Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Muhammadiyah Sebut Tidak Menoleransi Kekerasan Seksual

"Banyak pertanyaan apakah siaran pers itu bermakna bahwa Muhammadiyah itu mendukung kekerasan seksual? tentu itu tidak benar," kata Sayuti.

11 November 2021 | 12.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi kekerasan seksual. Freepik.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Pusat Muhammadiyah meminta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dicabut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Banyak pertanyaan apakah siaran pers itu bermakna bahwa Muhammadiyah itu mendukung kekerasan seksual? tentu itu tidak benar. Kami mempermasalahkan Permendikbud karena ada problem formil dan materiil di dalamnya,” kata Sekretaris Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sayuti lewat keterangannya, Kamis, 11 November 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebut, sandungan paling krusial bagi Muhammadiyah dalam menerima Permendikbudristek 30/2021 adalah frasa ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa ini  mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m. Hal ini dinilai mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.

"Frasa 'tanpa persetujuan korban' mengandung makna bahwa kegiatan seksual dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent). Atau dengan kata lain, Permendikbud 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan," ujarnya.

Alasan inilah yang mendorong Diktilitbang PP Muhammadiyah menolak pengesahan Permendikbudritek 30/2021. Mereka meminta pemerintah untuk segera mencabut dan memperbaikinya.

Sayuti menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak menoleransi terhadap segala tindakan pelecehan seksual.

"Ada atau tidaknya Permen ini, kami berkomitmen untuk menjadikan kampus-kampus Muhammadiyah bebas dari relasi seksual di luar framework pernikahan, di luar framework halal di luar pernikahan, jadi tidak berarti kami menolak (penanganan kekerasan seksual)," ujar Sayuti.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Khotimun Sutanti menilai argumentum a contrario dengan kesimpulan bahwa Permendikbudristek 30/2021 dianggap melegalisasi zina, kurang tepat.

"Tujuan aturan ini untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual, sehingga ranah pengaturannya terbatas pada wilayah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual," ujarnya lewat keterangan tertulis, Selasa, 9 November 2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus