pornografi anak sesama jenis yang berasal dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia.

FBI kemudian memberikan informasi itu ke kepolisian Indonesia. “Jumlah CSAM (child sexual abuse material atau konten pornografi anak) dari Indonesia mencapai 1.245 foto dan 3.870 video porno,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bandara Komisaris Reza Pahlevi kepada Tempo, Senin lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut informasi FBI, kedua tersangka tersebut membeli video melalui aplikasi Telegram untuk kemudian dijual kembali. Salah satu pemasok video itu adalah Handiki, yang menggunakan nama samaran Ray. Informasi dari FBI itu juga mencantumkan aliran dana dari dua tersangka di Amerika kepada Handiki. Berdasarkan informasi itu, polisi lantas menangkap Handiki pada Agustus 2023. “Kemudian kami kembangkan ternyata HS ini tak hanya menjual konten, tapi juga menjual anak-anak itu kepada empat tersangka lainnya,” kata Reza.

Sepak terjang Handiki, menurut penelusuran polisi, sudah dimulai sejak 2022. Pemuda 22 tahun itu telah meraup uang miliaran rupiah karena setiap satu video dijual dengan harga US$ 100. Sedangkan dari penjualan anak, menurut Reza, nilainya variatif. “Ada yang sampai membayar Rp 5 juta untuk beberapa anak,” kata satu dari tiga pemegang penghargaan Adhi Makayasa Akademi Kepolisian Angkatan 2010 ini.

Berdasarkan penelusuran polisi, Handiki memburu para korbannya dari berbagai grup di media sosial Facebook. Anak-anak itu tergabung dalam grup permainan daring seperti Mobile Legend Bang-Bang atau PUBG Mobile. Awalnya, Handiki memberikan para calon korbannya hadiah berupa skin (jubah) atau semacam alat yang bisa digunakan dalam permainan tersebut.

Dari situ, Handiki kemudian mengajak mereka bertemu untuk bermain bersama atau mabar. Handiki juga sempat berkunjung ke kediaman korban dan bertemu dengan keluarganya. Hal itu dilakukan untuk meyakinkan orang tua korban bahwa dirinya tak berbahaya.

Setelah itu, Handiki kemudian mengajak mereka ke tempatnya dengan alasan mabar. Kepada korban, Handiki kemudian menunjukkan konten-konten pornografi anak. “Kemudian ditawarin, mau-enggak bikin video seperti itu dengan imbalan uang,” kata Reza.

Tempo telah berupaya meminta konfirmasi cerita ini kepada para terdakwa. Namun Tempo tak diperbolehkan untuk bertemu dengan mereka karena sedang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas II A, Tangerang, Banten. Salah satu pengacara terdakwa, A. Goni, baru bisa menjanjikan Tempo bertemu dengan kliennya pada Kamis mendatang, 1 Maret 2024, saat mereka menjalani sidang.

Kepala Polres Bandara Soekarno-Hatta, Komisaris Besar Berto Pasaribu, menyatakan modus seperti ini memang biasa diterapkan oleh para pelaku kekerasan seksual terhadap anak untuk menjerat korbannya. “Namanya teknik grooming,” ujarnya kepada Tempo.

Berto menjelaskan, secara singkat, grooming ini merupakan upaya agar pelaku yang sebelumnya dianggap orang asing bisa memperoleh kepercayaan dari korban dan keluarganya. Tujuan akhirnya adalah agar mau mengikuti perintah pelaku.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dian Sasmita pun menyatakan hal serupa. Menurut dia, fenomena grooming sebenarnya sudah lama terjadi. Hanya, menurut dia, saat ini banyak pelaku mengubah metode dari dilakukan secara langsung menjadi melalui dunia maya. Biasanya, menurut dia, pelaku menyasar korban yang keluarganya tidak memiliki kewaspadaan tinggi. “Bagi anak-anak dan keluarga yang literasi digitalnya kurang, ini menjadi kelompok yang sangat rentan sekali untuk bujuk rayu dan lain-lain,” ujarnya.

Karena itu, Dian menilai orang tua perlu mendampingi anaknya saat menggunakan gawai. Dian menyatakan bahwa orang tua perlu membekali dirinya untuk mendeteksi apakah anaknya sedang dalam tahap grooming atau tidak. Jika berhasil mendeteksi, menurut dia, orang tua tidak perlu memarahi anak. Orang tua disarankan memberikan peringatan sebaik mungkin dengan bahasa yang mudah dipahami.

Psikolog anak dan keluarga Astrid Wen lebih lanjut menyatakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak memang kerap melakukan manipulasi untuk menjerat korbannya dengan suatu iming-iming yang terdengar menyenangkan. Pemikiran anak yang sederhana pun akhirnya mencoba memenuhi permintaan yang disampaikan pelaku. Bahkan, dalam teknik grooming, pelaku kerap menarasikan kepada korban bahwa perbuatan asusila itu sebagai kewajaran. “'Ini hal yang wajar, kok, semua orang melakukannya,’ misalnya begitu,” ucap Astrid.

Untuk mencegah anak menjadi korban, Astrid berpesan agar perlu adanya interaksi yang positif di lingkungan anak. Selain mengawasi aktivitas anak di dunia maya maupun nyata, menurut dia, orang tua perlu membangun komunikasi dua arah dengan anaknya.

Wakil Kepala Kepolisian Resort Kota (Wakapolresta) Bandara Soekarno-Hatta AKBP Ronald F.C Sipayung (kanan kedua) dan Pelaksana Harian Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Rini Handayani (kiri kedua) menunjukan barang bukti pengungkapan kasus pornografi anak online di di Mapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, 24 Februari 2024. ANTARA/Azmi Samsul Maarif

Psikolog anak Endang Widyorini pun berpendapat serupa. Dia menambahkan, orang tua harus peka terhadap perubahan perangai anaknya. Hal itu, menurut dia, bisa menjadi salah satu indikasi anak sedang mengalami grooming dari seseorang. “Jadi pendiam atau justru pembangkang, suka marah atau mengambil jarak dari orang tua,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta Uli Arta Pangaribuan mengatakan kekerasan seksual terhadap anak seharusnya bisa dicegah jika orang tua berhasil mengidentifikasi anaknya sedang mengalami grooming. Dia menyarankan orang tua melapor ke polisi jika anaknya menjadi korban bujuk rayu predator. Mengutip Pasal 76 E dan 81 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak, Uli menyatakan pelaku grooming bisa dijerat pidana dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara. Pelaku juga bisa mendapatkan denda hingga Rp 5 miliar.

Hanya, dia menyoroti lemahnya pemahaman aparat kepolisian soal undang-undang tersebut. Uli mengatakan LBH APIK Jakarta pernah menangani dugaan grooming tersebut, tapi kasusnya justru dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana. “Padahal penyidik tahu peristiwanya ada. Unsurnya dianggap tidak memenuhi,” ucap Uli saat dihubungi secara terpisah kemarin.

Selama menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, Uli melihat ada juga kasus yang dihentikan melalui mediasi. Padahal, menurut UU Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa tidak bisa dihentikan dengan cara seperti itu. Dia menyatakan penghentian melalui mediasi hanya bisa diberlakukan kepada anak yang menjadi pelaku.

Selain itu, dia mengingatkan bahwa anak korban bisa mengajukan restitusi kepada pelaku tindak pidana terhadapnya sesuai dengan ketentuan Pasal 71D UU Perlindungan Anak. Karena itu, dia menyatakan, kasus seperti ini seharusnya tak dihentikan dengan cara mediasi karena akan menghilangkan hak restitusi anak korban. “Solusinya pengawasan kita sebenarnya. Pengawasan di masyarakat seperti apa agar kasusnya tidak malpraktik di lapangan,” kata Uli.

M. FAIZ ZAKI | FEBRIYAN | AYU CIPTA (Tangerang)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus