HARI itu vonis berjatuhan di Bogor - dari pagi sampai malam. Dan
malam itu iuga, para germo atau mucikari yang tadi antre di muka
hakim menunggu putusan, diangkut dengan truk dinas sosial ke
penjara dengan status narapidana. Dan puluhan pelacur, yang pada
sidang pengadilan awal bulan ini duduk sebagai saksi, masih
harus menunggu nasib.
Mereka adalah yang terjaring Operasi Kupu-Kupu 1 April. Operasi
yang berlangsung semalam suntuk itu, mengobrak-abrik daerah
mesum di Kabupaten Bogor, seperti di Cileungsi, Bojongsari,
Sawangan, dan di beberapa tempat di Puncak (dari Cipayung sampai
Tugu). Menurut Letkol Pol. Drs. Rusdoyo, komandan Kepolisian
Bogor, tindakan tersebut untuk menumpas habis pelacuran di
daerah itu - seperti yang dicita-citakan Muspida Kabupaten
Bogor.
Tapi operasi rupanya belum berhasil baik. Karena menurut Danres
beberapa rumah pelacuran sudah kosong begitu didatangi petugas.
"Entah siapa yang membocorkannya," ujar Rusdoyo kesal. Namun
begitu malam itu polisi berhasil menjerat 37 mucikari - empat di
antaranya wanita dan 87 pelacur.
Setelah semalam mendekam di rumah tahanan, besoknya 37 mucikari
itu antre dihadapkan ke meja hijau, sedangkan para pelacurnya
duduk berjejer di kursi saksi di Pengadilan Negeri Bogor. Sidang
pengadilan, yang mulai dari pagi dan baru usai pukul 19.00
malam, mempersalahkan mereka sebagai mucikari (melanggar pasal
296 jo 506 KUHP) dan menghukum mereka mulai 1 sampai 3 bulan
penjara.
"Ini memang kejutan," kata Ketua Pengadilan Negeri Bogor,
Soebiyakto, SH. Soalnya pasal KUHP yang digunakan menggasak kaum
mucikari itu sudah jarang dipergunakan pengadilan. Namun jangan
lupa, Soebiyakto mengingatkan, "pasal itu tak pernah mati dan
dapat saja dipergunakan apabila diperlukan." Ketika menjadi
hakim di Pengadilan Negeri Lumajang (Ja-Tim), 1963, Soebiyakto
mengatakan dia menggunakan juga pasal itu untuk mengadili para
germo.
Dan sekarang di Bogor rupanya pasal itu dirasakan perlu lagi
dinaikkan ke permukaan. Menurut Teja Sumantri, salah seorang
jaksa yang menyeret para mucikari itu ke meja hijau, kegiatan
pelacuran "sudah meresahkan masyarakat." Di sekitar daerah hitam
menurut Letkol Rusdoyo, sering terjadi peristiwa kriminalitas.
Karena itulah vonis yang dijatuhkan, menurut Hakim Nyonya
Christi Purnami, SH, cukup berat: "Mereka diperintahkan segera
masuk rumah tahanan." Sedang berat dan entengnya hukuman,
menurut Hakim Nyonya Maryati Akman, SH, berdasarkan "masa kerja"
mucikari.
Beberapa mucikari, yang ditemui TEMPO di rumah penjara Pledang
di Bogor, memang merasa heran ketika dijatuhi hukuman itu. "Saya
menyewakan ruangan dihukum, tapi yang berbuat mesum di ruangan
itu kok nggak apa-apa?" kata Ujang bin Emod, 20 tahun dengan
polos. Di warungnya di Cisarua dia punya dua kamar sewaan dan
dua WTS. Rata-rata tiap malam dia memperoleh Rp 8.000. Tapi dari
jumlah itu harus disisihkan sebagian untuk "uang hansip".
Menurut Itom, 35 tahun, mucikari yang lain, setiap ada wanita
baru menghuni warungnya, dia melaporkannya kepada polisi
setempat sambil menyerahkan "uang administrasi". "Sekarang kami
ditangkap juga," kata narapidana dengan hukuman 3 bulan penjara
itu. Dia merasakannya sebagai tak adil karena, "di mana-mana
juga banyak pelacuran, kok tak ditangkap seperti kami?"
keluhnya.
Reaksi semacam itu muncul secara wajar. Sebab mucikari selama
ini merasa telah memperoleh semacam "pengertian" dari petugas
keamanan maupun masyarakat sekitarnya. Pasal KUHP yang mengancam
kegiatan mereka, seperti praktek selama ini, mungkin dianggap
telah "pingsan". Bukankah beberapa pasal yang menyangkut
Keluarga Berencana (KB) juga demikian? Pasal 283 menyediakan
ancaman hukuman penjara 9 bulan, yang kalau diterapkan, akan
mengancam para petugas KB yang begitu aktif di desa-desa.
Tapi Soebiyakto tak setuju pasal itu dihubungkan dengan
mucikari. Kampanye KB tak pernah dinyatakan oleh pendapat umum
sebagai pelanggaran kesopanan. "Sedangkan kegiatan mucikari,
saya yakin, semua berpendapat perbuatan yang melanggar
kesopanan," katanya sengit.
Operasi Kupu-Kupu, yang melibatkan berbagai aparat keamanan itu,
memang berdasarkan surat perintah Bupati Bogor, 29 Maret 1983.
Tapi Soebiyakto sangat keberatan kalau diartikan pengadilan
diperintah bupati untuk memberlakukan pasal yang "pingsan" itu.
"Hakim bebas dari instruksi maupun intrik dalam mengadili suatu
perkara," katanya. Bahwa pelacuran sudah berlangsung lama di
daerah itu, tapi sekarang baru berhadapan dengan pengadilan,
kata Soebiyakto dengan suara agak marah, "tetap saja pekerjaan
itu salah di mata hukum."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini