Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Motif kekerasan seksual yang berujung pada kematian seorang anak 13 tahun di Palembang harus diungkap.
Para pelaku diduga terpapar tayangan video porno.
Pendidikan seksual kepada anak perlu disampaikan sejak dini.
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong polisi mengungkap motif kekerasan seksual yang berujung pada kematian seorang remaja putri 13 tahun di Palembang, Sumatera Selatan. Pendalaman ini dinilai penting untuk mengetahui latar belakang kejahatan tersebut. Sebab, empat orang yang diduga sebagai pelaku adalah anak-anak. “Mengapa anak-anak bisa melakukan kejahatan berat seperti itu?" kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar pada Jumat, 6 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nahar, kejahatan anak ada kemungkinan terjadi karena pengaruh lingkungan yang tidak mendukung tumbuh kembang anak. Jadi, secara tidak langsung, anak yang diduga sebagai pelaku tersebut sebenarnya adalah korban dari lingkungan yang tak sehat. "Bisa jadi akibat kondisi anak memiliki masalah lain karena kurang perhatian orang tua, kurang pengetahuan memanfaatkan teknologi informasi, atau menjadi korban pornografi,” ujar Nahar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korban dalam kejahatan ini adalah AA, pelajar kelas VIII. Jasadnya ditemukan di permakaman umum Talang Kerikil, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami, Palembang, pada Ahad, 1 September 2024. Hanya berselang dua hari, polisi menangkap empat anak yang diduga sebagai pelaku. Mereka adalah IS, 16 tahun, MZ (13); MS (12); dan AS (12).
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, empat remaja itu menyekap dan mencabuli korban secara bergiliran pada 31 Agustus 2024. Setelah AA tidak bernapas, mereka meninggalkan jasadnya di permakaman hingga ditemukan oleh penduduk pada keesokan harinya.
Polisi menunjukkan barang bukti saat rilis kasus pembunuhan dan rudapaksa terhadap gadis 13 tahun di Palembang, 4 September 2024. Dok.Polri
Polisi menduga dalang kejahatan ini adalah IS. Polisi menemukan sejumlah video asusila pada telepon seluler remaja itu. Diduga perbuatan yang dilakukan IS dan kawan-kawannya dipicu oleh tontonan film dewasa tersebut. “Ini adalah salah satu bentuk kenakalan remaja yang cukup ekstrem,” kata Kepala Bagian Psikologi Bidang Sumber Daya Manusia Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Ajun Komisaris Besar Suparyono, Senin, 9 September 2024.
Menurut Suparyono, remaja yang kurang mendapat pengawasan orang tua memang rentan melanggar aturan. Apalagi bila mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. “Sehingga norma yang berlaku di lingkungan pertemanan yang akan dianut oleh para remaja tersebut,” tuturnya.
Ketua Dewan Pengurus Bidang Sosialisasi, Edukasi, dan Promosi Hak Anak Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Lia Latifah sependapat dengan Suparyono. Anak akan mengakses pornografi bila jauh dari pengawasan orang dewasa, terutama orang tua dan guru. Mereka juga mudah terpapar pornografi karena kurang mendapat materi pendidikan seksual. Ujungnya, anak mendapat konten seksualitas dari berbagai sumber.
“Pornografi memotivasi mereka untuk berbuat hal serupa atau bahkan mengembangkan fantasi yang dimiliki,” kata Lia. “Ini menandakan bahwa mereka tidak mendapatkan informasi ataupun pengetahuan bagaimana harus mengelola seksualitas atau libidonya ketika muncul.”
Menurut Lia, di lingkungan pendidikan masih ada anggapan tabu untuk membahas seksualitas. Padahal itu justru menghambat anak memahami tubuhnya sendiri. Apalagi pendidikan seksualitas tidak melulu soal berhubungan badan, tapi juga tentang pengenalan alat reproduksi serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Sebagai langkah pencegahan, kata Lia, anak-anak perlu diberi pemahaman hukum secara sederhana. Misalnya tentang bentuk kekerasan fisik dan seksual yang merugikan orang serta melanggar hukum. “Anak-anak sudah mulai dikenai sanksi pidana, kita bicarakan seperti itu,” ucapnya. Perlu juga memberi pengetahuan tentang tindakan yang harus dilakukan ketika anak menjadi korban.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel tidak menyangkal ihwal adanya kemungkinan faktor pornografi menjadi salah satu penyebab pemerkosaan dan pembunuhan terhadap AA di Palembang. Sebab, berdasarkan sejumlah riset, pornografi memang dapat mempengaruhi anak melakukan perilaku seksual menyimpang.
Menurut Reza, paparan pornografi hanyalah salah satu faktor pemicu. Untuk mengetahui adanya faktor-faktor lain, perlu digunakan pendekatan model bioekologi. Apalagi anak-anak sebagai makhluk yang multidimensi dan mempelajari sekitarnya. “Ini lebih kompleks lagi dan majemuk,” ujar Reza.
Kriminolog dari Universitas Muhammadiyah Palembang, Sri Sulastri, menyoroti hubungan khusus antara IS dan korban. Sebab, dari hasil penelusuran polisi, disebutkan bahwa mereka menjalin tali percintaan. “Namun tindakan membunuh hingga mencabuli terbilang tidak wajar, apalagi dalam usia mereka yang belum dewasa,” katanya.
Dalam kacamata kriminologi, kata Sri, tidak tertutup kemungkinan empat bocah itu memang tak paham soal akibat perbuatan mereka. Mereka hanya meniru adegan yang mereka tonton dari tayangan video asusila. Misalnya membekap mulut dan hidung serta diakhiri dengan pemerkosaan meski korban sudah tidak bernyawa. “Anak seusia mereka seharusnya mendapatkan pendidikan seks secara jelas dan tidak menyimpang,” ucap Sri. “Minimnya pengawasan orang tua dan buruknya lingkungan sekitar menjadi pemicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.”
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Palembang Fribertson Parulian Samosir menuturkan, kasus yang menjerat anak di bawah umur harus bisa diproses sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Fribertson juga mengatakan bahwa LBH menganggap siapa pun yang melanggar atau berhadapan dengan hukum, baik orang dewasa maupun anak-anak, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Sekalipun dalam kasus ini melibatkan anak-anak karena ada undang-undang khusus yang mengatur,” ujar Fribertson.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yuni Rohmawati dari Palembang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.